
Terakota.id – Urut-urutan bulan kalender masehi yang biasa kita kenal selama ini adalah; Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, November, Desember. Saat pandemi covid-19 dibutuhkan kalender baru; Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Maret, April, Mei, Juni.
Mengapa bisa begitu? Kita lihat bagaimana proses penanganan virus covid-19 di Indonesia yang sampai bulan September 2020 belum menunjukkan tanda-tanda bisa teratasi. Sementara negara lain sudah mulai ada yang bisa menekan penyebaran virus dan menekan angka kamatian.
Penanganan pandemi yang belum membuahkan hasil sesuai harapan itu tentu ada masalah yang menyertainya. Masalah yang selama ini tentu tak bisa dibaca, didengar dan ditonton masyarakat kebanyakan. Perdebatan karena kepentingan politik pun ikut membikin semakin ruwet.
Memang selama ini pemirintah tidak berusaha mengatasi? Tentu saja sudah berusaha. Namun usaha yang dilakukan bisa jadi berada dalam tataran permukaan, bukan substansi isi. Bahkan pandemi ini ditanggapi tidak serius. Apa buktinya? Lihat komentar para pejabat pemerintahan diantaranya yang tersaji dalam judul-judul berita.
Kita lihat data yang pernah ada. “Kelakar Menhub: Kita Kebal Corona karena Doyan Nasi Kucing” (Republika, 17/2/20), “Menkes Tantang Harvard Buktikan Virus Corona di Indonesia” (CNN Indonesia, 11/2/20), “Mahfud: RI Satu-satunya Negara Besar di Asia tak Kena Corona” (CNN Indonesia, 7/2/20), “Jokowi Pastikan Virus Corona Tak Terdeteksi di Indonesia” (Ayo Bandung, 27/2/20), “Terawan Bicara Kekuatan Doa yang Bikin RI Bebas Corona” (CNBC Indonesia, 17/2/20), “Kelakar Bahlil di Depan Hary Tanoe: Virus Korona Tak Masuk Indonesia Karena Izinnya Susah” (Okezone, 24/2/20), “Canda Luhut saat Ditanya Corona Masuknya Batam; Mobil? (Detik, 10/2/20).
Bahkan enam bulan (September 2020) sejak terjadi polemik dan perkembangan covid-19 semakin “menakutkan”, Luhut mengatakan, “Luhut Soal Covid-19 RI; Saat Ini Semua Sangat Tekendali” (CNBC Indonesia, 13/9/20). Apa yang bisa kita simpulkan jika bukan virus itu hanya menjadi kelakar semata?
Apakah pemerintah tidak melakukan usaha untuk mengatasinya? Tentu sudah melakukan sesuai kemampuan. Tetapi sekali lagi, ada cara-cara kebijakan yang unik menyertainya. Dalam bahasa sindiran; kita sudah mencoba nasi kucing, goyang tiktok, memproduksi kalung jimat corona, minum jamu sesuai anjuran, dan minum jus kulit manggis. Namun kenapa cara-cara demikian belum manjur?
Coba kita lihat data Kementerian Kesehatan sampai 9 September 2020. 5 provinsi dengan angka kematian tertinggi ada di Jawa Timur (2.646), DKI Jakarta (1.334), Jawa Tengah (1.106), Sulawesi Selatan (374), dan Kalimantan Selatan (374).
Bandingkan juga dengan negara tetangga Singapura. Negara tersebut warga negaranya yang tercatat potisif (57.166), sembuh (56.492) dan meninggal (27). Pemerintah bisa berkilah karena negara itu sudah maju, ekonomi kuat, fasilitas kesehatan sudah mumpuni, jumlah penduduknya sedikit atau alasan yang dibuat-buat yang lain. Boleh saja. Tetapi jika demikian apakah kita juga pernah belajar dari negara lain soal mengatasi pandemi ini? Â Itu belum termasuk ratusan dokter yang meninggal karena covid-19.
Yang justru terjadi, informasi dari pemerintah terkesan membela diri. Jika ada orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat buru-buru dicurigai. Mana yang dituduh merongrong, tidak suka pemerintah, ingin mengacau, agar ekonomi hancur, ingin merebut kekuasaan dan lain-lain. Tetapi belum ada niat pemerintah untuk merangkul mereka yang berbeda usul dan mengkritik kebijakannya.
Pelajaran
Sekarang kita tak usah saling menyalahkan. Lalu apa hikmah yang kita petik? Pertama, pejabat pemerintah tidak boleh lagi berkelakar soal virus covid-19. Buktinya, kelakar mereka hanya menjadi bahan tertawaan sementara penyebaran virus belum bisa teratasi. Mereka itu pejabat yang daripadanya disimpan pula sebuah teladan bagi masyarakat.
Jika pejabatnya suka berkelakar pada hal yang serius, jangan harap masyarakatnya ikut serius. “Mengapa para pejabatnya senang berkelakar, sementara kita disuruh serius pakai masker, jaga jarak, sering cuci tangan?, “jawaban yang mungkin muncul dalam perbicangan masyarakat umum. Jadi, kelakar itu memukul balik para pejabat.
Kedua, harus diakui bahwa Indonesia tertatih-tatih dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Pernyataan-pernyataan para pejabat yang memberi harapan agar penyebaran virus bisa ditekan ternyata nol. Bukan tak ada usaha menekan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan lain. Mau membela diri apa lagi? Pembelaan diri yang berkebihan hanya menunjukkan bahwa kondisi untuk mengatasi pandemi covid-19 memang memprihatinkan.
Ada juga harapan-harapan bahwa pada bulan kesekian ekonomi kita akan stabil. Ini harapan palsu untuk menutupi kekurangan. Belum lagi wabah ini tertekan mall dibuka dan pariwisata digenjot. Akhirnya bisa kita saksikan pada bulan September 2020, bukan? Ini kita bicara fakta. Sebab jika kritikan itu dilakukan pada bulan Maret 2020 nanti bisa dikira “tukang kritik”. Namun jika sudah terjadi apa yang akan disanggah? Memang bangsa ini biasa sadar setelah semua terjadi.
Jika pemerintah mau jujur saya yakin segenap elememan masyarakat  mau diajak bersama-sama untuk mengatasi masalah pandemi ini. Mengapa selama ini masih ada protes karena pemerintah terkesan jalan sendiri dengan memandang sebelah mata aspirasi rakyatnya. Jika jujur maka permasalahan akan bisa diungkap dan ada solusi apa yang harus dilakukan. Saat ini, bukan lagi urusan  pencitraan sebagaimana menjelang Pemilu.
Ketiga, silang pendapat soal kebijakan harus segera diakhiri. Lihat misalnya perseteruan antara gubernur DKI Jakarta dengan Menko Perekonomian terkait akan diberlakukannya kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Menko mentah-mentah menolak ide gubernur. Bukan soal membela salah satu pihak, tetapi mengapa ini harus muncul di permukaan sehingga banyak masyarakat ikut menyimaknya?
Saya pernah geregetan. Ingin membuat group WhatsApp (WA) dengan anggotanya para menteri dan gubernur se Indonesia. Biar mereka diskusi, debat, bantah-bantahan dalam grup saja. Daripada silang pendapat dan disiarkan ke publik? Bukankah menteri itu juga “pembantu”presiden? Waktu terjadi silang pendapat itu pun saya sangat menunggu pernyataan presiden karena bagaimanapun juga harus dihormati sebagai pengambil kebijakan di tingkat “pusat”.
Putar Haluan
Sekarang semua sudah terjadi. Wabah terus meningkat. Kebijakan juga belum maksimal membuahkan hasil. Pertanyaannya, bisakan kita membuat “kalender baru?” Kalender baru itu berisi urutan: Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, Maret, April, Mei, Juni.
Apa alasannya? Kita seolah kembali ke bulan Maret 2020. Saat wabah ini mau menyebar ke Indonesia. Langkah-langkah 6 bulan lalu yang kurang tepat bisa diatasi. Seandainya lockdown itu satu-satunya cara bagus, jitu, dan cepat bisa dilakukan. Waktu itu saat ada kalangan akademis mengusulkan lockdown pemerintah tidak menerima usulannya. Alasannya soal ekonomi, sementara korban nyawa seolah tak masuk hitungan. Beranikah?
Dengan kondisi carut marut ekonomi yang kian buruk ini akankah dilakukan kebijakan awal sebagaimana Maret 2020? Lha dahulu itu tidak mau diberikan masukan. Sama-sama ekonomi buram, mengambil langkah tegas yang berbeda sebagaimana Maret 2020 layak menjadi pertimbangan. Entah itu lockdown, karantina, PSBB atau apa. Tidak usah tergesa-gesa memunculkan istilah yang membikin semakin buruk seperti new normal. Kita sebaiknya menuju next normal dengan protokol kesehatan yang ketat. Ini lebih realistis. PSBB pun jika hanya diperpanjang tetapi tidak diperkeras tidak akan banyak hasilnya. Jadi kuncinya, panjang dan keras.
Jadi mesti latihan mengolah rasa lagi. Gelombang baru datang kembali. Ya, tidak ada cara selain sigap siaga. Mantap pak dosen.