Dari Suatu Lift yang Padat

Padahal dia, tak sekadar pemikir Islam kelas dunia, dan aktivis demokrasi. Natana DeLong-Bas, dalam Notable Muslims, Muslim Builders of World Civilization and Culture (2006)  mencatat di antara sejumlah Muslim terkemuka, terdapatlah Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim Indonesia ini dihadirkan karena dipandang memiliki kontribusi dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam.

Didesain oleh Terakota.id/Muammar N Islami.
Iklan terakota

Terakota.id Dalam lift yang padat, terdapatlah sesosok yang murah senyum dan ramah. Saya salah satu dari mereka di lift  itu ketika meluncur ke lantai enam. Itulah tempat Nurcholish Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur memberi pengajian bulanan. Dia selalu menyediakan makalah. Tak disangka, sosok yang dalam berbagai berita yang saya baca sering dipojokkan karena pendapat-pendapatnya yang dianggap kontroversial itu, jauh dari kesan kesombongan.

Dari dalam lift itulah, saya pertama kali melihat Cak Nur dari jarak dekat. Saya kaget. Kok beda dengan fotonya yang tersembul di kaver buku Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987). Mungkin karena foto Cak Nur di kaver itu, walaupun disiluetkan hitam putih, masih muda. Sekarang, di lift itu, Cak Nur tak muda lagi kecuali lebih berwibawa, kalem dan matang. Dia begitu ramah, murah senyum, suka menyapa, terkesan suka menghargai yang lain.

Dalam beberapa kali mendegarkan ceramahnya, saya terkesan cara Cak Nur menjelaskan banyak hal. Dia menguraikan hal-hal yang rumit secara sabar dan lengkap. Saya kira, dan hasilnya bisa kita baca, kalau direkam dan dituliskan kembali, apa yang diceramahkan Cak Nur, sudah menjadi tulisan yang komprehensif tanpa editan. Kemampuan verbalnya selaras tradisi kuatnya dalam tulisan.

Hal demikian rasanya juga dimiliki koleganya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Apa yang diuraikan Gus Dur dalam ragam ceramahnya, lelucon sekalipun, sudah seperti tulisan pula.

Cak Nur bersama sahabatnya, Gus Dur, di suatu acara. (Sumber: Islami.co).

 

Saya tentu punya sejumlah alasan mengapa Cak Nur idola. Saya aktivis HMI ketika itu. Cak Nur adalah Ketua Umum PB HMI dua periode 1966-1969 dan 1969-1972. Tentu ada semacam frekuensi kuat di sini, senior dan junior. Tapi, yang tak kalah saya kesankan dari Cak Nur, ialah justru karena dia dipanggil Cak, bukan Abang atau Bang – Bang Akbar, Bang Fahmi, Bang Harry dan sederet Bang lainnya. Tetapi juga ada Mas, Mas Tom, Mas Larso, Mas Dawam. Dan, Cak, ialah sebutan khas yang lain.

Cak, sebutan sangat populer di Jawa Timur. Nadanya merakyat, egaliter. Cak Nur aslinya Jombang, kota Santri di Jawa Timur. Menurut M Dawam Rahardjo, ketika aktif di HMI, Nurcholish akrab dipanggil Cak Nur. Sebutan itu dipopulerkan Mar’ie Muhammad, yang sama-sama orang Jawa Timur. Panggilan itu serupa sebutan Reoslan Abdulgani, Cak Roes, ideolog dan juru bicara pemerintah semasa Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Emha Ainun Nadjib yang juga asli Jombang, dalam kolomnya, “Tharekat Nurcholisy” (Tempo, 3 Oktober 1987) berkelakar, “Kita boleh curiga kepada kimia tanah dan air sumur di Jombang Selatan yang dulu membesarkan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, serta Asmuni An-Diweky. Pasti terdapat kandungan zat tertentu yang aneh di sana yang mendorong the three crazy boys ini rajin menyodorkan hil-hil yang mustahal.”

Marwan Saridjo, pengurus PB HMI semasa Cak Nur, mendeskripsikannya bahwa pada tahun 1960-an desa Mojoanyar di kecamatan Bareng, Jombang Selatan masih berwajah udik. Jalannya tidak beraspal. Kalau musim hujan becek berlumpur. Kalau musim kemarau penuh debu. Dan sepertinya orang-orang di desa itu jarang melihat bus atau mobil. Karenanya, hampir seisi kampung menggerebuti bus yang masuk. Di desa itulah Nurcholish Madjid dilahirkan, 17 Maret 1939.

Saridjo berkisah, waktu Cak Nur melangsungkan pernikahannya di Madiun 1969, untuk menjemput keluarga di Mojoanyar ditugasilah A. Malik Fadjar, yang saat itu pengurus HMI Badko Jawa Timur. Saat akan dilangsungkan acara akad nikah malamnya, Malik dan keluarga dari Jombang belum juga muncul. Ketika akhirnya muncul oleh teman-teman dari Jakarta (PB HMI) Nazar E. Nasution, Djamil Gozali, Marwan Saridjo, Thohir D. Asmadi, dan dari Yogyakarta Djohan Effendi dan Ahmad Wahib, Malik dihujani pertanyaan: Mengapa terlambat sekali? Sembari terkekeh, Malik menjawab, “Desanya nun jauh di udik!”

Uraian di atas, setidaknya turut menegaskan bahwa, sejarah orang-orang besar kita, berasal dari desa.

Waktu itu, pertengahan 1990-an, jamaah Pengajian Paramadina antuasias merindukan uraian-uraiannya. Saya, dengan caranya sendiri, nimbrung pula di pengajian mulia itu.  Wajar  manakala saya juga ingin mencerap aura pemikiran Cak Nur. Dia bersama Endang Saifuddin Anshari dan Sakib Mahmud telah merumuskan naskah Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Kongres IX HMI di Malang pada 1969 mengesahkannya.

Sewaktu SMA saya telah ikut membaca tulisan-tulisannya yang dibukukan dengan judul Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987). Saya ingat, pertama kali ketemu kata “cetak biru”. Rupanya ia terjemahan dari blue print. Tulisan itu ialah kolomnya di majalah Tempo, “Empat Belas Abad Pelaksanaan Cetak-Biru Tuhan.”

Tidaklah mudah memahami tulisan itu bagi saya yang masih SMA. Juga tidak mudah memahami tulisan-tulisannya yang dihimpun dalam buku itu. Terhadap istilah Keislaman, Kemodernan, dan Keindonesiaan saja, bagi saya merupakan hal-hal yang baru, saat itu. Betapapun demikian, buku Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan yang diberi kata pengantar oleh M Dawam Rahardjo dengan bagus itu, diam-diam memicu saya untuk melakukan ikhtiar intelektual lebih serius lagi.

Ketika kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan masuk HMI, menjadi ketua komisariat dan terus berkembang hingga Ketua Badan Koordinasi Nasional Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Bakornas LAPMI) Pengurus Besar HMI, saya diperjumpakan dengan NDP dan ragam diskusi mengenainya. Dari situlah, nuansa pemkiran Keislaman Nurcholish Madjid, tidak sekadar saya baca, tetapi menjadi bahan kajian, kalau bukan penghayatan.

Bagi kita yang di Indonesia, Cak Nur bukan asing lagi. Kendati, barangkali generasi kini, tidak demikian. Padahal dia, tak sekadar pemikir Islam kelas dunia, dan aktivis demokrasi. Natana DeLong-Bas, dalam Notable Muslims, Muslim Builders of World Civilization and Culture (2006) mencatat di antara sejumlah Muslim terkemuka, terdapatlah Nurcholish Madjid. Cendekiawan Muslim Indonesia ini dihadirkan karena dipandang memiliki kontribusi dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam.

Nur Cholish Madjid atau Cak Nur wafat pada 29 Agustus 2005. (Sumber: Liputan6.com).

Sebagai aktivis demokrasi, rekam jejaknya jelas. Semasa transisi Orde Baru ke Reformasi, dia dapat momentum. Dia sangat diperhitungkan Pak Harto menjelang kejatuhannya. Cak Nur sebagai demokrat turut mendorong perubahan. Integritasnya ditunjukkan di sana. Dia dan para koleganya yang berlatar belakang santri maupun non-santri, mampu mendesak Pak Harto turun dari posisinya sebagai presiden, dengan cara damai.

Sudah banyak ulasan tema Nurcholish Madjid, demokrasi dan civil society (masyarakat madani). Dia sering mengingatkan pentingnya checks and balances dalam demokrasi. Kini, karya lengkap Cak Nur sangat mudah diakses. Generasi muda bisa leluasa membacanya.

Kini, membaca kembali karya lengkap Nurcholish Madjid, saya ingat ketika pertama kali saya menatap Cak Nur, dan dia menyapa ramah, di suatu lift, malam itu. Dengan semangat mencerap ilmunya.**

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini