Oleh: M Alfan Alfian*
Terakota.id— Buku-buku demokrasi membanjir sekarang. Tumpukan buku di meja saya kian bertambah. Tak saja Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Dies (2018), juga David Runciman, How Democracy Ends (2018). Buku-buku lain memang judulnya tak ada kata demokrasi. Tapi isinya seputar demokrasi juga. Antara lain, William Davies, dalam bukunya, Nervous States, How Feeling Took Over The World (2018) dan Francis Fukuyama, Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018).
Buku-buku di atas berlomba-lomba merespons fenomena Brexit dan kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS 2016. Masih banyak buku terkait soal ini. Bahkan, Madeleine Albright menulis, Fascism: A Warning (2018). Belum lagi laporan investigatif, semacam yang ditulis Bob Woodward, Fear: Trump in the White House (2018).
Di Indonesia juga hadir beberapa buku demokrasi. Misalnya, Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia Sejak Demokratisasi (2019) yang merupakan terjemahan. Juga, Thomas B. Pepinsky, R. William Liddle, dan Saiful Mujani, Piety and Public Opinion: Understanding Indonesian Islam (2018) yang juga telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Sementara Idris Taha, Islam dan PDI Perjuangan: Akomodasi Aspirasi Politik Umat (2018), ialah dari bahan disertasinya. Jangan lupa Vedi Hadiz, Populisme Islam di Indonesia dan Timur Tengah(2019), juga sebagai buku terjemahan.
Tentu masih ada beberapa yang terselip di lemari buku, buku-buku yang sudah saya buka-buka, baca sepintas lalu, lalu lupa ditaruh di mana. Kalau begini saya jadi ingat kelakar Umberto Eco. Sebuah buku yang diperlukan (dan ada di tangan), lebih berguna ketimbang ribuan buku di perpustakaan.
Apa yang sesungguhnya hendak saya sampaikan? Hanya menyebut judul-judul buku, tentulah tak ada bedanya saya dengan petugas perpustakaan. Tentu tidak. Tugas saya membingkai, apa benang merah semua itu. Banyaknya studi tentang demokrasi mencerminkan, isu ini tengah berada dalam sorotan. Demokrasi dalam sorotan.
Sorotan demokrasi, sorotan abadi. Kalau kita baca, John Keane, The Life and Death of Democracy (2009) terasa sekali kesan itu. Dalam ulasan saya di Kompas, “Demokrasi Noveltik”, saya terkesan uraian Keane tentang novelty demokrasi, kekayaan khasanah justru karena pengalaman sejarahnya yang terus berkembang. Demokrasi, dari kisah-kisahnya, menyediakan imajinasi, membentuk bangunan yang noveltik, berproses.
Manakala kita baca David Held, Models of Democracy (1987), demokrasi tidak monolitik, monotafsir, monomodel, tetapi plural, kontekstual, fleksibel. Sorotan terkait fleksibilitas demokrasi, kecocokannya dalam penyelenggaraan teknis pemerintahan demokratis. Demokrasi menyediakan banyak alternatif dalam teknisnya. Karenanya, bisa dipahami manakala sistem pemilu suatu negara demokrasi misalnya, bisa berbeda-beda.
Dalam hal di atas, kita bisa membaca, misalnya Pippa Norris, Electoral Engineering: Voting Rules and Political Behavior (2004). Tidak ada yang sakral dalam penentuan sistem pemilu suatu negara. Dengan pertimbangan kecocokan, ia bisa berganti-ganti.
Kelembagaan dan perilaku merupakan dua hal yang mengemuka dalam pembahasan tentang demokrasi. Lazim mengemuka, kalau ada masalah-masalah, komentar atau kajian tentangnya terbagi ke madzab kelembagaan atau perilaku. Ini mengingatkan pada pendekatan struktur-agensi pada ilmu sosial. Apakah perilaku individual ditentukan oleh struktur yang menopangnya, atau struktur ditentukan oleh individu, merupakan pembahasan yang tak kunjung usai. Bak telur dan ayam, mana yang lebih dulu. Dalam, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984), Anthony Giddens menawarkan teori strukturasi sebagai jalan tengah: kedua-duanya penting, kendati dikritik bahwa gagasan ini tidak membawa manfaat apa-apa.
Tetapi, bahasan tentang demokrasi juga melibatkan budaya, ideologi, sejarah, bahkan pun teknologi. Tentang yang terakhir ini, manakala kita bacapun Technology vs. Humanity: The Coming Clash Between Man and Machine (2016), karangan keroyokan Gerd Leonhard, Rohit Talwar, Steve Wells, April Koury, Jean Francois Cardella, tak lepas pula ia dari konteks demokrasi. Demokrasi tentu tak mengabaikan dimensi kemanusiaan. Manakala ditinjau dari semangat pemikiran dasarnya, tak lepas dari Eropa masa Pencerahan. Bahwa isu-isu humanisme mendorong prinsip kesederajatan, sebagai landasan mendasar.
Tumpukan buku di atas, seolah lantas digaribawahi oleh Steven Pinker, Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (2018). Pinker merefleksi kondisi Pencerahan di masa kita. Pada pengantarnya, disinggungnya pula soal nestapa demokrasi di Amerika, ketika Donald Trump yang kontroversial, tak mencerminkan kesejajaran kehadirannya dengan isu-isu kemanusiaan, melainkan sebaliknya, yang secara post-truth justru menyuburkan sentimen politisasi identitas. Humanisme di abad kita memang, tak terelakkan, nasibnya tumpang tindih dengan dinamika demokrasi.
Mengakhiri tulisan ini, tak terelakkan kiranya tulisan ini mengarah ke refleksi tentang demokrasi dan kemanusiaan, ketika kita dihadapkan sesuatu yang sebelumnya jauh dari imajinasi: petugas KPPS yang meninggal sudah lebih dari 300 orang! Ini masalah serius yang perlu kita pikirkan bersama, agar ke depan tak terulang. Sistem atau mekanisme penyelenggaraan pemilu harus dikoreksi. Kita bisa melihat pengalaman India sebagai negara demokrasi paling raksasa, toh penyelenggaraan pemilunya tidak serentak dalam satu hari.
Luka-luka pasca-demokrasi kontestatif, perlu segera diobati. Pengalaman pemilu serentak 2019 di Indonesia, membuka ragam catatan reflektif tentang demokrasi dan hal-hal lainnya. Buku-buku di atas, bisa menjadi referensi penting untuk menelaahnya. Apa yang bisa dihadirkan pasca-pemilu kita yang melelahkan ini?
*Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.
Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS