Ilustrasi : https://kartunmartono.wordpress.com
Iklan terakota

Terakota.id–Jika Anda bukan siapa-siapa jangan melanggar hukum. Sanksinya sangat berat. Misalnya, Anda bukan penguasa, bukan anak pejabat, anak pengusaha, atau orang berpengaruh lainnya. Sekali lagi jangan. Mengapa? Karena sanksinya sangat berat.

Memang jika bukan bukan siapa-siapa bisa selamat? Belum tentu. Minimal mereka “orang kuat” yang bisa memengaruhi kebijakan hukum. Bisa karena kekuasaan. Bisa karena kekuatan uangnya. Memangnya hukum “bisa dibeli?” Dalam beberapa kasus hal demikian bukan cerita baru.

Jika Anda bukan siapa-siapa dengan mudah aparat akan memberikan keterangan pers saat Anda duduk sebagai tersangka atau “korban”. Jika itu menyangkut “orang kuat” tidak mudah dilakukan. Karena jika seorang tersangka itu anggota sebuah institusi saat diumumkan ke ruang publik dengan terbuka akan dianggap mengancam kewibawaan korps.

Anda juga tidak perlu kritis jika Anda tidak punya koneksi pada “orang kuat” tersebut. Akhirnya Anda akan dituduh macam-macam. Anda juga akan mengalami kesulitan hidup. Anda akan dibully pula dimana-mana. Ingat bahwa mereka punya pasukan yang “berani mati” untuk berbuat apa saja demi “orang kuat” itu.

Keluarga Anda juga bisa akan diancam untuk memengaruhi beban psikologis agar tidak kritis. Tidak melulu protas-protes. Semua cara akan dilakukan untuk meredam gejolak, padahal sekadar kritis semata.

Anda juga akan dengan mudah kehilangan pekerjaan. Bisa karena ancaman “orang kuat” itu pada atasan Anda. Lalu atasan itu memengaruhi Anda sendiri. Atasan itu tentu takut kehilangan jabatan atau fasilitas lain yang sedang dinikmatinya. Semua cara bisa jadi akan dilakukan untuk menekan, bahkan pada perbedaan pendapat sekalipun.

Rasa Takut

Kita hidup di tengah ketakutan. Mau berbuat ini dan itu takut. Seolah semua terancam jika berbeda dari kebijakan penguasa. Hal ini tidak perlu ditanyakan kemana-mana. Cukup Anda rasakan sendiri saja. Apakah saat ini Anda punya keberanian berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah secara terang-terangan? Apakah Anda tidak dihinggapi rasa takut dalam menyampaikan sebuah kritik?

Saya tidak berpretensi untuk mencari jawaban tersebut. Silakan dirasakan sendiri. Rasa takut ini seolah memang sengaja diciptakan agar semua berjalan dengan baik-baik saja, meskipun menyimpan masalah bak “api dalam sekam”.

Tentu, semua orang punya perbedaan dalam sikap kritis. Tidak bisa disamaratakan. Tetapi saat Anda merasa ketakutan menyampaikan kritik maka Anda sudah mengikuti “selera” penguasa. Memang itu yang dikehendaki untuk meredam perbedaan pendapat. Jadi jika tidak siap dengan segaal konsekuensinya, jangan berani-beraninya besikap kritis. Anda hanya disuruh menunggu kesalahan demi kesalahan terjadi dan  keburukan demi keburukan terus memuncak. Hanya ulah orang-orang tertentu.

Anda boleh bersikap kritis. Tetap boleh. Tapi jika aman kritislah pada gerakan masyarakat sipil. Ini akan membuat Anda aman. Mengapa? Karena yang Anda bela adalah pemerintah. Membela pemerintah itu garansi aman. Bahkan saat Anda punya kesalahan pun akan mudah mencari perlindungan.

Padahal negara kita sedang tidak baik-baik saja. Dikuasai — untuk tak mengatakan dalam cengkeraman —  kaum oligark. Mereka semakin kuat menancapkan kuku-kuku kekuasaannya. Mereka makin punya pengaruh dalam kebijakan pemerintah.

Anda boleh kritis. Jika aman kritis dengan membela pemerintah saja dan mengkritisi gerakan masyarakat sipil. Kritis pada isu gerakan radikal, misalnya, membuat Anda mendekat pada kekuasaan. Aman. Padahal isu radikal sudah menjadi barang dagangan. Barang dagangan ini isu yang seksi dan bisa jadi akan terus muncul saat dibutuhkan.

Saat negara dikritisi, maka Gerakan Anti Radikal (GAR) yang mengatasnamakan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) muncul. Gerakan ini jelas melawan sikap kritis masyarakat sipil. Mereka rela membela kemapanan. Tentu demi target dan keuntungan tertentu, bisa juga popilaritas tertentu.

Masih ingat bagaimana Prof. Din Syamsuddin dituduh radikal oleh GAR ITB, bukan? Din Syamsuddin bersikap kritis tentu punya dasar ilmu yang kuat. Dia bukan orang biasa. Malang melintang di dunia akademik dan politik sudah lama. Tak semua orang bisa kritis jika masih punya pamrih pada jabatan dan kekuasaan.

Saya tidak bermaksud membela Din Syamsuddin. Saya hanya berpendapat itu bagian dari gerakan pemberdayaan masyarakat sipil. Jika tidak ditumbuhkembangkan, negara ini akan lari sendiri tanpa kendali. Kita tak bisa berharap gerakan pemberdayaan hanya dari negara saja. Jangan sampai suatu saat nanti kita baru sadar ternyata negara ini sudah dikuasai “makhluk asing”.

Radikal isu seksi yang akan terus dihembuskan. Isu ini titik tekannya membela kepentingan pemerintah dan menuduh sikap kritis yang berbeda dengan pemerintah. Kalau penyataan ini disampaikan opada meraka yang menjadi pembela pemerintah tentu tidak mempan. Sudah tertutup matanya.

Saya bukan pembela gerakan radikal. Saya bukan bagian dari kelompok radikal pula. Tetapi gerakan melawan sikap kritis masyarakat sipil bisa dicatat sebagai gerakan jahat untuk membungkam. Negara ini tidak akan bisa berjalan baik tanpa keseimbangan. Opisisi saja sudah dibungkam, lalu kita berharap pada siapa?

Tak ada cara lain dengan tetap menggerakkan masyarakat sipil. Penyataan ini bukan memprovokasi mereka untuk bergerak. Bukan itu. Hanya menyadarkan bahwa keseimbangan dalam masyarakat, sikap kritis itu perlu didukung.

Masih ingat penembakan di tol KM 50 pada aktivis Front Pembela Islam (FPI)?. Apa itu FPI? FPI bukan lembaga pemerintah atau pembela pemerintah. Maka, kasus penyelesaiannya secara adil tidak mudah untuk diharapkan. Penyelesaian kasusnya tidak lagi soal siapa menembak siapa, tetapi kelompok mana yang ditembak dan dari kelompok mana pula yang menembak. Saya bukan pembela FKPI. Saya juga bukan anggota FPI. Tetapi kasus tersebut korban masyarakat sipil yang layak diproses secara hukum dengana adil. Masalahnya FPI bukan organ pemerintah. Itu saja. Sekarang FPI sudah bubar, apakah penyesaian kasus KM 50 akan menggantung?

Jangan Coba-Coba

Saya tidak mengajak Anda pesimis. Tidak begitu. Tetapi, sekali lagi jika Anda bukan siapa-siapa jangan melanggar hukum. Sanksinya sangat berat. Kita memang sama di depan hukum. Sebagaimana dikatakan para pejabat. Tetapi kita tentu tidak sama di depan aparat penegak hukum. Kita bicara realitas, bukan bicara tekstual. Jika ada pejabat mengatakan bahwa semua masyarakat sama di depan hukum itu tidak salah. Tetapi apakah dalam realitasnya demikian? Belum tentu.

Memang pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Ini memang bunyi konstitusi  dari negara hukum, tetapi jangan coba-coba melanggar hukum jika Anda bukan siapa-siapa.