
Oleh : Ajmal Fajar Sidik*
Terakota.id–Pekan lalu, saya dengan beberapa teman melawat ke Suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Dari Baduy Luar perjalanan ditempuh selama tiga jam hingga ke wilayah Baduy Dalam. Jalan berliku, naik turun melewati lima bukit membuat nafas terengah-engah seperti permainan kejar-kejaran DPR mengesahkan Omnibus Law .
Irama aliran air di perbukitan mengiringi sepanjang perjalanan. Beberapa kali kami menunda berhenti meneguk mata air murni yang segar dengan tangan. Letih rasanya ketika harus menaiki bukit terjal menggunakan sandal jepit. Namun rasa letih segera hilang tatkala bertemu perempuan Baduy berkulit halus, memanggul kayu bakar.
Konon, kehalusan kulit perempuan Baduy tak akan lekang dimakan kasarnya kayu bakar. Menurut masyarakat setempat, menjaga alam menjadi kunci dan rahasia perempuan Baduy. Begitu juga alam, manusia harus menjaganya. Maka alam juga akan menjaga manusia.
Saya terhenyak, sejumlah media massa mengabarkan Suku Baduy melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar menghapus Suku Baduy sebagai destinasi wisata. Surat dikirim karena masyarakat Baduy resah atas kondisi alam yang tercemar sampah dan sikap wisatawan yang abai dengan alam.

Usai membaca berita itu, lekas terbayang betapa sulit saya dan masyarakat lain untuk mengenal Suku Baduy. Sebab tak akan lagi bisa melihat kecantikan alam, dan mencecap air pegunungan, yang membuai setiap orang berkunjung. Serasa dibuai angin surga seperti kisah para ulama.
Komunitas Pecinta Baduy menggelar forum temu bertema “Mencari Solusi untuk Masyarakat Baduy.” Diskusi dilangsungkan dalam acara Sawala Baduy, 12 Juli 2020. Hadir Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata Provinsi Banten Paundra Bayu Aji, pendamping saba sudaya dan pecinta masyarakat Baduy Uday Suhada, pelaku seni Fajar Yugaswara, pegiat internet yang akrab dengan masyarakat Baduy Heru Nugroho dan Rizal Fauzi selaku pemantik forum diskusi.
Di dalam forum, Heru Nugroho menjelaskan ia terpicu menulis surat lantaran menemukan banyak sampah plastik berserakan sepanjang jalan dari Baduy Luar menuju Baduy Dalam. Sampah bakal mencemari alam, selain itu wisata dikhawatirkan menggeser tata nilai Suku Baduy. Salah satunya hidup tanpa teknologi dan transportasi modern menjadi nilai yang dipegang teguh masyarakat Baduy dalam. Arus wisatawan yang tak terkendali dikhawatirkan akan merusak tata nilai Suku Baduy.
Daulat Masyarakat Baduy.
Bermula pada 16 April 2020, Heru bertemu masyarakat salah seorang pejabat pemerintah pusat di UIN Banten. Mereka membahas masalah Baduy sebagai objek wisata. Heru juga berdiskusi bersama Jaro Alim selaku Jaro Tangtu Cikeusik. Jaro merupakan istilah untuk pemimpin, sedangkan Tangtu merupakan istilah untuk wakil ketua adat dan Puun istilah untuk ketua adat. Lantas, Heru merasa mendapatkan mandat untuk menulis surat tersebut.
“Sebenarnya saya tidak pernah diberikan mandat. Hanya saya merasa mendapat mandat setelah Jaro Ali mengatakan surat dilayangkan atas nama adat,”ujarnya.
Heru bersama Jaro Ali bertemu Puun Cikeusik, Jaro Saidi bermusyawarah. Jaro Saidi terkesan menyutujui dengan anggukan kepala. Namun, kata Heru, kadang berkomunikasi dengan masyarakat Baduy sulit. Mereka seringkali diam atau mengangguk. “Mereka sering diam saat mengambil keputusan,” tuturnya.
Surat ditulis dengan bantuan seorang jurnalis bernama Henry Nurcahyo. Usai musyawarah, kedua Jaro melengkapi cap jempol di atas kertas atas nama Lembaga Adat Baduy. Surat ini, kata Heru, merupakan urusan adat, bukan urusan Negara. Maka, tak ada kaitannya dengan administrasi pemerintah. Selanjutnya Heru melayangkan surat tersebut ke istana Negara.

Surat tersebut kemudian menimbulkan polemik, terjadi pro dan kontra. Menurut Heru, ia perlu menyampaikan persoalan masyarakat adat tersebut meski ia merasa bersalah karena bertindak tak sesuai prosedur. “Saya pasrah, saya tahu yang saya lakukan salah. Tetapi, saya yakin dan ingin benar-benar menyampaikan isi surat tersebut.” ujarnya.
Uday Suhada, penulis buku Masyarakat Baduy Rentang Sejarah mengapresiasi langkah Heru, namun juga mengkritiknya. “Tidak pernah ada sebuah kebijakan keluar hanya dengan pembuktian dari beberapa Jaro. Karena Jaro yang seharusnya menyampaikan itu langsung keluar Baduy, ” tuturnya.
Uday menuturkan isi surat itu secara garis besar telah dibicarakan sejak 2007. Kemudian ditetapkan dalam Peraturan Desa tertanggal 15 Juli 2007. Menurutnya itu sudah tak cukup dan tak perlu disampaikan ke pemerintahan pusat.
Forum memutuskan Baduy bukan objek wisata ataupun destinasi wisata, melainkan Saba Baduy. Saba Baduy, adalah silang silaturrahmi antara masyarakat Luar dan masyarakat Baduy. Tujuannya menjalin ikatan, kasih, dan wawasan.
Polemik surat itu menjadi pelajaran berharga. Masyarakat Baduy sebagai masyarakat yang berdaulat patut dihargai oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Masyarakat Baduy dijamin kedaulatannya untuk menjaga nilai dan keyakinan mereka.
*Traveller , tercatat sebagai mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan melalui surel : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi
[…] bisa dibaca di : https://www.terakota.id/daulat-tanah-ulayat-baduy/ *Ajmal Fajar […]
Masyarakat Kanekes pada tahun 2007 sudah membuat peraturan desa tersendiri tentang tamu-tamu yang datang ke Mandala Kanekes, tepatnya Peraturan Desa Kanekes Nomor 01 Tahun 2007 Tentang SABA BUDAYA DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT TATAR KANEKES (BADUY).