Di Mana Rumah Sastra Terjemahan?

Ilustrasi : kampungcourse
Iklan terakota

Terakota.id–Ketika mempersiapkan dan kemudian berbicara dalam diskusi “Eksistensi Terjemahan Karya Sastra Dunia di Indonesia” bersama Terakota pada Sabtu, 27 Februari 2021 yang lalu, saya dihantui pertanyaan: di manakah kita harus mendudukkan sastra terjemahan di Indonesia ini? Apakah dia bagian dari sastra Indonesia? Ataukah dia hanya bagian dari bacaan sastra secara umum yang kebetulan ada di Indonesia? Atau, jangan-jangan ada kompleksitas yang lebih jauh perihal terjemahan karya sastra ini?

Setelah menengok ruang-ruang diskusi, membuka-buka referensi, dan bertanya kawan sana-sini, ternyata yang ada bukan hanya jawaban. Jawabannya bisa beragam mulai dari jawaban yang mudah sampai jawaban yang agak kompleks. Dan semakin kompleks jawaban itu, semakin banyak pula yang bisa kita dapatkan. Kalau melihat jawaban-jawaban itu, tampaknya hal ikhwal sastra terjemahan ini implikasinya ke mana-mana, mulai dari urusan labelisasi, merdeka belajar, hingga industri perbukuan.

Diskusi selengkapnya bisa diakses di sini

Sebagai Sastra Negara Asal

Sebelum ke mana-mana, mari kita mulai dengan mencoba jawaban yang paling sederhana untuk pertanyaan pada judul esai ini: bahwa sastra terjemahan adalah bagian dari tradisi sastra di negara atau bahasa asal mereka. Di sini, asal geografis dan linguistik karya-karya itu dianggap sebagai penentu identitasnya. Apa pun bahasanya saat ini, identitas karya sastra ditentukan asal-usulnya. Karya sastra terjemahan dari bahasa Rusia adalah bagian dari karya sastra Rusia, begitu juga karya sastra dari Jepang dan Amerika merupakan bagian dari sastra Jepang dan sastra Amerika. Bahasa Indonesia dalam hal ini dipandang sekadar bahasa sasaran yang menjadi jembatan bagi pembaca di Indonesia.

Tampaknya, inilah yang paling banyak dipegang di ranah akademik. Hal ini khususnya terjadi dalam kajian-kajian tentang hasil dan proses penerjemahan karya-karya dari bahasa tertentu. Sastra terjemahan dari bahasa Inggris, misalnya, banyak dibahas dalam kaitannya dengan strategi-strategi penerjemahan yang diaplikasikan oleh penerjemahnya di program studi bahasa Inggris. Implikasinya, yang akhirnya bisa mendapat sorotan kritis lebih banyak hanya karya-karya sastra yang ada jurusannya di perguruan tinggi Indonesia.

Karya-karya sastra dari bahasa Inggris, Jepang, Prancis, dan sebagian kecil bahasa lain saja yang mendapat kajian kritis. Karya-karya sastra terjemahan dari Hongaria, Yunani, Vietnam, dan negara atau bahasa lainnya yang tidak memiliki jurusan di Indonesia akhirnya tidak mendapatkan ekspos kritis yang cukup mendalam. Karya-karya sastra terjemahan yang “tidak berumah” ini tidak mendapatkan cukup perhatian kritis yang dibutuhkan agar dia semakin bermakna bagi pembacanya. Atau, mereka baru mendapat sorotan ketika karya-karya dari negara-negara tersebut dikaji mahasiswa Sastra Inggris yang diizinkan mengkajinya asalkan mengambil dari teks bahasa Inggrisnya.

Jawaban paling sederhana ini kurang menjanjikan untuk memberi tempat bagi sastra terjemahan. Lagi pula, di masa ini, ketika audiens memegang peran semakin penting dalam penciptaan makna, bijakkah tetap menekankan kepada sumber belaka?

Sebagai Sastra Dunia

Mari kita coba alternatif jawaban kedua: bahwa karya-karya sastra terjemahan merupakan bagian dari sastra dunia. Sastra dunia adalah istilah yang mudah kita gunakan untuk menyebut karya-karya sastra yang penyebarannya sudah melampaui batas-batas geografis dan linguistiknya. Demikian definisi sederhana yang ditawarkan oleh Johann Wolfgang von Goethe.

Karya-karya terjemahan sudah tidak lagi dibelenggu oleh negara dan bahasa asal mereka, tapi dirayakan sebagai karya sastra yang asalnya dari luar Indonesia. Tak jadi soal bahwa Namaku Merah Kirmizi karya Orhan Pamuk berasal dari bahasa Turki dan kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris sebelum akhirnya sampai ke bahasa Indonesia lewat terjemahan Atta Verin. Yang lebih berarti adalah bahwa novel itu ditulis oleh seorang peraih Anugerah Nobel di bidang Kesusastraan.

Di Indonesia, demikianlah karya-karya sastra terjemahan banyak dirayakan publik pembaca sastra. Para pembaca yang menggemari sastra bisa bernikmat-nikmat dengan karya-karya terjemahan dari berbagai penjuru dunia. Kita bisa mengenal karya-karya penulis Rusia hingga Kolombia dengan cara seperti ini. Dan para pembaca ini juga mencatat gagasan-gagasan pasca pembacaan dari esai-esai baik di media massa maupun di blog pribadi.

Esai-esai sastra yang terbit di media bisa dengan lincah dan lentur berbicara tentang karya-karya sastra dunia yang dibaca dalam bahasa Inggris maupun terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Bisa dibilang, sastra dunia (khususnya dalam terjemahan Indonesia) dirayakan benar-benar oleh publik sastra Indonesia, baik pembaca maupun penulis.

Dari penelusuran sekilas, tampak bahwa sastra dunia juga dikaji di dunia akademik. Hal ini bisa dilihat indikasinya dari artikel-artikel jurnal ilmiah yang terindeks oleh Portal Garuda. Terjemahan beberapa karya Leo Tolstoy, misalnya, dibahas di jurnal ilmiah bidang filsafat dan psikologi.

Kita juga bisa melihat kajian-kajian serupa ini atas karya-karya Albert Camus, yang disoroti dari bidang filsafat. Sepertinya, ada potensi dipertemukannya kegairahan publik sastra umum di Indonesia dengan minat sporadis dunia akademik terhadap karya-karya sastra dunia dalam terjemahan Indonesia. Banyak bidang yang sangat besar potensinya untuk digali dari sastra dunia dengan pertemuan dua wilayah ini.

Sebagai Sastra Indonesia

Terakhir, yang sedikit lebih kompleks adalah mengakui sastra terjemahan sebagai bagian dari Sastra Indonesia dengan sedikit catatan. Bagaimana pun juga, sastra terjemahan adalah karya sastra yang berbahasa Indonesia dan penikmatnya adalah orang Indonesia. Kenapa tidak kita masukkan saja ke dalam bahasa Indonesia? Argumen semacam ini pernah diajukan oleh Aprinus Salam. Dalam artikel berjudul “Sastra Terjemahan: Beberapa Persoalan,” Pak Aprinus mengajukan bahwa sastra terjemahan diterima sebagai bagian dari sastra Indonesia.

Namun, dengan mempertimbangkan sejumlah persoalan, mulai yang positif seperti manfaat sastra terjemahan dalam memperluas wawasan hingga yang negatif seperti fakta bahwa karya terjemahan tidak sebersih karya aslinya, Pak Aprinus memandang penyertaan sastra terjemahan sebagai bagian dari sastra Indonesia adalah sikap yang lebih kuat. Tentu argumen ini cukup kontroversial, apalagi bila kita masih beranggapan bahwa asal-usul adalah sesuatu yang sangat vital.

Di beberapa universitas, karya-karya sastra terjemahan juga masuk ke jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Karya-karya ini masuk ke kelas-kelas pilihan seperti mata kuliah sastra perbandingan atau kajian sastra terjemahan. Menurut Bu Ekarini Saraswati, dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Malang, penekanan dari mata kuliah Sastra Perbandingan adalah perbandingan antara karya-karya sastra dari berbagai belahan dunia tersebut. Sementara itu, Bu Ari Ambarwati di Universitas Islam Malang juga membawa karya-karya sastra terjemahan ke dalam satu kelas yang khusus dibuat untuk itu.

Bila usaha ini semakin mengarus utama, bisa diharapkan lahir kajian atas karya-karya terjemahan dari bahasa Rusia, Arab, Jepang, dan lain-lain dari kelas-kelas ini. Hal ini bisa dipandang sebagai jembatan yang berpotensi mempertemukan kegairahan audiens sastra Indonesia yang merayakan sastra dunia dengan kedisiplinan pendekatan di dunia akademik. Meskipun tidak diterima sebagai sastra Indonesia per se di kelas-kelas ini, karya-karya sastra dunia itu dibahas bersama-sama dengan karya-karya sastra Indonesia, yang artinya posisi sastra dunia di sini tidak hanya berada di tepi.

Sastra Perbandingan Merdeka Belajar

Namun, bila yang diharapkan adalah penerimaan yang lebih besar atas karya-karya sastra terjemahan, mungkin kita bisa sedikit memodifikasi argumen terakhir dan praktis yang ada. Kita bisa menerima sastra dunia sebagai sesuatu yang bisa dikaji bersama Sastra Indonesia sekaligus tetap dengan melibatkan secara aktif kajian atas sastra-sastra asing. Di sini, kita perlu berbicara tentang sebuah transdisiplin di mana bidang sastra Indonesia, sastra asing (Inggris, Jepang, Mandarin, Arab, dst.), sejarah, antropologi, filsafat, dan lainnya bisa bertemu dan bermain-main dengan batasan disiplin.

Di konteks pendidikan tinggi Australia, Amerika, dan Eropa, transdisiplin ini disebut Sastra Perbandingan. Di konteks Indonesia, Sastra Bandingan pernah dikaji secara serius oleh Sapardi Djoko Damono dan sempat cukup populer pada awal era 2010-an sebagaimana didokumentasikan oleh Langgeng Prima Anggradinata. Namun, bidang kajian yang juga potensial untuk menjadi rumah bagi sastra terjemahan ini telah meredup kembali, padahal penerjemahan sastra saat ini tidak kalah ramainya dibanding era 2000-an ketika terjadi ledakan karya-karya terjemahan dari berbagai penjuru dunia (melalui perantaraan bahasa Inggris).

Bagaimana dengan hari ini? Semestinya, gegap gempita kebijakan Merdeka Belajar dari Kementerian Pendidikan semestinya bisa memberikan perspektif baru mengenai rumah bagi sastra terjemahan. Ketika dicetuskan pertama kali, program Merdeka Belajar menekankan pada pentingnya otonomi lembaga, kebebasan pendidik dari birokratisasi, dan kemerdekaan mahasiswa memilih bidang yang diminati. Pada perkembangannya, banyak diskusi tentang Merdeka Belajar yang berorientasi pada profesi—yang tentunya bagus untuk mengurangi jurang antara dunia akademik dan kehidupan profesional.

Namun, ada juga aspek merdeka belajar yang perlu digali lebih jauh: yaitu peluang yang ditawarkannya untuk mengeksplorasi keilmuan (termasuk ilmu humaniora) dengan lebih merdeka. Dalam kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka, kita dapat melihat potensi itu pada program pertukaran pelajar, yang dilatarbelakangi antara lain oleh keinginan menumbuhkan penghargaan terhadap keragaman budaya dan pandangan serta penumbuhan kepekaan sosial dan menumbuhkan. Dalam program ini, mahasiswa bisa mengambil kelas di luar program studinya.

Sayangnya, program pertukaran pelajar ini memiliki potensi yang sering tenggelam dalam perbincangan. Pada praktiknya, program pertukaran pelajar ini lebih dihubungkan dengan usaha memperoleh kemampuan teknis di luar bidang yang erat kaitannya dengan dunia kerja. Saat memilih jurusan, mahasiswa dihadapkan pada pertanyaan bagaimana ini nanti akan bermanfaat terhadap pilihan karier mereka selepas kuliah. Penekanan lainnya yang terasa sangat kuat adalah pada kewirausahaan.

Untuk konteks tulisan ini, program pertukaran pelajar ini juga membukakan pintu bagi pertanyaan terkait Sastra Terjemahan. Dengan membawa bekal keilmuannya di satu sastra nasional, mahasiswa bisa menyeberang ke sastra nasional lainnya untuk mendapatkan wawasan lebih luas. Seorang mahasiswa Sastra Indonesia, misalnya, bisa masuk ke kelas-kelas Sastra Inggris dan mengkaji karya-karya sastrawan Inggris yang dia baca dalam terjemahan Indonesia.

Dengan demikian, pemahaman tentang tradisi sastra Inggris bisa bertemu dengan kepekaan telaah Sastra yang dimiliki oleh mahasiswa Sastra Indonesia (yang tidak harus melewati dua tahun perkuliahan keahlian dasar bahasa Inggris sebagaimana lazimnya mahasiswa sastra Inggris). Dengan menjadikan pola-pola hubungan seperti ini sebagai arus utama dalam mengapresiasi karya sastra terjemahan, maka karya-karya sastra terjemahan yang di luar wilayah akademik begitu dicintai dengan penuh gairah oleh publik sastra Indonesia, bisa mendapatkan sorotan yang lebih luas dan mendalam di ranah akademik.

Mungkin, ini berkah yang bisa disumbangkan oleh gegap gempita Merdeka Belajar: Kampus Merdeka kepada sastra terjemahan. Tentu, di sini sama sekali tidak ada niat memandang sastra terjemahan sebagai kelompok karya sastra yang perlu dikasihani. Dia dirayakan di nusantara jauh sebelum bahasa Indonesia diikrarkan sebagai bahasa persatuan, sebagaimana bisa dilihat di buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia yang dihimpun oleh Henri Chambert-loir ini. Selalu ada yang menikmati karya sastra terjemahan di Indonesia. Tapi, akankah lebih membahagiakannya kalau sastra juga bisa berumah dengan nyaman di dunia akademik di mana dosen, peneliti, dan mahasiswa bisa bertungkus-lumus dengan karya-karya sastra dari berbagai negara, bahkan yang program studinya tidak ada di Indonesia.

Tidakkah menyenangkan kalau kita bisa menggali lebih jauh karya-karya dari Thailand, Vietnam, Filipina dan negara-negara tetangga lain yang mungkin lebih banyak bersenggolan dengan Indonesia dibandingkan Trinidad, Kolombia, Ceko atau Nigeria, misalnya? Semestinya, dengan memberi mereka semua status sastra dunia yang sudah berumah di Indonesia, kita bisa memberi mereka semua perhatian yang setera. Saat hal itu terjadi, maka manfaat sastra terjemahan sebagai satu opsi cara memperluas wawasan kita tentang dunia akan semakin nyata.

Dan, sebagai penutup yang tidak perlu dibuat berpanjang-panjang karena memang sudah jelas, penerimaan sastra terjemahan semacam itu pastinya akan berdampak kepada industri perbukuan di Indonesia.