
Terakota.id–Ada baiknya, seseorang perlu menyisakan ruang sedikit ketidakpercayaan pada pesan  yang dikemukakan oleh seorang pejabat. Ini tidak berarti mengajak tak percaya pada omongan  pejabat. Bukan itu. Cara ini penting untuk dilakukan agar seseorang bisa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Juga agar pemahaman masyarakat atas pesan seorang pejabat tidak salah.
Tentu akan ada orang yang menyangkal dan menanggapi, “Jika begitu  apakah  kita selalu curiga pada pesan seorang pejabat?”, “Berarti kita tidak berprasangka baik dong?”, “Anda ini kan beragama. Sudah jelas dalam agama ini mengajarkan tak boleh berprasangka buruk. Cara itu bukan ajaran agama”.
Tentu akan ada banyak tanggapan jika seseorang mengatakan agar tak percaya seratus persen pada pesan yang disampaikan pejabat. Paling banter nanti akan  dianggap hate speech atau haters. Karena dalam situasi saat ini sangat mungkin dan mudah bagi seseorang untuk menjatuhkan vonis pada kelompok yang berbeda pendapat.
Konteks dalam tulisan saya ini tentu pejabat dalam arti umum. Ia tidak menunjuk pada seorang pemimpin A atau B. Pada negara C atau D. Tetapi harus dipahami secara umum. Jika seseorang tiba-tiba secara membabi buta menuduh yang bukan-bukan pada seseorang yang mengatakan kalau omongan pejabat itu tidak bisa dipegang artinya sang penuduh itu jangan-jangan sudah telanjur menjadi pendukung fanatik. Namanya pendukung fanatik apa-apa yang dilakukan atau yang dikritikkan pada junjungannya akan dipahami sebagai rongrongan, ketidaksukaan, apalagi tiba-tiba dikaitkan dengan kudeta atau semacamnya.
Dalam hal ini kita perlu mempunyai “usus panjang”. Enyahkan terlebih dahulu dukungan fanatik pada sekelompok tertentu. Atau lepaskan terlebih dahulu bahwa Anda bukan robot yang hanya mendukung pemerintahan dengan membabi buta. Ini misalnya. Meskipun saya yakin hal demikian tidak akan mudah dilakukan. Sebab, “Kalau cinta sudah melekat, gula jawa rasa cokelat”.
Tetapi apakah dengan demikian usaha untuk menunjukkan hal yang sebenarnya harus dilarang? Atau pesan lain yang sebenarnya mencoba meluruskan harus ditekan sedemikian rupa? Hanya dalam pemerintahan otoriter segala perbedaan yang ada dilarang. Soal adanya perbedaan pendapat, dimanapun, kapanpun, pada pemerintahan siapapun akan selalu ada. Masalahnya, tinggal seseorang itu mau dan bisa berpikir jernih atau tidak? Ini bukan masalah yang mudah untuk dilakukan. Apalagi jika berkaitan dengan orang yang bisanya menilai dengan hitam-putih.
Inti Pesan
Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertanyaan lain tak kalah pentingnya; apakah seseorang ingin mengetahui maksud sebenarnya dari sebuah pesan? Apakah ia bukan termasuk golongan yang biasa menilai hitam-putih, benar-salah atau halal-haram? Jika jawabannya “ya”, maka tulisan ini bisa dijadikan rujukan dan bahan diskusi. Karena Anda tidak termasuk kelompok yang memandang dari kacamata kuda.
Begini. Sebagai orang yang pernah belajar ilmu komunikasi hal demikian tentu bisa saya pahami. Inti komunikasi itu ada pada pesannya. Lalu apakah pesan yang disampaikan pada orang lain atau diterima senyatanya begitu? Misalnya, seseorang mengatakan, “Saya tidak korupsi”, “Jika nanti saya terpilih, saya akan membebaskan SPP”, “Pelanggaran HAM harus dituntaskan. Mudah jika nanti saya menjadi pejabat”. Pertanyaannya, apakah kita percaya begitu saja pernyataan-pernyataan di atas?
Dalam ilmu komunikasi, inti pesan komunikasi juga sering terletak pada apa yang tidak dikatakan. Dengan demikian apakah yang dikatakan bukan kebenaran? Bukan begitu. Maksudnya, jika kita ingin melihat inti pesannya jangan terjebak pada apa yang dikatakan saja. Terutama yang dikatakan oleh elite politik.
Mengapa begitu? Karena apa yang dikatakan elite politik itu kepentingan. Tentu saja kepentingan pada kekuasaan, ketakutan kehilangan kekuasaan atau ketergantungan dirinya pada kekuasaan yang berimbas pada keuntungan-keuntungan lainnya. Apakah dengan demikian kita harus selalu curiga pada pernyataan elite politik? Bukan curiga, hanya sisakan sedikit ruangan dalam pikiran kita untuk tidak percaya sepenuhnya pesan yang dinyatakan. Dari situ kita akan lebih memahami inti pesannya. Dari pada nanti yang rugi diri sendiri, bukan?
Tidak percaya? Boleh kita buka lembaran-lembaran apa yang pernah dinyatakan para pejabat politik. Terserah mau pada pemerintahan siapa. Karena kecenderungan pejabat membela jabatan dan yang berkait erat dengannya. Tentu ini tak bermaksud membabi buta mengatakan tak ada pejabat yang bisa dijadikan teladan. Tetap ada segelintir orang yang bisa dijadikan teladan.
Bisa juga orang yang sudah masuk lingkar kekuasaan akan mempunyai pesan berbeda. Pesan-pesan yang diucapkan tentu berkaitan dengan kepentingan kekuasaan. Bagaimana tidak karena mereka sudah menjadi bagian dari kekuasaan. Bukan tidak boleh, tetapi mana suara garang yang pernah diteriakkan saat protes ada pelanggaran HAM saat jadi aktivis, misalnya,  sementara pelanggaran HAM saat ini juga tak kalah tragisnya? Ini seumpama.  Bukankah banyak aktivis yang akhirnya “menjual diri” di bawah ketiak kekuasaan hanya karena menggantungkan pada jabatan dan keuntungan yang didapatkannya? Tentu ini tidak seratus persen salah, hanya integritasnya layak ditanyakan.
Jadi begini saja. Biar kita sehat dan tidak punya pikiran macam-macam sebaiknya setiap pernyataan pejabat itu kadang perlu dipahami sebaliknya. Ini cara agar kita tetap waras. Jika pejabat itu bicara tentang X, pahami ada informasi lain yang disembunyikan, misalnya Y. Sebab, apa yang dinyatakan sering hanya berkepentingan pada jabatan atau kepentingan yang melakat pada dirinya. Beruntung jika informasi itu soal masak-memasak, misalnya salah bumbu. Ini misalnya saja. Bagaimana jika pesan yang disampaikan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak? Dari sinilah sebaiknya kita lebih paham dan bijak dalam memahami bahasa elite politik.