
Terakota.id— Kenalkan namaku penguasa. Karenanya, aku punya kekuasaan. Hanya aku yang punya kekuasaan. Jika ada orang lain mengaku-ngaku punya kekuasaan itu tidak benar. Mereka tentu golongan orang-orang yang pura-pura punya kekuasaan. Itu mungkin hoaks. Karena hanya akulah yang punya kekuasaan.
Kekuasaanku itu mengumpul, konstan dan tidak terbagi-bagi. Maka jika ada kebocoran kekuasaan maka aku akan berusaha menambalnya. Kekuasaan tidak boleh terbagi-bagi hanya gara-gara bocor terus kekuasaanku berkurang. Itu tidak bisa. Aku berusaha agar kekuasaanku tak berkurang.
Bagaimana jika ada orang yang mencoba merebut kekuasaan? Atau paling tidak membuat kekuasaanku berkurang? Aku akan usahakan dengan sekuat tenaga agar itu tidak terjadi. Itu tentu menyangkut wibawaku. Wibawaku akan turun jika kekuasaanku berkurang. Itu tidak boleh terjadi.
Sebagai penguasa, tentu aku punya alat untuk bisa mempertahankan kekuasan atau bahkan rongrongan dari pihak lain. Aku punya alat negara. Aku juga punya mesin-mesin kekuasaan yang setiap saat akan bisa dipakai untuk menghentikan segala bentuk ancaman. Ada lembaga-lembaga negara, tentara, polisi, undang-undang dan pembantu yang siap membantuku.
Demonstrasi? Apa itu? Itu gampang diatasi. Aku akan memakai alat negara untuk menghentikannya. Demonstrasi itu tidak menguntungkan bagi kekuasaanku. Demonstrasi itu hanya membat suasana kacau. Demonstrasi itu bisa menjadi ancaman kekuasanku yang konstan. Demonstrasi hanya membuat kekuasan terbagi-bagi. Dan itu tidak baik untukku.
Bagaimana jika demonstrasi sampai merusak? Ini tentu tidak aku harapkan. Demonstrasi saja sudah membat diriku malu dan membuatku tertekan. Apalagi jika sampai merusak. Bagaimana nanti alokasi anggaran untuk membangunnya lagi? Sudah susah-susah aku bangun, kok dirusak? Demonstrasi apa itu? Demo kok merusak?
Jika mereka anarkis alat-alat negara akan aku kerahkan. Kalau perlu harus disingkirkan dengan berbagai macam cara. Jika mereka brutal, alat negara tidak akan segan-segan “menembak” mereka. Karena akulah yang punya kekuasaan. Alat negara harus bekerja sesuai kepentingan kekuasaan yang aku punya.
Oleh karena itu, mendekatlah ke kekuasaan. Engkau akan aman. Kalau engkau punya kesalahan juga mudah dimaafkan. Tetapi jika menolak dan jauh dari kekuasaan engkau akan menjadi lawanku. Sekecil apapun kesalahan engkau akan aku tangkap atau “tersangkakan”. Hati-hatilah. Jika engkau tidak hati-hati engkau akan mudah aku perkarakan. Aku punya “pasukan” yang dengan mudah membuat engkau menjadi tertuduh atau tersangka.
Soal Merebut dan Mempertahankan
Harus tahu ya? Aku dipilih berdasarkan suara mayoritas. Dalam demokrasi katanya itu sah-sah saja, bukan? Masak yang tidak menjadi mayoritas sampai mau merebut kekuasaanku? Itu tidak boleh terjadi. Demonstrasi itu juga bagian dari merongrong aku. Meskipun alasan ideal, untuk ini untuk itu tapi akan mengganggu kekuasaanku.
Jika ada orang menanyakan apakah kekuasaanku demokratis? Aku akan mengatakan demokratis. Tentu saja. Siapa yang mengatakan demokratis jika tidak dimulai dari aku sendiri? Apalagi demokrasi sedang menjadi pusat perhatian dunia. Bagaimana susahnya jika aku dianggap tidak demokratis. Segala cara akan aku lakukan agar pemerintahanku terkesan demokratis, merakyat dan membela kepentingan umum.
Lalu apa memang begitu keadaannya? Nanti dulu. Aku akan berikan alasan. Saya berkepentingan agar pemerintahanku kelihatan dan bercitra positif. Tapi dalam praktiknya itu tentu tidak mudah dilaksanakan. Intinya satu, bagaimana caranya kekuasanku itu tidak goyah. Jika alasan demokratis itu mengguncang kekuasaanku, itu harus kulawan.
Demokrasi itu hanya enak didengar dan diwacanakan. Kaitannya dengan kekuasaan tentu tidak enak. Bagaimana mungkin kekuasaan ada di tangan rakyat sementara aku yang pegang kendali kekuasaaan? Bagaimana aku harus mempertanggungkawabkan pada rakyat? Demokrasi memang ideal tetapi urusanku sekarang bagaimana mempertahankan kekuasaan.
Apakah negara yang diklaim sebagai kampiun demokrasi seperti Amerika itu demokratis? Apakah para kandidat presiden Amerika itu dulu juga semua menjungjung tinggi nilai-nilai demokratis untuk mencapai kekuasaan? Nanti dulu. Negara Amerika itu dalam waktu lama juga tidak adil dengan warga kulit hitam. Juga terhadap minoritas. Perlu bukti? Coba baca buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) berjudul How Democracies Die. Buku ini menelanjangi sisi buruk bagaimana matinya demokrasi di Amerika. Justru dilakukan oleh para elite politik sendiri.
Australia? Hampir sama saja. Mereka juga masih mendiskriminasikan suku asli Aborigin. Aku pun harus bersikap demokratis meski yang aku lakukan kadang tidak mencerminkan nilai demokrasi.
Mengapa? Politik itu ya soal kekuasaan. Yang berkuasa mempertahankan kekuasaan. Yang belum berkuasa ya ingin merebut kekuasaan. Cara berpikir begitu paham ya? Jika ada oposisi itu alasannya menyeimbangkan kekuasaan untuk apa kalau hanya merongrong wibawaku? Maka oposisi bagiku tidak penting. Mereka sering menyusup dan meneriakkan kata-kata ideal. Padahal keinginannya ya merebut kekuasaan.
Jika DPR itu menanggangu kinerjaku, maka aku akan lakukan berbagai macam cara agar tidak menggangguku. Jika aku mengusulkan rancangan undang-undang bagaimana caranya DPR setuju. DPR juga bukan orang baik-baik semuanya, bukan? Jika tidak bisa dengan kekuasaanku, maka uang bisa akan ikut menyelesaikan masalah. Beres bukan? Bagaimana jika hasil kerjaku dengan DPR diprotes masyarakat yang dianggap tidak membela kepentingan rakyat? Yang penting kekuasaanku tidak bermasalah. Soal rakyat itu bisa saya pikir belakangan. Toh, masyarakat juga tidak punya kekuasaan? Mau demonstrasi seberapa besar juga mereka kan bukan lembaga pemutus kebijakan?
Sama-sama Pahamlah
Semua penguasa memang urusannya kekuasaan. Politik memang begitu. Elite politik ya bekerja untuk kekuasaan; mempertahankan atau merebut kekuasaan. Partai politik itu hanya kendaraan untuk mencapai kekuasaan pula. Berbagai macam cara dilakukan. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Semua untuk kekuasaan. Bagaimana mungkin kekuasaan yang sudah kita raih harus lenyap akibat ulah pihak lain? Mungkin elite politik yang berseberangan dengan kita, juga termasuk partai politik itu saling berebut kekuasaan. Jika mereka nanti berkuasa, hasilnya juga tidak jauh berbeda dengan kita.
Kekuasaan itu memang enak dan melenakan. Dengan kekuasaan kita bisa maraih apapun. Harta, tahta, bahkan wanita. Itu kesenangan duniawai yang setiap orang kebanyakan suka. Bukankah politik itu juga urusan duniawi? Memang ada yang mengatakan politik sebagai jalan menuju akhirat. Tentu yang percaya akhirat, yang tidak tentu tak akan berpikir seperti itu.
Meraih kekuasaan tentu dengan berbagai macam cara. Kalau perlu dengan berbohong. Kalau perlu dengan suap atau kesepakatan tertentu sehingga saling menguntungkan. Ada saling menyandera. Itulah politik. Sebagai pemilik kekuasaan, aku tentu tak lepas dari itu.
Di setiap era, kekuasaan itu hampir sama. Tak semua orang suka politik, tetapi mereka tidak bisa lepas dari kekuasaan politik. Mereka umumnya tertarik politik jika sudah menguntungkan.
Para pemodal itu juga harus bermain politik. Ada kalanya aku harus bermain dan bekerja sama dengan mereka. Mereka yang punya modal. Bagaimana tidak? Untuk kampanye siapa yang akan membiayai? Perkara setelah jadi mereka minta “jatah” itu logis. Tak ada makan siang gratis dalam politik.
Maka, jangan bermain-main dengan kekuasaanku. Kekuasaanku konstan, tidak terbagai dan mengumpul jadi satu. Jika ada yang mencoba mengancamnya, aku akan bertindak. Tak mudah lho meraih kekuasan politik.
Mereka yang demo itu kan juga bagian dari mengganggu kekuasaan politikku. Jangan-jangan sudah “gatel” juga ingin berkuasa? Jadi, “demolah daku, kau kutangkap”.