
Terakota.id—Ketua Komisi Hukum dan Perundangan-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya mendorong aparat Kepolisian menyusun standard operating procedure (SOP) menghadapi jurnalis di lapangan saat aksi unjukrasa. SOP dibutuhkan lantaran pendekatannya berbeda antara menghadapi jurnalis dengan pengunjukrasa. Tujuannya mencegah polisi di lapangan melakukan kekerasan, dan intimidasi terhadap jurnalis. Sebab di lapangan, jurnalis rentan dan berpotensi menjadi korban kekerasan saat liputan unjukrasa.
“Jurnalis menjalankan kerja jurnalistik, tak bisa dengan pendekatan SOP penaganan unjukrasa,” kata Agung dalam diskusi yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Oase Cafe, Selasa malam 27 Oktober 2020.

Organisasi pers dan kepolisian diminta untuk duduk bersama untuk menyusun SOP tersebut. Dewan Pers juga bersedia berkontribusi memberi masukan dalam menyusun SOP. Agung merinci berbagai bentuk kekerasan yang berpotensi terjadi kepada jurnalis. Meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, penghapusan rekaman foto atau video, tekanan psokologi, dan doxing.
Jurnalis, kata Agung, bekerja mewakili publik dan dilindungi Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Barang siapa yang menghalangi kerja jurnalistik diancam hukuman pidana paling lama dua tahun dan denda maksimal Rp 500 juta.
Bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan aparat, bisa melaporkan kekerasan yang dialami ke Divisi Profesi dan Keamanan di Kepolisian. Dilengkapi dengan alat bukti cukup, termasuk saksi. Sesuai Pedoman Penanganan Kekerasan terhadap wartawan, laporan merupakan hak korban. Perusahaan yang berada di lini depan untuk memberikan perlindungan dan advokasi. Termasuk bantuan hukum jika dibutuhkan.

Namun, Agung menghormati jika korban tak bersedia melaporkan perkara tersebut. Apalagi kejadian berlangsung 20 hari lebih, yang sulit untuk menunjukkan alat bukti seperti hasil visum atas luka yang dialami korban. Selain itu, jurnalis juga harus menguasai keterampilan saat liputan aksi unjukrasa. Agar tetap bisa mendapat gambar eksklusif di posisi aman dan terlindung. “Tak ada berita seharga nyawa,” kata Agung.
Sementara itu, Ketua AJI Malang Mohammad Zainudin berharap tak ada lagi kasus kekerasan serupa di Malang. Jurnalis yang meliput aksi unjukrasa harus mempertimbangkan faktor keamanan dan keselamatan diri. Selain itu, dalam menjalankan kerja jurnalistik jurnalis diingatkan untuk berpegang Undang-Undang Pers dan kode etik.
“Keamanan dan keselamatan nomor satu,” ujarnya. Diskusi ini juga mengundang Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang Kota, Komisaris Besar Polisi Leonardus Harapantua Simarmata Permata. Namun, ia tak bersedia hadir.
Sebanyak 15 Jurnalis Menjadi Korban Kekerasan
Dalam aksi unjukrasa Omnibus Law di Malang, Kamis 8 Oktober 2020 sebanyak 15 jurnalis mengalami kekerasan. Mereka mengalami kekerasan fisik, selebihnya mengalami kekerasan secara verbal, intimidasi, dan penghapusan foto. Atas kejadian itu, para jurnalis yang tergabung dalam Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan melakukan aksi diam di depan Alun-Alun Tugu Kota Malang, 18 Oktober 2020.
Solidaritas Jurnalis Malang Raya Antikekerasan terdiri dari Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang Raya dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Malang Raya. Menuntut Polresta Malang Kota wajib mengusut kasus kekerasan terhadap jurnalis saat peliputan unjuk rasa tolak Omnibus Law.
Mengimbau perusahahan media bertangungjawab penuh terhadap jurnalisnya, membekali dengan kartu pers. Perusahaan pers mendampingi jurnalis yang menjadi korban kekerasan sesuai Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang dikeluarkan Dewan Pers.
Mengimbau pada para jurnalis yang mengalami kekerasan verbal dan non verbal berani melaporkan kasusnya. Mengingatkan jurnalis untuk mematuhi kode etik dan UU Pers dalam menjalankan kerja jurnalistik.

Sementara AJI Indonesia mencatat setidaknya 56 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput demonstrasi menolak Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja sepanjang 7-21 Oktober 2020. Jumlah ini mengalami peningkatan cukup signifikan dari laporan awal yang disampaikan pada 10 Oktober 2020 yang mencatat ada 28 kasus kekerasan.
Berdasarkan data Divisi Advokasi AJI Indonesia, kasus kekerasan terbanyak terjadi di Malang (15 kasus), Jakarta (8 kasus), Surabaya (6 kasus), dan Samarinda (5 kasus). Dari jenis kasus kekerasan yang dihadapi jurnalis, sebagian besar berupa intimidasi (23 kasus). Dua jenis lainnya adalah perusakan, perampasan alat atau data hasil liputan (13 kasus) dan kekerasan fisik (11 kasus).
Menyikapi kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus berulang, AJI Indonesia mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis untuk memerintahkan proses hukum terhadap personel yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. “Kapolri harus mengkaji materi pendidikan di lembaga pendidikan kepolisian soal bagaimana personel polisi menangani unjukrasa,” kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan.

Jalan, baca dan makan