Terakota.id–Ketika naik pesawat terbang, sesaat sebelum pesawat lepas landas, awak kabin akan menyampaikan instruksi keselamatan. Salah satu yang selalu saya ingat dari serangkaian informasi yang disampaikan adalah instruksi bagi para penumpang yang membawa anak kecil atau orang lansia untuk memakai masker oksigen sendiri terlebih dulu ketika tekanan udara di kabin mendadak turun sebelum menolong anak atau orang lansia tersebut.
Dulu, saya sering mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya, mengapa tidak menolong si anak atau si lansia dulu baru menolong diri sendiri. Untunglah, selama beberapa kali naik pesawat saya tidak pernah membawa anak kecil atau orang lansia. Lebih untung lagi, saya belum pernah mengalami anjloknya tekanan udara di kabin pesawat terbang yang mengerikan itu.
Namun, mungkin persis karena saya belum pernah mengalami dua hal yang saya sebut di ataslah saya jadi bertanya-tanya. Seandainya pernah mengalami sendiri salah satunya atau dua-duanya sekaligus, saya mungkin akan memiliki jawaban yang empirik. Tetapi, manusia (termasuk saya) dikaruniai nalar dan kemampuan membaca dan menyimak. Maka, saya tidak harus mengalami sendiri salah satu atau dua hal di atas untuk dapat mengetahui mengapa dalam kondisi turunnya tekanan udara di kabin pesawat, orang dewasa perlu terlebih dulu menolong dirinya sendiri—memasang masker oksigen—dan baru setelahnya membantu anak kecil atau orang lansia. Ada banyak informasi di media massa tentang itu, dan saya juga bisa menalar dan menarik kesimpulan mengapa mesti seperti itu.
Demikianlah, dari yang saya baca dan simak, serta yang dapat saya inferensi dengan nalar saya, alasan dari instruksi keselamatan untuk mendahulukan menolong diri sendiri sebelum membantu anak kecil atau orang lansia dalam kasus turunnya tekanan udara di kabin pesawat adalah karena dengan menolong diri sendiri terlebih dulu penumpang dewasa akan selamat. Karena selamat, dia kemudian (bisa atau mungkin) membantu menyelamatkan nyawa anak kecil atau orang lansia. Hanya orang yang nyawanya selamat dapat membantu menyelamatkan nyawa orang lain atau, dengan kata lain, orang mati tidak dapat menyelamatkan orang lain dari kematian. Kira-kira begitu logika sederhananya.
Mendahulukan Diri Sendiri
Prinsip emas: menyelamatkan orang lain mengandaikan bahwa kita sendiri sebelumnya selamat. Kita harus hidup agar bisa membantu orang lain mempertahankan hidup mereka. Kita perlu memiliki sesuatu yang bernilai kalau kita ingin memberikan sesuatu yang bernilai. Kalau kita tidak memiliki apa pun dan dipaksa juga untuk memberi, apa yang kita berikan? Mungkin pada mulanya yang kita berikan adalah diri kita sendiri, tetapi lama-kelamaan kita tidak akan bisa bertahan dengan terus memberi.
Terkait hal ini, saya teringat pada buku yang pernah saya baca. Beberapa tahun silam, saya membaca novel Manuskrip Celestine (1997) karya James Redfield yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Meskipun sebagai dosen sastra saya sepenuhnya menyadari bahwa kebenaran sastrawi tidak serta-merta sama dan sebangun dengan kebenaran faktual, tetapi gagasan yang dipaparkan dalam novel ini cukup relevan dalam upaya memahami realitas kehidupan kita. Maka saya ingin mengetengahkan salah satu poin utama yang saya ingat dari novel tersebut.
Poin yang saya maksud di sini adalah gagasan bagaimana dunia ini adalah medan perebutan energi. Kita hidup dengan saling memperebutkan energi itu lewat interaksi kita dengan sesama. Kala kita bertemu dengan orang lain dan mendengarkan pemaparannya dengan sabar, menanggapinya dengan tangan terbuka, melemparkan senyuman, mengajukan pertanyaan lebih lanjut, dan berdiskusi secara menyenangkan dengannya, itu bisa terjadi karena kita menyerahkan sebagian energi kita kepadanya. Oleh energi yang kita bagikan kepadanya, orang tersebut akan merasa terpompa dan bersemangat untuk berkisah lebih lanjut.
Namun, kita tidak dapat terus-menerus menyuplainya dengan energi, karena kita pun membutuhkan energi. Relasi yang tidak sehat terjadi manakala ada satu pihak yang lebih banyak menuntut energi dari pihak yang lain. Dan lebih tidak sehat lagi adalah relasi di mana dua belah pihak hanya bergantung pada pihak lain untuk mendapatkan energinya. Energi yang jumlahnya terbatas itu akhirnya saling diperebutkan dengan sengit. Relasi pun ambyar.
Dari titik ini, Manuskrip Celestine mendorong kita untuk tidak larut dalam relasi yang cepat atau lambat hanya akan berubah menjadi perebutan energi. Kita didorong untuk mencari sumber-sumber energi di alam. Itu artinya kita tidak saling mencerap energi dari sesama yang dengannya kita berinteraksi. Kita perlu menjadi utuh dan penuh dengan energi dulu sebelum mulai berinteraksi dengan sesama. Begitu pun sesama yang akan berinteraksi dengan kita.
Relasi antarmanusia yang ideal menurut Manuskrip Celestine, karenanya, adalah relasi antara dua manusia (atau lebih) yang masing-masing sudah utuh dan penuh dengan energi. Relasi yang sehat bukanlah ½ ditambahkan ½ menjadi satu, atau ¼ ditambah ¾ menjadi satu, atau berapa pun yang hasil akhir penjumlahannya satu. Relasi yang sehat adalah relasi antara satu dan satu sehingga menghasilkan lebih banyak energi dan kedua belah pihak tidak saling bergantung dan menyerap energi pihak lain.
Patrick King di dalam Stop People-Pleasing (2018) juga menggarisbawahi dan menegaskan pentingnya kita untuk bersikap asertif, berani menyampaikan pikiran dan pendapat kita, berani mengatasi rasa takut kita akan konfrontasi, dan tidak segan untuk sesekali, terutama bila dirasa penting dan perlu, mendahulukan kepentingan kita sendiri alih-alih selalu ingin menyenangkan semua orang sepanjang waktu.
Di dalam kita berelasi dengan sesama, adalah wajar bahwa kita ingin dipandang sebagai orang yang menyenangkan dan baik. Demikianlah citra yang ingin kita bangun di seputar persona kita. Bisa jadi itu dimotivasi oleh pengalaman dan trauma masa kanak-kanak kita. Boleh jadi, itu didorong oleh hasrat atau keinginan kita agar disenangi dan diterima orang-orang yang kita anggap penting dan dapat membantu kita mencapai tujuan kita. Namun, apa pun motifnya, kita sadar bahwa relasi semacam itu jelas tidak ideal dan tidak sehat.
Perilaku menyenangkan hati orang lain yang obsesif atau people-pleasing merepresentasikan relasi di mana kita mencoba untuk memberi dan menuruti apa keinginan dan kebutuhan orang lain. Bagaimana pun dan apa pun yang terjadi, kita akan mengatakan ya pada apa saja yang diminta dari kita oleh orang lain, meskipun kita menyadari bahwa kita ‘kosong’ dari energi dan tidak memiliki apa pun. Pokoknya, kita ikut arus, ikut kata orang. Dengan begitu, kita merasa aman, meskipun jelas sekali bahwa rasa aman itu semu.
Di dalam Manuskrip Celestine dikisahkan bagaimana manusia dapat mencerap energi dan mengisi rongga jiwanya dengan cara terhubung dengan alam sekitar. Secara khusus disebutkan bahwa pepohonan besar di hutan yang masih perawan, pemandangan alam yang menakjubkan, dan fenomena alam yang membangkitkan rasa syukur adalah sumber-sumber lestari yang darinya kita mengetap energi. Itu sebabnya setelah kita mengalami pengalaman semacam itu, kita merasa terangkat dan terinspirasi. Kita merasa segar sehabis piknik ke hutan atau melihat pelangi di sore yang indah atau memandang langit malam yang penuh bintang.
Di dalam Stop People-Pleasing dijelaskan bagaimana kita perlu menjadi lebih asertif, perlu berani mengatakan tidak pada permintaan dan tuntutan orang lain terhadap waktu dan energi kita. Dan yang lebih penting, kita perlu berani sesekali mendahulukan kepentingan, kebutuhan, dan keinginan kita di atas kepentingan, kebutuhan, dan keinginan orang lain. Melalui sikap yang terlihat ‘egois’ ini, kita sejatinya hendak memberi diri kita sendiri ruang untuk mengisi daya, untuk merawat raga dan jiwa, untuk memenuhi ruang spiritual dengan hadirat yang ilahiah, serta untuk memberi istirahat bagi pikiran kita.
Baru setelah energi kita pulih dan utuh—atau dalam contoh kasus di pesawat terbang yang tekanan udara di kabinnya turun, setelah kita sendiri selamat—kita dapat menjumpai dan berelasi dengan orang lain dan saling menguatkan. Dan karena kita masing-masing sudah utuh, sudah penuh, sudah satu, atau sudah selamat, maka yang timbul adalah keluasan relasi dan dampaknya. Tidak akan ada lagi relasi tidak sehat yang ditandai oleh perebutan atau oleh pemberian diri terus-menerus. Yang ada adalah saling bertukar energi. Semoga.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.