
Terakota.id— “Akulah Mahesa Jenar!”
“Kau orang Pandanaran? ”desis Lembu Sora semakin marah, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab setiap ia bergerak keris yang menempel di punggungnya itu terasa semakin menekan.
“Ya, “jawab Mahesa Jenar singkat.
“Aku sudah menduga bahwa kau tidak berani berlaku sebagai seorang jantan! “sambung Lembu Sora.
“Aku hanya dapat berlaku jantan terhadap orang jantan pula, “jawab Mahesa Jenar yang pernah berjuluk Rangga Tohyaja saat menjadi prajurit pengawal Sultan Demak.
“Kau kira aku tidak dapat membunuhmu kalau kau menyerang aku berhadapan? “kata Lembu Sora hampir berteriak.
“Aku tidak peduli, tetapi membinasakan kakak kandung dengan caramu itu, apakah kau seorang jantan? Kau bermaksud membinasakan pasukan Demak itu dengan harapan Gajah Soralah yang tertuduh berbuat khianat dengan menipu dan kemudian menjebak. Adakah itu laku seorang jantan?”
Diatas adalah petikan dialog antara Mahesa Jenar dengan Lembu Sora dalam buku cerita Nagasasra dan Sabukinten karya SH Mintardja. Cerita yang pernah dumuat bersambung di koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta (sejak Agustus 1964) dan kemudian dibukukan itu mengisahkan pasang surut kekuasaan kasultanan Demak.
Singkat cerita, saat itu di tanah perdikan Banyu Biru sedang terjadi kemelut. Kepala tanah perdikan Banyu Biru (Ki Ageng Gajah Sora) dituduh menyembunyikan keris Nasasasra dan Sabuk Inten. Bahkan sepasukan Demak datang ke Banyu Biru untuk mengambil kedua keris tersebut. Gajah Sora dituduh ingin merebut kekuasaan Demak dengan memiliki keris tersebut. Tuduhan ini tentu tidak benar.
Memang Gajah Sora (dengan Mahesa Jenar) yang merebut kedua keris dari suami istri Simo Rodra di Gunung Tidar. Tetapi, untuk sementara mereka menyimpannya di Banyu Biru untuk kemudian diberikan ke Demak, jika suasana sudah memungkinkan. Di Demak sendiri juga sedang terjadi perebutan pengaruh antara keturunan Sultan Trenggana dan Sekar Seda Lepen.
Banyu Biru adalah tanah perdikan pecahan dari tanah pedikan Pangrantunan yang didirikan ki Ageng Sora Dipayana. Sora Dipayana punya dua anak, Gajah Sora (diberi daerah Banyu Biru), Lembu Sora (Pamingit). Banyu Biru berkembang pesat dan penduduknya makmur karena pemimpinya bijaksana. Sementara Pamingit tidak berkembang karena kepala tanah perdikannya kurang memikirkan rakyatnya.
Tanah perdikan Banyu Biru yang makmur menimbulkan iri dengki Lembu Sora (kepala daerah Pamingit). Ia ingin mengusai Banyu Biru. Saat Banyu Biru dilanda kemelut, ia memancing ikan di air keruh. Ia bersekongkol dengan golongan hitam. Lembu Sora ingin menyerang dari belakang pasukan Demak yang datang ke Banyu Biru. Ia ingin Demak menuduh pasukan Gajah Sora yang menyerang pasukan Demak.
Saat mau menyerang pasukan Demak, gerak Lembu Sora diketahui Mahasa Jenar. Lembu Sora bersama para pendekar golongan hitam telah bersekongkol. Ingin menguasai kedua keris dengan menghancurkan Banyu Biru terlebih dahulu. Golongan hitam yang terlibat perkelahian dengan Mahesa Jenar antara lain; pasangan suami istri Simo Rodra, Lawa Ijo (murid Pasingsingan), Jaka Soka (Nusa Kambangan), sepasang Uling Putih dan Uling Kuning (Rawapening), serta Lembu Sora sendiri.
Sebagai murid Ki Ageng Pengging Sepuh dan bekas pengawal raja, Mahesa Jenar tidak tega melihat kecurangan yang dilakukan golongan hitam itu. Meskipun ia tidak lagi menjabat sebagai prajurit, namun jiwa kesatrianya tertantang.
Lembu Sora, meskipun anak dan murid Ki Ageng Sora Dipayana yang berbudi baik tergoda pada kekuasaan dan uang. Ia ingin menguasai Pamingit dan Banyu Biru sekaligus. Bahkan rela mengorbankan kakaknya hanya untuk meraih ambisi pribadinya itu. Ia juga mendidik anaknya bernama Sawung Sariti ikut merebutnya. Hanya ambisinya itu terganjal dengan peran Arya Salaka (anak Gajah Sora) dibawah asuhan Mahesa Jenar.
Tentu golongan hitam akan terus bersaing. Mereka bersama-sama saat ada musuh. Tetapi sebenarnya diantara mereka juga berkompetisi untuk saling melenyapkan karena ambisi kekuasaan dan uang.
“Agamanya” Sama
Cerita kemelut Demak dalam serial Naga Sasra Sabuk Inten di atas yang pernah dijadikan sandiwara radio era 80-an itu bisa menjadi contoh kongkrit betapa rumitnya mengurus negara. Cerita itu memang fiksi, tetapi intrik-intrik politik untuk saling menjatuhkan, bersatu jika ada musuh bersama, saling menjebak, dan saling menjegal tetap ada dan dijadikan cermin.
Tentu kita tidak mengatakan bahwa kelompok tertentu sebagai golongan hitam dan kelompok lain golongan putih. Bukan itu. Penekanannya pada bahwa terjadi pergulatan perebutan kekuasaan dengan berbagai cara. Politik “dagang sapi” tentu tidak akan terpisahkan.
Nah, beberapa waktu lalu terjadi “perebutan” jatah menteri koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf. Sampai-sampai Megawati berbicara terbuka soal dukungan itu pada Kongres V PDIP di Bali). Ia bahkan meminta presiden terpilih dengan jatah menteri terbanyak karena merasa menjadi “ketua” partai koalisi.
Sebelumnya ada kabar bahwa Partai Kebangkitab Bangsa (PKB) minta 10 menteri, sementara Partai Nasional Demokrat (Nasdem) minta 11 menteri. Puan Maharani menjawab bahwa PDIP akan lebih dari itu jatah menterinya. Bagaimana dengan nasib anggota koalisi lain? Mengapa tidak diberikan pos 100 menteri saja biar semua kebagian banyak? Bukankah gaji juga yang membayar negara?
Inilah pemikiran para politisi. Kalau sudah merasa berhasil, maka tinggal bagi-bagi kursi atau kalau perlu meminta dengan memaksa. Tentu kasihan presiden terpilih. Ia akan terus tersandera dan tidak bisa bekerja dengan baik.
Bukankah pemilihan presiden itu tidak semata-mata faktor partai politik tetapi terkait figur juga? Coba dilihat kembali. Kurang apa Megawati dan Prabowo saat menjadi calon pada Pemilu 2009? Dua orang itu punya pengaruh kuat di partai masing-masing (PDIP dan Gerindra). Toh, akhirnya pasangan itu terjungkal oleh pasangan SBY-Budiono?
Tapi memang itulah politik dengan dinamikanya sendiri. Begitulah potret politisi di Indonesia saat berurusan dengan kekuasaan. Maka, kadang kita tidak perlu buru-buru percaya pada perkataan para politisi. Kalau sudah terlalu percaya jangan-jangan nanti kita “dikadalin”.

Apakah perebutan jatah menteri itu salah? Tidak juga seratus persen salah. Mereka hanya meminta berdasar apa yang sudah diberikan pada koalisi. Perkara permintaannya di luar kewajaran itu hal yang umum terjadi. Di setiap koalisi manapun dan kapanpun.
Apa pelajaran yang bisa kita petik? Ternyata jika sudah berurusan dengan kekuasaan, politisi itu sudah tidak “berakal sehat”. Mereka pernah disatukan dalam sebuah kepentingan. Jika sudah hilang musuh bersama yang menyatukan kepentingan itu, yang kemudian muncul adalah rebutan pengaruh dan kekuasaan.
Mengapa mereka berebut kekuasaan? Karena kekuasaan menjanjikan banyak hal. Bisa menghilangkan “kejahatan” seseorang. Bisa membuat kaya. Bisa ikut menentukan kebijakan negara. Bisa terkenal. Dan yang pasti punya efek nyata dalam soal pendanaan.
Artinya, mereka yang punya kekuasaan akan punya uang banyak. Bukan dari gajinya tetapi dari imbas kekuasaan yang dimilikinya. Benar kaya Voltaire, “Dalam Perkara Uang, Setiap Orang Punya Agama Sama”. Maka dalam perkara politik, setiap orang punya “agama” sama pula.