Difabel Bertahan di Masa Pandemi

Tuna netra banyak yang tak bisa mengakses pendidikan dan keterampilan. Bahkan sebagian mengalami kesulitan dalam beraktivitas. Sejak empat tahun lalu, Adi Gunawan mendirikan Adi Gunawan Institut (AGI), Lembaga pelatihan keterampilan, akses informasi dan latihan kerja.

difabel-bertahan-di-masa-pandemi
Finantius Feriadi dan Adi Gunawan beserta penyandang tuna daksa memproses pewarnaan kain dengan teknik jumput dan kain ikat. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Sejak pagi, Damanhuri termenung dan duduk di rumah sembari mendengarkan radio. Sejak Maret, tak banyak aktivitas yang dilakukan. Termasuk berpraktik sebagai pemijat tuna netra. Menganggur, dan tak ada pemasukan. Apalagi saat diterapkan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) pada pertengahan Mei 2020.

“Susah. Banyak teman tuna netra tak bekerja sama sekali. Usaha pijat mati suri,” katanya. Peraturan Wali Kota (Perwal) Malang Nomor 19 Tahun 2020 tentang Pedoman Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mengatur usaha pijat. Panti pijat dilarang beroperasi, lantaran terjadi kontak fisik antara terapis dengan pelanggan. Dikhawatirkan terjadi penularan Covid-19.

Sebagian, katanya, membuka usaha secara sembunyi-sembunyi dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Antara lain menggunakan masker, dan hand sanitizer. Hidup melajang, Damanhuri setiap bulan kebutuhan hidup sehari-hari hampir Rp 2 juta. Sedangkan selama pandemi Covid-19  pendapatan kurang dari Rp 1 juta. Untuk itu, ia harus menghemat pengeluaran.

“Beruntung dapat bantuan dari saudara,” ujarnya. Rata-rata, katanya, mereka membuka praktik memijat di rumah sewaan.  Jika tak boleh buka usaha pijat tuna netra, katanya, bagaimana mereka bisa bertahan hidup di masa pandemi seperti saat ini.

ikuti-anugerah-jurnalisme-warga-urun-daya-menghadapi-corona
Pengukuran suhu tubuh. (Foto : Balebengong).

Damanhuri menerima bantuan sosial yang berupa uang Rp 380 ribu per bulan. Bantuan disalurkan Dinas Sosial Kota Malang melalui Bank Jatim. Bantuan dari pusat, ujarnya,  lancar sedangkan bantuan dari kota Malang kurang begitu lancar. “Baru menerima bantuan satu kali,’ tutur Damanhuri.

Kondisi pandemi seperti sekarang, memberatkan para penyandang tuna netra. Mereka kehilangan pekerjaan dan tak mendapat pemasukan. Ia berharap donasi dari masyarakat untuk difabel yang kesulitan ekonomi karena tak bekerja. “Bagaimana tuna netra bisa menghidupi anak dan keluarganya,” ujarnya.

“Menurut Wali Kota Malang,  100 persen bantuan sudah tersalurkan. Bahkan bantuan disampaikan tepat waktu dan tepat sasaran. Kenyataannya tidak seperti itu yang alami difabel,” ujarnya.

Sebagian Difabel tak Menerima Bansos

Sementara Finantius Feriadi asal Kabupaten Sanggau, Canggang, Kalimantan Barat tak mendapat bantuan sosial.  Meski ia telah tinggal di Malang selama lima tahun terakhir. “Tak terdata, tak menerima bantuan karena bukan KTP Malang,” ujarnya.

Ia merantau ke Malang sejak bapaknya meninggal. Ia belajar memijat di Yayasan Bhakti Luhur Malang. Sebelum pandemi, ia menerima pijat panggilan satu sampai dua orang per hari. “Sejak 16 Maret tak memijat. Tinggal di kontrakan. Tak dapat pemasukan selama tiga bulan, sama sekali,” katanya.

Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Kota Malang Supriyadi sekitar 90 persen tuna netra bekerja menjadi pemijat. Mereka tak memiliki keterampilan lain, tak bisa bekerja selain memijat. Sehingga, praktis selama pandemi mereka tak memiliki penghasilan.

“Kami ingin tetap memijat, tak berhenti,” ujarnya. Sebelum pandemi, setiap pecan Supriyadi menerima 10 sampai 12 pelanggan. Namun, sejak pandemi Covid-19 pendapatannya menurun.

Dari total 85 anggota Pertuni Kota Malang, hanya 40 orang yang menerima Bantuan Sosial Tunai (BST) dari Kementerian Sosial. Mendapat bantuan sebesar Rp 600 ribu per bulan. “Yang lain tak dapat. Hanya tiga bulan. Agustus ini tak tahu, belum dapat informasi,” katanya.

Selain bantuan tunai, katanya, tak ada bantuan bahan pokok yang disampaikan kepada anggota Pertuni. Justru Pertuni, menerima bantuan pokok dari masyarakat. Supriyadi menyampaikan tetap bersyukur mendapat bantuan saat mengalami kesulitan keuangan seperti sekarang. “Rezeki Allah yang mengatur. Pasrah. Semoga Allah memberi jalan keluar,” ujarnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Malang mendata total penyandang disabilitas di Kota Malang sebanyak 1.397 jiwa. Terdiri atas laki-laki 755 dan perempuan 642. Penerima bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak covid-19 di Kota Malang sebanyak18 ribu keluarga. Sumber dana bantuan sosial berasal dari APBD Kota Malang, APBD Provinsi JawaTimur, dan APBN.

Batuan Sosial tak Merata

Malang Corruption Watch (MCW) menilai terjadi masalah dalam penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak Covid-19. MCW menemukan adanya tumpang tindih data, yang mengakibatkan data ganda. Sehingga terjadi duplikasi anggaran dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

“Orang yang sudah meninggal terdata penerima bantuan. Seharusnya Pemerintah Kota Malang berkoordinasi dengan kelurahan,” ujar Kepala unit riset dan informasi Badan Pekerja MCW Rina Dwi Astika Duri.

Pemerintah Kota Malang mengalokasikan anggaran penanggulangan Covid-19 sebesar Rp 210 miliar. Anggaran digunakan untuk beberapa sector kesehatan, ekonomi, dan Jaring Pengaman Sosial (JPS). Anggaran penanggulangan Covid-19 sebesar 7,7 persen dari total APBD Kota Malang sebesar Rp 2.7 triliun.

Pemerintah Kota Malang sebesar Rp 300 ribu per keluarga untuk 29 ribu keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga kali. Total anggaran bantuan social tunai Pemerintah Kota Malang mencapai Rp 26 miliar. Pemerintah pusat mengalokasikan anggaran sebesar Rp 600 ribu per jiwa untuk 20.098 KPM. Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebesar Rp 200 ribu untuk 15 ribu KPM dengan total anggaran Rp 9 miliar.

wabah-corona-kereta-batal-operasi-dan-hotel-tutup
Kereta penumpang disemprot disinfektan mencegah penyebaran virus corona (Covid-19). (Foto : Dokumen PT KAI Daop 8 Surabaya)

Sasaran penerima bantuan sosial tak tepat dan tak merata. Sejumlah warga miskin tak menerima bantuan sedangkan yang mampu justru mendapat bantuan. Selain itu, terjadi data ganda. Ditemukan keluarga menerima bantuan dari dua sumber anggaran berbeda.”Pemerintah Kota Malang tidak responsif,” kata Rina.

Data BPS Kota Malang mencatat jumlah penduduk Kota Malang  sebanyak 874.890 jiwa sedangkan 35.890 jiwa diantaranya kategori miskin. Pendemi Covid-19 menyebabkan sebanyak 1.303 orang dirumahkan, dan 162 orang dipecat.

Wali Kota Malang Sutiaji mengklaim semua keluarga yang terdampak telah menerima bantuan. Penerima bantuan bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Verifikasi dilakukan melalui Sistem bantuan Sosial (Sibansos) berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). “Bantuan sosial sudah saya kira. Tinggal menunggu. Ada 20 ribu yang dari Provinsi Jawa Timur agar tak overlapping. Kemarin ada overlapping 3 ribu,” katanya.

Namun, untuk penyaluran berikutnya Sutiaji menjamin tak lada lagi penerima yang mendapat anggaran ganda. Selain itu, ia memastikan seluruh masyarakat miskin yang terdampak mendapat bantuan. “Insyaallah semua masuk. Tinggal validasi, Tetap tiga kali,” ujarnya.

Data Dinas dan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos-P3AP2KB) Kota Malang jumlah disabilitas sebanyak 881 orang. Sebanyak 258 difavel dapat bantuan BST Covid-19, sedangkan 43 difabel menerima Asistensi Sosial Penyandang Difabel (ASPD) dan 201 difabel menerima bantuan sembako daerah terdiri atas beras, minyak goreng, mie instan dan masker.

Sedangkan 478 belum menerima bantuan. Kepala Dinsos-P3AP2KB Peni Indriani memperkirakan penyandang difabel yang tak menerima bantuan karena dalam satu kartu keluarga ada beberapa penyandang difabel. “Kemungkinan bapaknya sudah dapat. Satu keluarga cukup satu orang,” katanya.

Peni mengklaim mengutamakan Pertuni, semua anggota Pertuni telah mendapat bantuan sosial dampak Covid-19. Jika tak dapat bantuan dari APBD Kota Malang, diusahakan mendapat dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur atau Kementerian Sosial. Sedangkan alur pengajuan bantuan melalui Pusat Kesehatan Sosial (Puskesos) di setiap Kelurahan.

“Data Puskesos mengetahui Lurah dan divalidasi di Dinsos,” ujarnya. Ia tak menyangkal kemungkinan ada data yang tercecer. Sementara pendataan dihentikan, lantaran masih ada data yang terkumpul belum mendapat bantuan.

Batik Netra

Lembaran kain berwarna warni beragam motif  terpajang di ruang kerja Adi Gunawan, Direktur Adi Gunawan Institut. Sebuah lembaga pendidikan khusus memberi bekal pengetahuan dan keterampilan bagi tuna netra di Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu). Kain ini merupakan karya para penyandang tuna netra dengan pewarnaan menggunakan teknik ikat celup dan jumputan. Mereka menyebut kain batik netra. Batik netra dipasarkan melalui akun agishopofficial

Kain dijual setiap lembar seharga Rp 85 ribu sampai Rp 350 ribu. Harga menyesuaikan jenis kain, motif dan kerumitan pewarnaan. Tak mudah bagi tuna netra untuk belajar pewarnaan kain. Adi berinovasi menciptakan peluang usaha dalam masa pandemi covid-19. “Banyak tuna netra bekerja sebagai terapis atau tukang pijat. Sementara saat ini pemerintah Kota Malang melarang operasional panti pijat,” kata Adi Gunawan.

difabel-bertahan-di-masa-pandemi
Direktur Adi Gunawan Institut, Adi Gunawan menunjukkan batik netra produk para penyandang disabilitas (Terakota/Eko Widianto).

Adi terbiasa mandiri sejak kecil, hingga menamatkan pendidikan sampai jenjang sarjana. Terbiasa dengan keterbatasan berinteraksi dengan lingkungan. Menjalani kondisi hidup secara mandiri dan inklusif. Adi merupakan seorang wirausaha sosial. Dikenal wirausaha bidang jasa, instruktur musik dan vokal. Ia mengawali bekerja sebagai staf keuangan.

Belakangan ia menemukan sesama tuna netra banyak yang tak bisa mengakses pendidikan dan keterampilan. Bahkan sebagian mengalami kesulitan dalam beraktivitas. Sejak empat tahun lalu, Adi mendirikan Adi Gunawan Institut (AGI), sebuah lembaga pendidikan, belajar dan berkarya. Melalui AGI, Adi mengenalkan teknologi komunikasi komputer dan ponsel bicara, kepada penyandang tuna netra.

Selain itu juga melatih sesama tuna netra dengan berlatih musik, belajar membaca huruf braille, latihan mobilitas, mengasah kepekaan indera, latihan komunikasi dan membekali keterampilan kerja. Hingga kini telah melatih 300 orang tuna netra. Adi melatih para tuna netra membatik diawali dengan mengasah kepekaan menggunakan perabaan, memperhatikan pola, melipat kain, menjepit dan memasang tali kain.

Finantius Feriadi asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ini terampil melipat dan mengikat kain. Usai melipat sesuai motif, ia berjalan mendekati Indri temannya penyandang tuna daksa. Indri membantu meneteskan pewarna di atas kain putih yang diikat Feriadi. Selanjutnya, dicelupkan larutan cairan pengikat warna.

Tahap selanjutnya, ikatan kain dilepas dan kain dijempur di bawah terik matahari. Feriadi mengaku awalnya mengalami kesulitan dalam melipat kain. Apalagi, dengan keterbatasan indera penglihatan yang dialaminya. “Niat belajar meski tak tahu warna. Bentuk bunga dan bulat itu bagaimana? Saya tak tahu,” katanya.

Namun, ia tekun belajar hingga bisa menghasilkan kain ikat dengan motif unik. Sehingga ia memiliki keterampilan lain selain memijat. Feriadi berharap bisa menambah pendapatan, terutama saat masa pandemi Covid-19 seperti sekarang.

Distribusi batik tulis juga dibantu Lingkar Sosial Indonesia (Linksos) lembaga peduli difabel. Batik netra didistribusikan melalui jejaring lembaga dan media sosial. Respons pelanggan positif, sementara diedarkan di sekitar Malang. “Masyarakat merespons, kami juga memproduksi batik netra dengan warna alami,” ujar Koordinator Linksos Ken Kerta.

difabel-bertahan-di-masa-pandemi
Berbagai motif kain batik netra karya penyandang difabel mendapat respons positif publik. (Terakota/Eko Widianto).

Linksos mendampingi sekitar 122 difabel melalui posyandu disabilitas. Mereka juga dilatih kewirausahaan seperti berdagang, memproduksi masker, keripik tempe dan olahan susu. Difabel, katanya, sulit memperoleh bekerja secara formal. Sejauh ini sebanyak 50 difabel yang bekerja di pabrik rokok.  “Masih ada stigma negatif di masyarakat,” katanya.

Sementara sebagian tak merasakan bantuan sosial dari pemerintah selama masa pandemi. Padahal mereka merupakan kelompok rentan yang kehilangan penghasilan selama masa pandemi Covid-19. “Tak semua terdata,  hanya separuh yang mendapat bantuan sosial,” ujarnya.

Penderita Covid-19 Terus Menggelembung

Penderita Covid-19 semakin bertambah dan meluas. Pada 17 Mei 2020 hari pertama diterapkan PSBB sebanyak 26 orang terkonfirmasi Covid-19 dan 12 orang sembuh. Usai diterapkan PSBB dan memasuki periode transisi penderita tambah melonjak. Pada 30 Mei 2020 meningkat menjadi 47 pasien teronfirmasi positif Covid-19.

Sedangkan penyebaran Covid-19 di Kota Malang meledak sejak sebulan terakhir.  Penambahan pasien positif Covid-19 setiap hari menjadi puluhan. Bahkan Kelurahan Bunulrejo pasien Covid-19 sebanyak 30 sedangkan Kelurahan Mergosono sebanyak 17 orang. Kedua Kelurahan telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Lokal (PSBL).

Data Satgas Covid-19 Kota Malang pada 10 Agustus 2020 total konfirmasi positif  894 , bertambah 7 orang. Sebanyak 65 orang meninggal, sembuh 479  dan dalam pemantauan 350. Sedangkan total suspek  1.786 bertambah 8 orang. Sebanyak 95 isolasi di Rumah Sakit, isolasi rumah 275, probable 74 dan discarded 1.342.

Sedangkan pada 11 Agustus 2020 Satgas Covid-19 melaporkan total jumlah konfirmasi positif   sebanyak 906  orang atau bertambah 12. Sebanyak 65 di antaranya meninggal, 495  sembuh dan dalam pemantauan  sebanyak 346. Sementara total suspek 1.809  atau bertambah 23. Meliputi    isolasi Rumah Sakit sebanyak 106 , isolasi rumah 287 , probable 74 dan discarded 1.342.

difabel-bertahan-di-masa-pandemi
Wali Kota Malang Sutiaji menerima bantuan PCR dari PT HM Sampoerna di Balai Kota Malang. (Terakota/Eko Widianto).

Wali Kota Malang Sutiaji menjelaskan lonjakan covid-19 lantaran rendahnya testing atau uji swab. Sehingga kesulitan melakukan tracing dan mencegah penyebaran lebih luas. “Penyebaran covid karena kurang 3T, tracing, treatment dan testing,” ujarnya.

Tak bisa tracing, ujarnya, lantaran uji swab lambat karena hanya bisa dilakukan di Rumah Sakit Saiful Anwar, Rumah Sakit Lavalette dan Rumah Sakit Universitas Brawijaya. Hasil uji swab baru bisa diketahui 16 hari usai uji swab. Beruntung, PT HM Sampoerna menyumbangkan polymerase chain reaction (PCR) untuk uji swab.

“Bantuan ini kami tunggu-tunggu,” katanya.  PCR akan dipasang di laboratorium Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Malang. Kapasitas pengujian sebanyak 32 sample selama 30 menit. PCR, kata Sutiaji, akan memudahkan dan mempercepat uji swab. Selama ini sejumlah daerah seperti Probolinggo, Blitar dan Kediri juga melakukan uji swab di Malang.

“Terima kasih kalau ada bantuan lagi. Mungkin sembako,” ujar Sutiaji. Bantuan PT HM Sampoerna disalurkan melalui mitranya Yayasan Stapa Center. Direktur Yayasan Social Transformation and Public Awareness (Stapa) Center Agus Rachmatullah  menuturkan bantuan PCR satu paket. Terdiri atas reagen, mesin ekstrasi dan pelatihan bagi tenaga kesehatan.

“Tinggal operasional saja,” ujarnya. Sampoerna telah menyalurkan PCR serupa ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Universitas Airlangga Surabaya. PCR didatangkan langsung dari Inggris.