Penulis (Sumber: Dok. Pribadi)
Iklan terakota

Oleh: Nurudin*

Terakota.id-Sebagai orang yang dibesarkan di desa, saya tahu betul bagaimana dinamika Pemilihan Kepala Desa (PilKades) dan Pemilihan Kepala Dusun (Pilkadus). Pemilihannya tentu sangat demokratis, yakni masyararat memilih langsung calon yang dianggapnya “layak”. Mereka melihat dan mengenal langsung siapa dan bagaimana calon yang akan dipilih. Tentu saja pilihan yang diputuskan diharapkan bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya di masa datang, meskipun tak sedikit yang berharap untuk kemanfaatan diri dan kelompoknya.

Persoalan pemilihan langsung di desa tidak begitu menarik karena memang sangat demokratis. Yang justru menarik adalah dinamika menjelang hari pencoblosan itu. Inilah dinamika sesungguhnya pemilihan di desa-desa. Soal mencoblos sangat mudah, 5 menit selesai. Menjelang pencoblosan tentu ada banyak kejadian. Pertama, memanfaatkan orang berpengaruh (opinion leader) untuk memengaruhi para pemilih. Kedua, calon kadang memberikan sejumlah materi kepada para pemilih, bisa melewati seseorang atau langsung diberikan. Ketiga, mobilisasi massa berdasarkan ikatan emosional atau “provokasi” tertentu. Keempat, ada orang yang “memancing ikan di air keruh”. Keenam, memanfaatkan simbol-simbol agama, daerah dan atribut fisik lain untuk meraih keuntungan.

Kerumunan

Tentu saja itu khas yang ada di desa berdasarkan pengamatan subjektif saya. Tetapi yang jelas, jika kita sepakat bahwa di desa itu demokratis dalam pemilihan, maka model demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi kerumuman. Dengan kata lain, demokrasi yang mengandalkan jumlah massa. Aktivitasnya, bagaimana caranya mengerahkan massa, bagaimana menggalang massa, bagaimana memengaruhi massa, bagaimana menggiring massa untuk tujuan politik dalam pemilihan. Apakah ini salah? Tentu saja tidak karena memang kehidupan khas di desa itu komunal, dan penuh kebersamaan.

Ilustrasi (Sumber: nusakini.com)

Demokrasi kerumuman masih menjadi ciri utama pemilihan di desa. Kebanyakan calon juga mengandalkan demokrasi kerumunan tersebut. Soal apakah masing-masing calon itu punya visi atau misi dalam memimpin ke depan tidak ada urusan bagi para pemilih. Apakah debat calon akan dilakukan puluhan kali, biasanya tidak ngefek dengan pilihan calon karena pengaruh demokrasi kerumunan tersebut. Intinya, yang berbau ideal tidak begitu manjur untuk dijadikan sarana untuk memengaruhi massa. Bolehlah ada, tetapi tidak banyak dan ini tidak banyak dilakukan oleh para kandidat.

Mengapa di desa seperti itu? Pertama, masyarakat desa tingkat pendidikannya belum begitu maju. Kedua, peran pemimpin opini masih sangat tinggi yang dianggap ikut menentukan bagaimana pilihan masyarakat. Kedua, masyarakat memang tidak punya pilihan sendiri.

Pilpres 2019

Bagaimana kaitan antara pemilihan di desa dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019? Tentu membandingkan secara serampangan tidaklah benar. Karena konteks pemilihan di desa dengan di lingkup negara sangat berbeda. Berbagai latar balakang, tujuan, tuntutan, tantangan, peluang, dan kepentingan pun berbeda pula. Membandingkannya tentu dianggap menyederhanakan masalah dan membutakan diri pada fakta. Tetapi apakah membandingkannya itu juga tabu? Tentu saja tidak ada larangan, bukan?

Dalam beberapa hal Pilkades dan Pilpres tidak jauh berbeda atau katakanlah ada kemiripan. Kemiripan yang sangat awal adalah bahwa berbagai program-program yang sudah dan akan dilaksanaan sering tidak banyak “berefek” pada konstituen. Pencatuman visi misi, program, debat dan retorika yang dikeluarkan sering tidak berpengaruh besar pada perubahan pemilih. Tentu saja sebagian kecil tetap ada, misalnya faktor intimidasi, bujukan dan rayuan, ketakutan pada atasan, himbauan, iming-iming atau keuntungan materi lain yang bisa didapatkan.

Ilustrasi (Sumber: Lohud.co)

Pemilihan mereka sering lebih disebabkan karena ikatan emosional tententu. Misalnya faktor organisasi keagamaan, organisasi sosial politik, pengaruh orang tua, teman sejawat, saudara, tetangga atau yang paling kuat adalah orang yang ditokohnya. Pemuka agama dalam hal ini menyumbang peran yang tidak sedikit. Maka Masjid, Gereja, Pura, Wihara, Klentheng sering menjadi sarana efektif untuk memengaruhi pemilih.

Saat ada pelarangan bahwa Masjid jangan digunakan untuk kampanye itu bukti bahwa sarana ibadah menjadi lahan empuk untuk mempengaruhi massa. Pelarangan Masjid untuk kampanye tentu harus diimbangi dengan pelarangan pada tempat ibadah lain. Kalau tidak tentu bisa dianggap pilih kasih. Yang jelas, memang tidak elok tempat ibadah digunakan untuk kampanye. Tetapi hal demikian tidak mudah dihindari. Kampanye di Indonesia kali ini adalah kampanye yang menggunakan berbagai macam cara; sarana ibadah, aparat negara dan sipil, uang, pemuka agama dan lain-lain. Semua berorientasi pada meraih tujuan.

Maka, tak heran jika berbagai upaya untuk meraih simpati di atas dilakukan dengan penggalangan massa. Sebut saja demokrasi kerumunan. Dalam demokrasi kerumuman masing-masing kandidat akan mengandalkan massa dalam jumlah besar untuk memengaruhi pemilihan. Seolah dengan kerumunan akan tercipta sebuah kondisi dan bisa memengaruhi suara khalayak.

Hasil survei yang dicurigai mempunyai motif politik karena ada yang membiayainya, dianggap kurang cukup kalau tidak melakukan penggalangan massa. Jadilah demokrasi kerumunan menjadi bagian penting dalam mengomunikasikan pesan-pesan kandidat. Apalagi, masyarakat di Indonesia masih suka sesuatu yang berkaitan dengan “kumpul-kumpul”.

Demokrasi kerumuman yang khas terjadi di desa karena tingkat pendidikan yang belum begitu tinggi ternyata juga bisa terjadi di kota pula. Anggap saja kita adalah bangsa komunal yang mementingkan kebersamaan, meskipun tentu ada niat kepentingan politik dibaliknya. Kita masih menjadi bangsa yang mengandalkan massa besar tidak bisa dipugkiri. Perang urat syaraf antar massa sudah dilakukan di media sosial, tetapi perang urat syarat dalam massa yang berkumpul seara fisik belum. Inilah salah satu yang mendorong munculnya demokrasi kerumuman. Tentu saja berbagai upaya dilakukan untuk menggalang massa itu, entah himbauan atasan, komunitas jamaah, tempat kerja atau iming-iming imbalan materi.

Tidak ada yang salah dengan demokrasi kerumuman. Ia hanya menunjukkan bahwa program-program ideal yang ditawarkan kandidat tidak banyak dilirik oleh para pemilih. Ikatan emosional massa masih menjadi penentu ditambah peran para pemimpin opini. Inilah realitas demokrasi kita saat ini.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)