Didi Kempot : Sentuhan “Dingin Kota Malang”

didi-kempot-sentuhan-dingin-kota-malang
Ilustrasi : Alit Ambara
Iklan terakota

Umpamane kowe ngerti sing ono atiku,

Nganti seprene mung kowe sing gawe rindu.

Ra ono uwong liyo sing biso nambani,

Yen ra nyawang esemmu ing wengi iki.

Kembang-kembang tresno pahite mahkutho

dewo.

Ora biso nambani yen aku gelo.

Yen nganti kowe lali marang aku iki,

Tak tagih janjimu neng Singosari.

Ademe Kutho Malang ing wayah wengi,

Nganti seprene sing tansah setyo ngancani.

Tak gegem kenceng-kenceng neng tangan iki,

Janjimu seprene sing tak enteni.

Umpamane kowe ngerti sing ono atiku,

Nganti seprene sing gawe kangen lan rindu

Ra ono uwong liyo sing biso nambani

Yen ra nyawang esemmu ing wengi iki.

Kembang-kembang tresno pahite mahkutho

dewo

Ora biso nambani yen aku gelo.

Yen nganti kowe lali marang aku iki,

Tak tagih janjimu neng Singosari

Ademe Kutho Malang ..…

(Lagu “Ademe Kuto Malang”, Pecipta dan Penyanyi Lagu : Didi Kempot).

Julukan “Malang Kota Dingin”

Terakota.idSebuah diantara tujuh atau sembilan julukan untuk Kota Malang metupakan “Kota Dingin (Cold City)”. Sebenarnya, julukan tersebut tidak hanya hanya berlaku untuk Kota Malang, namun dua daerah tetangganya — yaitu Kota Batu maupun Kabupaten Malang, bisa juga diberi julukan demikian, walau pada masyarakat di luar daerah dan di luar negara, sebutan itu lebih melekat kepada Kota Malang. Julukan atau predikat lainnya untuk Kota Malang adalah : (a) Paris of East Java, atau Paris van Java, (b) Malang Pendidikan, Malang, (c) Malang Kota Bunga, (d) Bumi Arema, (e) Malang Kota Wisata, (f) Ngalam Kipa, (9) Kota Bersejarah, (h) Kota Kuliner. Pada dasawarsa terakhir, ada pula predikat “Kota Heritage” bagi Kota Malang. Pada Masa Kolonial, Kota Malang pernah pula memperoleh predikat sebagai “Kota Garnizoen”.

Predikat “Malang Kota Dingin” berkenaan dengan geografisnya, yang berada di dataran tinggi, dengan titik tertinggi 667 m (2,188 ft) dan titik terendah 440 m (1,440 ft). Hawa dingin di Kota Malang tersebut juga dipengaruhi oleh posisinya yang berada “di lingkung gunung”, yaitu Gunung Seneru (Maheru) di sisi timur, Gunung Tengger — termasuk di dalamnya Gunung Bromo dan Batok pada sisi Utara -timur, Gunung Arjuno, Welirang dan Ajasmiro di sisi utara- barat, Gujung Kawi di sisi barat, serta Pegunungan Kapur di sisi selatan. Angin orografis dari puncak serta lereng gunung-gunung yang mengelilinginya di perjuru mata anginnya yang turun menuju ke areal Kota Malang turut “memberi dingin” padanya.

Demikian pula, manakala musim dingin dan udara berembun, orang bilang “embune ngendok nang Malang (embunnya ‘bertelor’ di Malang). Itulah sebabnya, semenjak Masa Kolonial, Gemeente (Kota Praja) Malang telah mendapatkan sebutan sebagai “Kota Dingin”, laiknya Kota Paris di negeri Perancis

Perihal “kota berembun (berhalimun)”, memasuki tahun 1990-an “mulai menghilang” di Kota Dingin Malang Kalaupun ada selimut embun, itu hanya sesekali, pada bulan tertentu dan cuaca tertentu Demikian juga, dinginnya Kota Malang tak sedingin lagi pada beberapa dasawarsa sebelumnya. Dalam beberapa tahun terakhir, suhu udara di Malang Raya pelan-pelan tapi pasti memang bertambah panas.

Kenaikan suhu udara tersebut berlangsung pelan atau tidak drastis, sebagai akibat perubahan iklim dan cuaca yang cukup lama. Selain iitu ada faktor lingkungan, yakni lantaran pohon-pohon tak sedikit yang ditebangi. Ruang terbuka hijau yang dahulu cukup luas, kini menjadi kawasan terbangun karena meningkatnya kebutuhan perumahan. Kenaikan suhu tidak sampai 1° Celcius per tahun. Meskipun demikian, kenaikan suhu udaranya itu berlangsung terus-menerus. Suhu udara tertinggi yang dicatat oleh BMKG Karangploso mencapai 33,8° C pada musim penghujan di bulan November 2002 Adapun suhu terendah hingga mencapai 11° C pada bulan Agusutus 1994. Malang tidak sedingin dulu lagi, utamanya sejak tahun 1990-an. Selama beberapa tahun tahun terakhir, suhu udara di Malang Raya tak pernah mencapai rata-rata 16° C bulan Juni atau memasuki awal musim kemarau.

Julukan “Kota Dingin (Koud Staad)” terhadap Kota (Gemeente) Malang telah hadapi semenjak Masa Kolonial hingga kini. Meski sekarang Kota Malang kian bertambah panas, namun bagi warga dari kuar daerah, Kota Malang masih dibilang sebagai “Kota Dingin”. Hawa dingin di Kota Malang cenderung membuat di bulan Juni, Juli dan Agustus. Pada tiga bulan itu, serasa konon — ketika Kota Malang diberi julukan “Switzerland van Java”, karena suhu udara kotanya yang dingin dan sejuk. Kendati kini kian panas, numun kesan dan nuansa dingin pada Kota Malang masih dirasakan oleh orang-orang di daerah lain — di luar Malang Raya. Tidak terkecuali yang konon sempat dirasakan oleh almarhum maestro Campursari — yang sekaligus “The Goodfather of Broken Heard”, yakni Didi Kempot.

Dinginnya Kota Malang bagi Didi Kempot

Nuansa “Dingin” dari Kota Malang yang dirasakan oleh Didi Kempot tergambar di dalam judul dan perkataan pada syair agu ciptaannya, dan yang dinyanyikan olehnya, yang sengaja diberi judul “Ademe Khuto Malang”. Bagi Didi Kempot, kesan pertama pada Kota Malang itu adalah “berhawa dingin”. Selain tergambar pada judul lagu, terdapat perkataan pada baris ke-9 dan 21, dengan kalimat “Ademe Kutho Malang ing wayah wengi, …. “.

Ya, memang, walaupun pada siang hari suhu udara di Kota Malang terasa panas, namun kontras dengan suhu di malam hari yang terasa dingin. Benarkah yang dikatakan oleh Didi Kempot pada judul dan syair lagunya itu. Almarhum di syair lagunya itu mengesani Kota Malang sebagai kota yang asri, dinamis, dan tentu sejuk hawanya. Malang adalah kota tradisi yang mendapat sentuhan modernitas.

Yang terang, Kota Malang dirasa oleh Didi Kempot sebagai mengandung sisi romantis, mengundang kerinduan, serta menorehkan kenangan yang tak gampang dilupa”, seperti kesan pandang terhadap senyuman manis di suatu malam. Bait I pada syair lagu “Ademe Kota Malang” menyiratkan hal yang demikian.

Umpamane kowe ngerti sing ono atiku,

Nganti seprene mung kowe sing gawe rindu.

Ra ono uwong liyo sing biso nambani,

Yen ra nyawang esemmu ing wengi iki

Didi Kempot mengilustrasikan kisah cintanya dengan seorang perempuan dari Singosari, yang termasuk di dalam wilayah Kabupaten Malang. Sengaja dipilihnya Singosari, sebab tempat yang konon menjadi Ibukota (kadatwan) dari kerajaan Tumapel ini cukup populer di dalam ataupun pada manca negara. Terhadapnya bunga-bunga cintanya tumbuh bersemi. Oleh karena itu, apabila dirinya sampai dilupakan (yen nganti kowe lali marang aku), maka yang timbul adalah rasa kecewa (gelo), rasa pahit — yang “sepahit rasa Makuto Dewo”. Pahitnya diibaratkan dengan pahit dari Makuto Dewo (Mahkota Dewa, pada bahasa Latin “Phaleria macrocarpa” — varian sebutannya “Makuto Rojo, Makuto Ratu, Raja Obat, adapun warga Tionghoa menamainya “Pau” berarti : obat pusaka), yakni suatu tanaman yang kabarnya berasal dari daratan Papua.

Kulit, daging dan cangkang buah, atau bisa juga daunnya yang pahit memiliki kasiat luar yang biasa sebagai “bahan obat” untuk penyakit ringan hingga sakit yang nyaris tak ada harapan sembuh, seperti pegal-pegal, flu, diabetes, kanker, sakit jantung, hipertensi, rematik, dan asam urat. Kasiat penyebut luar biasa dari Makuto Dwi itu, oleh Didi Kempot digambarkan tak dapat sembuhkan sakit gelo (kecewe) karena dilupakan sang kekasih. Oleh karena itu, janji kasihnya bakal ditagih di Singosari. Perihal itu tergambarkan pada bait ke-2 dari syair lagunya, yaitu sebagai berikut.

Kembang-kembang tresno pahite Makuto Dewo,

ora biso nambani yen aku gelo.

Yen nganti kowe lali marang aku iki,

Tak tagih janjimu neng Singosari.

Singosari di kawasan Malang Raya, yang berhawa dingin, utamanya pada malam hari, tak terlupakan. Sekan setia menemani (setyo ngancani) ingatannya pada gadis Singosari. Suatu kenangan indah, yang digenggam kencang di tangannya (. … tak genggem kenceng- kenceng neng tangan iki). Janji kasih yang hingga kini yang ditunggu. Rasa cinta yang kuat itu tergambar di dalam bait ke-3 syair lagunya, yaitu sebagai berikut.

Ademe Kutho Malang ing wayah wengi.

Nganti seprene sing tansah setyo ngancani.

Tak gegem kenceng-kenceng neng tangan iki.

Janjimu seprene sing tak enteni.

Pada bait ke-4, Didi Kempot menggambarkan suasana hati kange-rindu, yang tak terobati oleh iralain dan dengan cara lain — sekalipun dengan obat mujarab Makuto Dewo, selain dengan melihat sungging senyum (esen) dari kekasihnya di waktu malam. Demikianlah bunyi syair lagunya.

Umpamane kowe ngerti sing ono atiku,

Nganti seprene sing gawe kangen lan rindu.

Ra ono uwong liyo sing biso nambani

Yen ra nyawang esemmu ing wengi iki

Kerinduan terhadap “ademe (dinginnya)” Kota Malang yang digambarkan oleh Didi Kempot tersebut selaras kerinduan dan penghapan warga Kota Malang pada suhu udara kotanya, yang dari waktu ke waktu terdegradasi menjadi menjadi kian panas Pengharapan pula dari orang-orang dari luar daerah ataupun warga manca negara yang pernah merasakan dinginnya Kota Malang.

Jangan sampai terjadi Kota Malang benar-benar kehilangan hawa dinginnya, tercerabut dari julukan sebagai “Kota Dingin”. Lebih tidak diharap lagi tentu hilangnya predikat “Kota Dingin” di satu kondisi, digantikan dengan kondisi lain yang berjejukuk baru sebagai “”Kota Macet” yang berpolusi. Oleh karena padat kendaraan dan macet, disertai polusi udara, maka dinginnya Kota Malang terdegradasikan.

Citra Daerah pada Syair Lagu Didi Kempot

Lagu “Ademe Kuto Malang” adalah salah sebuah dari paling tidak 21 lagu cintaan Didi Kempot yang mengapresiasi suatu daerah. Seperti biasa pada syair-syair lagunya, apresiasi terhadap sesuatu dibingkai oleh Didi Krmpot dalam “bingkai asmara”, seperti cinta-kasih, janji setia, kerinduan, penantian terhadap kekasih, kenganan indah yang tak terlupa, hingga kekecewaan karena kekasih ingkar janji dan raib cintanya.

Dalam lagu “Ademe Kuto Malang” Itu pun, Didi Kempot berkisah tentang bungu asmara (kembang tresno) dari seseorang kepada gadis Singosari. Pesona senyumnya di suatu malam yang dingin, yang tidak terlupakan. Mengggugah rasa indu (kangen lan rindu), yakni penyakit asmara (loro wuyung), yang tidak tergantikan oleh orang lain dan dengan cara pengobatan lain — sekalipun dengan obat mujarab Makuto Dewo. Satu-satunya obat mujarab untuk dapat mengobati kerinduannya adalah dengan melihat kembali senyum kekasih, seperti dulu pada malam dingin di Singosari.

Demikianlah, sekitar satu dasawarsa lampau Didi Kempot telah menciptakan satu lagu khusus untuk “Bumi Arema”, dengan judul yang amat pas untuk suasana geografis di Kota Malang, yaitu “Ademe Kutho Malang”. Suatu apresiasi dan olah kreasi seni dalam mencipta lagu, dengan menjadikan kekhasan suatu daerah sebagai sumber inspirasi. Bagi sang kreator Didi Kempot, apapun tak ada yang tidak bisa dikreasikan menjadi lagu. Terlebih Kota (lebih luas lagi Malang Raya) yang berpanirama esok dan bernuansa romatis, tentu merupakan ladang subur untuk dijadikan bahan berolah kreasi.

Tempat yang sangat jauh sekalipun, seperti daerah-daerah pada negeri Suriname, telah pula menjadi lahan harapan untuk berolah cipta lagu, misalnya lagunya yang berjudul “Angen Paramaribo”. Didi Kempot memang sering berkunjung ke Paramaribo, yakni Ibu Kota Negara Suriname, untuk gelar konser. Selain itu ada kagu berjudul “Kangen Nickerie”,yang terinspirasi oleh suasana di Nickerie, suatu distrik di Suriname yang memberinya kesan tersendiri.

Tentu tidak terkecuali inspirasi banyak daerah atau tempat di Indonesia dalam olah kreasi lagu Didi Kempot. Setelah stasiun Kereta Api “Balapan” dan “Terminal Tirtonadi” yang ada di Solo, pelabuhan “Tanjungmas” Semarang pun turut memginspirasi. Begitu ula, pelabuhan “Tanjung Perak” di Surabaya, yang pada era Hindia-Belanda telah dilakukan, tak luput pula digubah menjadi tembang bergaya khas Didi Kempot.

Trenggalek juga ikut menginspirasi lagu dengan judul “Trenggalek Nyimpen Tresno”, dan daerah Magetan untuk lagu “Kangen Magetan”. Selain itu, sejumlah tempat wisata, seperti Malioboro maupun Pantai Parangtritis di Yogyakarta, Pantai Klayar di Pacitan, Jembatan Suramadu di Surabaya, serta Gunung Api Purba Nglanggeran di Gunung Kidul tak pelak dijadikan lagu. Kopi dari Lampung juga mempesona Didi Kempot pada penciptaan lagu berjudul “Kopi Lampung”.

Bahkan, koridoor jalan, misal jalan baru (dalan anyar) sebelah barat Terminal Kertonegoro di Ngawi maupun jalan tebus Karanganyar sampai dengan Magetan ikut pula menjadi lahan garapannya manakala menciptakan lagu. Pesona Kalimantan juga hadir padalagu berjudul “Perawan Kalimantan”. Sempat pula terbersit oleh Didi untuk menjadikan mendung di daerah Temanggung untuk dikreasi menjadi lagu. Namun sayang sekali belum berkesempaian, seperti impiannya untuk mencipta 1000 lagu tentang daerah-daerah.

Demikianlah, Malang terbilang “beruntung”, karena Didi Kempot sempat ciptakan lagu tentang “Kota Dingin” ini. Beberapa kali Didi bertandang ke Kota Malang, termasuk memenuhi undangan terbatas dari sahabatnya, sesama pecinta lagu bernuansa budaya (Keroncong, Campursari, Gending Jawa, dsb. ), yaitu Peni Suparto, yang kala itu menjabat Wali Kota Malang. Rupanya Didi jatuh hati pada Kota Malang. Ia mengapresiasi Malang sebagai kota yang asri, dinamis, sejuk-dingin, dan bahkan romantis, yang kemudian menginspirasinya untuk membuat lagu dengan judul “Ademe Khuto Malang’”syairnya menarik, cukup mewakili kesan tethadap Malang, utamanya sebagai “Kota Dingin” sekaligus “Kota Bunga”.

Perkataan “Ademe Kuto Malang” dan istilah metafora “kembang tresno” memberi suatu gambaran tentang itu. Begitu pula pilihannya pada daerah Singosari didasari oleh pesona Didi Kempot terhadap Malang Raya. Boleh dibilang lagu “Ademe Kutho Malang” mengabadikan julukan “Kota Dingin” Malang lewat syair lagu, dan siga bakal dinyanyikan di sepanjang masa oleh warga masyarakat Malang maupun luar Malang. Didi telah mengapresiasi Kota Malang dan mempromosikannya lewat lagu, suatu model promosu secara alami, yang menjadikannya dekat dengan keseharian masyarakat.

Kontribusi Didi Kempot bagi Malang Via Lagu

Didi Kempot berkontribusi menciptajan lagu- lagu yang berkiah tentang daerah, kota, distrik, destinasi wisata, koridoor jalan, unsur fisis- Allah, dsb. Tidak sedikit daerah dan tempat di Jawa Tengah maupun Jawa Timur yang tertoreh dalam syair lagunya, dan Malang merupakan salah sebuahnya. Apa dadar pertimbangan Didi untuk mencipta lagu bertema kedaerahan itu? Di dalam wawancaranya dengan seorang penyiar radio sekalugus “Youtuber” Gofar Hilman pada acara “Ngobrol Bareng dengan Musisi (Ngobam) Didi Kempot” di Wedangan Gulo Klopo,

Kartasura alasannya membuat lagu-lagu demikuan adalah “Kenapa daerah dibikin lagu, satu daerah itu sudah terkenal duluan, seperti saya menulis lagu Parangtritis. Itu tempat wisata di Jogja yang orang sudah tahu semuanya” Dengan demikian, menurut Didi “….. . orang lain sudah ‘mengenal’ lagu tersebut melalui judul. Pasti banyak orang punya kenangan di situ, kayak Pantai Klayar, lagu Stasiun Balapan, dsb. ‘. Selain itu, tentu Didi mempunyai kenangan tertentu pada suatu tempat yang dusyairlagukan, yang boleh jadi kenangan manis romantis, yang abadi dan karena ya sulit dilupakan olehnya.

Tak terkecuali terhadap Malang. Didi Kempot dalam lagu “Ademe Kuto Malang” berkisah bahwa Malang (Singosari) menjadi tempat, dimana ia menunggu sang kekasih. Lagu itu diciptakan, selain lantaran senang setiap kali berada di Malang, juga terkesan oleh udara dingin dan suasana alami Kota Malang. Lantaran menurutnya Malang sangat dingin, dan kerap tak tahan dengan dinginnya, justru inilah yang selalu membuatnya rindu pada Kota Malang. Selain itu, tembang “Ademe Kuto Malang” secara khusus dudikasikan buat karibnya, yakni Peni Suparto, yang penyuka lagu-lagu campursari. Lewat lirik puitis yang mendayu- dayu, kreator tembang Campursari yang nyaris senantiasa bertema romantis ini seolah “all out” dalam luapkan rasa rindu dan timpahakan harapan cinta terhadap pujaan hati yang ditunggui di Singosari..

Memang, sepekan yang lalu, Didi Kempot, yang berjejuluk “The Godfather of Broker Heart” telah berpulang. Namun buah karyanya tentang Malang yang berjejuluk “Kota Dingin” tetaplah ada, bakal terus dinyanyikan orang. Manatkala lagu “Ademe Kota Malang” dinyanyikan, jikala itu pula kenangan terhadap Maestro Didi Kempot terabadikan. Nuwun.

Sangkaling, 11 Mei 2020

Griya Ajar CITRALEKHA