Dampak Krisis Iklim: Dengue Bakal Ancam Kesehatan Anak Sepanjang Musim

Siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Percobaan 2 Kota Malang dipandu guru dan mahasiswa diajak mengamati jentik nyamuk aedes aegypti penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lingkungan sekolah. (Foto: SDN Percobaan 2 Kota Malang).
Iklan terakota

Terakota.IDTiga puluh siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Percobaan 2 Kota Malang tampak antusias di halaman sekolah. Dipandu guru dan mahasiswa, para siswa itu diajak mengamati jentik nyamuk aedes aegypti penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lingkungan sekolah.

Para siswa diajari memahami bahaya dan mencegah penyebaran penyakit DBD. Apalagi selama dua tahun terakhir ini terjadi cuaca ekstrem di Malang yang ditandai hujan sering mengguyur dan banjir. Ini berpotensi menyebabkan genangan yang dapat menjadi sarang nyamuk.

Laili Nur Hayati, guru sekaligus koordinator Unit Kesehatan Sekolah (UKS) SDN Percobaan 2 Kota Malang, mengatakan kegiatan yang digelar akhir April lalu itu untuk mengedukasi siswa sebagai kader pemantau jentik sekolah guna mencegah penularan penyakit DBD.

“Alhamdulillah di sekolah kami tidak ada yang terinfeksi penyakit DBD,” kata dia, Jumat, 26 Mei 2023.

Ancaman penyakit DBD ini tak hanya mengintai siswa di sekolah. Cuaca ekstrem yang menyebabkan lingkungan lebih lembab juga mengancam kesehatan keluarga terutama anak – anak di rumah.  Anak yang terinfeksi penyakit itu perlu mendapat perhatian lebih.

Widianto, seorang warga Arjowinangun, Kota Malang, mengatakan dalam dua bulan terakhir ini, putra bungsu dan istrinya bergiliran terinfeksi DBD. Putranya kena dengue pada akhir Maret, pulih pertengahan April. Awal Mei, giliran istrinya terjangkit penyakit itu.

“Anak dan istri saya gejalanya berbeda. Anak mengalami panas tinggi, sementara istri cenderung kedinginan. Tapi lebih khawatir ketika anak saya sakit, kan masih kecil. Perawatannya harus benar-benar diperhatikan,” ucapnya.

Selama ini, kasus dengue sering ditemukan ketika musim hujan. Ke depan, kemunculan wabah bisa sulit diprediksi seiring pola hujan dan suhu semakin tidak menentu karena dampak perubahan iklim. Di setiap kemunculan wabah dengue, selalu ada anak-anak yang terinfeksi penyakit itu.

Data Dinas Kesehatan Kota Malang, total kasus DBD selama 2015-10 April 2023 ada 2.727 kasus dengan angka kematian sebanyak 28 jiwa. Dari temuan kasus setiap tahun, 40 persen di antaranya merupakan anak usia 0-14 tahun. Tingkat case fatality rate (CFR) atau angka kematiannya di bawah dua persen, artinya dari setiap 100 kasus ada 1-2 kejadian meninggal.

Tingkat CFR di Kota Malang itu belum sesuai target penanggulangan dengue di Indonesia yang menurunkan CFR di bawah satu persen pada 2020. Target nasional itu dimuat dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025 Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.

Kementerian Kesehatan pada 5 Februari 2023 dalam keterangan resminya mengumumkan pada tahun 2022 jumlah kasus dengue di Indonesia mencapai 131.265 kasus. Dari jumlah itu, 40 persennya adalah anak usia 0-14 tahun. Jumlah kematiannya mencapai 1.135 kasus dengan 73 persennya terjadi pada anak usia 0-14 tahun.

Ahmad Suryawan, staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, mengatakan perubahan iklim akan menyebabkan perjalanan tumbuh kembang anak terganggu oleh karena berbagai penyebab seperti kekurangan nutrisi, penyakit infeksi seperti DBD dan hidup di pengungsian.

“Menyebabkan anak sangat sulit untuk dapat berkembang sesuai potensinya,” tulis Suryawan dalam artikel Pemanasan Global dan atau Perubahan Iklim Perspektif Dokter Anak yang dimuat dalam kumpulan buku berjudul The Impact of Climate Change in Child : Risk and Responses.

Secara global, diperkirakan sekitar 88 persen dari beban penyakit yang ditimbulkan akibat perubahan iklim akan ditanggung oleh komunitas usia anak. Anak yang hidup di dalam komunitas masyarakat dengan sumber daya yang terbatas, akan menghadapi risiko jauh lebih tinggi.

Dia menyebut ada beberapa aspek yang menyebabkan anak mempunyai tingkat kerawanan lebih tinggi dibandingkan orang dewasa terhadap dampak perubahan iklim. Salah satunya, anak mempunyai metabolisme basal dan fisiologi tubuh yang berbeda dengan orang dewasa.

“Kapasitas adaptasi terhadap panas lingkungan masih belum seefektif orang dewasa,” katanya.

Anak punya kebutuhan diet dan perilaku yang berbeda dengan orang dewasa. Anak lebih banyak beraktivitas di lingkungan luar rumah dibanding orang dewasa, sehingga lebih rawan terpapar toksin dan berbagai vektor serangga seperti nyamuk Aedes aegypti.

Perubahan Iklim dan Ancaman DBD

Firda Amalia Maslakhah, Staf Bagian Analisa Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang, mengatakan ada beberapa parameter yang bisa digunakan untuk mengetahui adanya perubahan iklim tersebut. Pertama, suhu rata – rata minimal selama 10-30 tahun terakhir atau bisa lebih panjang lagi.

“Untuk melihat apakah terjadi perubahan pada suhu rata-rata,” ucapnya.

BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso, Malang mengolah data periode 1991-2020, hasilnya ada tren kenaikan suhu secara keseluruhan di Indonesia. Khusus di Malang, kenaikan suhu rata-ratanya mencapai 0,024 derajat celcius per tahun.

Kedua, melihat pola curah hujan selama beberapa puluh tahun menunjukkan terjadinya perubahan pola curah hujan. Hujan bisa berkurang atau semakin meningkat dengan intensitas kecil maupun lebat. Frekuensi kejadian ekstrem atau bencana hidrometeorologi turut jadi bukti. Misalnya, kejadian hujan ekstrem atau curah hujan di satu wilayah melebihi batas tertentu. Ada wilayah yang curah hujan bulanan rata-rata meningkat di atas 100 milimeter dan bahkan 300-500 milimeter.

“Termasuk jumlah hari dengan suhu sangat panas di siang hari jadi lebih lama,” ucap Firda.

BMKG dalam laporan Pandangan Iklim 2023 menuliskan, suhu, curah hujan dan kelembapan dapat mempengaruhi variabilitas vector-born diseases. Pada kasus anomali kelembapan yang terjadi pada skala luas yang disebabkan La Nina misalnya, dapat menjadi faktor lingkungan yang mendukung peningkatan populasi vektor penyakit, terutama populasi nyamuk aedes aegypti.

Upaya pengendalian DBD bisa dilakukan dengan membaca pola hujan musiman atau data bulanan dan kemunculan penyakit tiap tahun di waktu tertentu. Sekarang ini layanan Peringatan Dini DBD berbasis Iklim baru diterapkan hasil kolaborasi BMKG dengan Dinas Kesehatan Jakarta.

“Lewat kajian itu bisa dilihat ke depan apakah kemunculan penyakit tetap sama atau sulit diprediksi,” ucapnya.

Tri Satya Putri Naipospos, pakar kesehatan hewan dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS), mengatakan perubahan iklim berdampak secara langsung dan tidak langsung terhadap keparahan dan kejadian penyakit menular. Perubahan pola hujan, suhu, kelembaban dan temperatur turut mempengaruhi perilaku vektor, inang parasit dan patogen.

“Ini bisa meningkatkan pertumbuhan patogen dan keparahan penyakit. Juga bisa memengaruhi peningkatan perkembangbiakan vektor dan penularan penyakit,” tulis Tri Satya dalam makalahnya berjudul Pengaruh Perubahan Iklim Pada Perkembangan Penyakit Zoonosis.

Pada masa mendatang, kata dia, penyebaran penyakit yang ditularkan lewat vektor seperti nyamuk aedes aegypti sangat mungkin akan meningkat. Perubahan iklim membuat nyamuk berkembang biak lebih cepat, menggigit lebih sering serta kandungan virus dalam nyamuk lebih tinggi.

Nyamuk Aedes aegypti (Foto: cdc.gov).

“Karena lebih banyak orang yang terinfeksi, maka lebih banyak nyamuk yang menjadi media pembawa penyakit,” katanya.

Wahyudi Iffani, Erlina Suci Astuti dan Tri Anjaswarni dalam tulisannya berjudul Global Warming dan Climate Change Hubungannya dengan Vector Borne Diseases dalam buku Ekologi, Pemanasan Global dan Kesehatan menggambarkan betapa berbahayanya virus dengue terhadap kelompok usia anak – anak dan dewasa muda.

Demam dengue sangat menyakitkan (sehingga dijuluki breakdown fever) dan melemahkan tapi umumnya tidak mengancam jiwa pada serangan yang pertama. Akan tetapi, manifestasi yang lebih parah, muncul di daerah yang memiliki lebih dari satu strain virus.

“Dengan terpaparnya individu dengan virus kedua yang berbeda strain dapat menimbulkan reaksi imunologis yang berat yang berisiko kematian terutama pada anak-anak dan dewasa muda,” tulisnya.

Ketua Satgas Bencana Ikatan Dokter Anak Indonesia, Kurniawan Taufiq Kadafi, mengatakan, kadang kala pas bencana alam ini anak dipandang sebagai bagian dari kesatuan orang dewasa. Padahal secara psikologis maupun secara fisik itu tentu berbeda dengan dewasa.

“Perlu kita pahami bahwa anak itu bukan orang dewasa mini,” ujarnya.

Dia menambahkan, perubahan iklim berdampak pada kesehatan anak secara langsung maupun tak langsung. Dampak langsung misalnya cuaca ekstrem yang langsung dirasakan. Tak langsung seperti dari polusi udara, krisis pangan mengakibatkan malnutrisi, foodborne illness dan waterborne illness atau penyakit yang disebarkan lewat makanan maupun air.

Termasuk vector borne illness, penyakit yang ditularkan melalui binatang dan serangga seperti demam berdarah yang sangat terkait dengan perubahan iklim. Perubahan iklim membuat pergeseran pola hujan, temperatur dan kelembaban suhu. Hal itu turut membuat pola dari siklus hidup vektor yang semula siklus bisa diprediksi menjadi tidak bisa diprediksi.

“Wabah DBD dulu bisa diprediksi akan muncul tiap tahun di musim tertentu, nanti bisa jadi muncul sepanjang tahun dan lebih sulit diprediksi,” kata penulis buku Mengatasi Gawat Darurat Pada Anak ini.

Secara faktor kerentanan antara anak dan orang dewasa jelas berperbeda. Maka dari segi penanganannya harus diperhatikan. Sistem imun maupun proporsi cairan pada tubuh anak dan dewasa berbeda. Dalam kondisi normal, kebutuhan cairan anak adalah 100cc dikali berat badannya, sedangkan orang dewasa mencapai dua sampai tiga liter per hari. Namun saat ada peningkatan suhu, kebutuhan cairan pada anak bisa naik 10-20 persen dari biasanya.

Virus nyamuk aedes aegypti yang menginfeksi manusia dalam fase berbahaya dapat menyebabkan pecahnya maupun kebocoran pembuluh darah atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kondisi itu, anak lebih berisiko tinggi mengalami kondisi medis yang lebih gawat dibanding orang dewasa.

“Kalau itu yang terjadi, anak lebih berisiko tinggi sebab proporsi cairannya berbeda dengan orang dewasa. Pendekatan penanganan ke orang dewasa dan anak tentu berbeda,” ujar Kurniawan.

Edukasi ke Siswa

Husnul Muarif, Kepala Dinas Kesehatan Kota Malang, mengatakan penyakit DBD bisa diantisipasi meski terjadi cuaca ekstrem dampak perubahan iklim. Yakni mencegah adanya genangan sebagai faktor risiko munculnya nyamuk aedes aegypti.

“Jadi, selama faktor pemicunya yakni genangan masih ada maka kasus DBD akan selalu tetap ada,” katanya.

Setiap tahun, upaya pencegahan DBD mengandalkan program promotif yakni edukasi ke masyarakat langsung dan tak langsung. Upaya preventif dengan mendistribusikan obat pembunuh jentik nyamuk lewat 16 puskesmas ke warga juga dilakukan.

Husnul menyebut sejauh ini upaya itu cukup berhasil. Salah satu indikatornya, sampai tahun 2022 angka bebas jentik (ABJ) ada di bawah 95 persen. ABJ merupakan persentase rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik nyamuk aedes aegypti ketika dilaksanakan pemeriksaan. Kementerian Kesehatan menetapkan standar minimal ABJ adalah 95 persen, semakin tinggi nilainya maka menunjukkan semakin rendah risiko terjadinya penyakit DBD.

“Tapi juga butuh andil masyarakat dengan mengamankan rumahnya masing – masing dari adanya genangan yang berpotensi jadi tempat perindukan nyamuk,” ujarnya.

Edukasi ke anak khususnya siswa tentang kebersihan lingkungan dimasukkan lewat program Sekolah Adiwiyata. Namun belum menyentuh isu dampak perubahan iklim terhadap kesehatan anak. Serta belum terintegrasi dengan UKS di sekolah. Di Kota Malang terdapat 339 sekolah dasar, 43 sekolah menengah pertama, 80 sekolah menengah atas, serta 60 SMK negeri maupun swasta.

Laili Nur Hayati, guru sekaligus koordinator UKS di SDN Percobaan 2 Kota Malang, mengatakan, tugasnya hanya mengurusi masalah kesehatan siswa saja. Sedangkan program Sekolah Adiwiyata ada guru lain yang mengurus.

“Masih berjalan sendiri-sendiri. Kegiatan kader jumantik sekolah itu bukan program bersama puskesmas, tapi kerja sama dengan mahasiswa yang sedang penelitian di sekolah ini,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Malang, Nurohman, mengatakan, lewat Sekolah Adiwiyata tiap sekolah dituntut menerapkan sejumlah persyaratan. Seperti pengelolaan lingkungan seperti pengelolaan sampah, sistem sanitasinya dan lainnya.

“Capaian utamanya adalah mendorong pengetahuan siswa terkait konservasi lingkungan. Kalau untuk masalah penyakit dampak lingkungan memang belum masuk,” kata Nurohman.

Siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Percobaan 2 Kota Malang dipandu guru dan mahasiswa, diajak mengamati jentik nyamuk aedes aegypti penyebab penyakit demam berdarah dengue (DBD) di lingkungan sekolah. (Foto: SDN Percobaan 2 Kota Malang).

Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Malang Meifta Eti Winindar, tak memungkiri antara Sekolah Adiwiyata dan UKS belum terintegrasi dengan baik. Meski begitu, ia menyebut tetap ada irisan yang sama di dua program itu.

“Tentu saja ada irisan, misalnya menciptakan sebuah lingkungan yang bersih dan sehat,” kata Meifta.

Lewat UKS, lanjut dia, sekolah didorong memiliki kader kesehatan yang terlibat dalam program pemantauan gizi siswa. Termasuk akan kembali mengaktifkan kader jumantik di sekolah guna mencegah penyakit DBD merujuk pada Surat Edaran Wali Kota Malang Nomor 33 Tahun 2022 tentang Peningkatan Kewaspadaan Demam Berdarah Dengue di Kota Malang.

“Kader jumantik di sekolah itu program lama dan sudah mulai surut lagi. Tahun ini akan kembali kami aktifkan. Surat edaran sudah disusun untuk dikirim ke SD sampai SMA,” ucap Meifta.

Puskesmas di tiap wilayah terlibat mengedukasi siswa dan mengevaluasi kepatuhan dan keseriusan sekolah. Menilai dari segi kelembagaan terkait kader jumantik sekolah dengan capaiannya adalah turunnya jumlah kasus DBD di Kota  Malang.

Saat ini dampak perubahan iklim telah dirasakan langsung maupun tak langsung oleh anak-anak. Seperti kekurangan nutrisi, penyakit infeksi, hidup di pengungsian dan sebagainya. Dampak perubahan iklim dapat membuat anak kesulitan mengembangkan potensinya. Sudah saatnya program kesehatan anak turut dimasukkan dalam berbagai strategi program adaptasi iklim.