
Terakota.id—Apakah Anda mempunyai keluarga yang menjadi tenaga medis atau kesehatan? Tenaga medis dan kesehatan memang agak berbeda, untuk kali ini kita samakan saja terlebih dahulu. Â Sebut saja istilah itu menunjuk pada dokter dan perawat kesehatan. Â Gitu saja lebih gampang.
Lebih konkritnya, mereka ini bekerja secara profesional kaitannya dengan menjaga mutu kesehatan, membantu menyembuhkan dan mengatasi berbagai macam penyakit. Apakah tenaga gizi dan apoteker, misalnya, tidak masuk daalam tenaga medis? Ya itu bahasan yang sedikit melebar.
Nanti ada yang bertanya lagi, tenaga administratif rumah sakit juga berperan ikut dalam penyembuhan penyakit pasien lho. Tambah melebar lagi, kan? Intinya tenaga medis adalah mereka yang menangani secara langsung wabah atau penyakit. Nah, yang mengurusi itu kebanyakan dokter dan perawat, bukan? Khususnya dokter karena yang bertugas memutuskan dan mendiagnosis penyakit.
Kembali ke pertanyaan awal apakah Anda punya keluarga yang menjadi tenaga medis? Jika tidak ada, apakah Anda punya teman yang kerja jadi tenaga medis? Mungkin tetangga?
Jika Anda ngotot menjawab tidak misalnya, coba sekarang Anda bergegas pergi ke rumah sakit. Amati suasananya. Kunjungi ruang dokter, tempat praktek, pojok Instalasi Gawat darurat (IGD), atau ruang rawat inap. Jangan lupa lihat jam kunjung dokter.
Bagaimana mereka bekerja? Sejauh mana aktivitas setiap harinya? Bagaimana ia harus memutuskan persoalan dengan segera? Bagaimana kepanikan yang ada jika ada pasien yang membutuhkan keputusan segera pula? Bagaimana kejelian dituntut tinggi dan akurat dalam mendiagnosis penyakit?
Bagaimana hati-hatinya mereka karena keputusannya menyangkut nyawa orang lain? Bagaimana dilematisnya untuk memutuskan dua perkara yang sama-sama sulit? Bagaimana dia mendapat tekanan sana-sini? Keluarga pasien salah satunya. Perawat juga menunggu keputusan segera untuk penanganan lebih lanjut. Atasan kadang menekan. Atau orang yang punya “kuasa”. Misalnya, orang kuasa yang memaksakan kehendak untuk segera ditangani sementara tenaga medis itu harus menangani pasien masyarakat umum tetapi butuh keputusan segera pula? Bisa dibayangkan, bukan?
Apakah Perlu Sakit Dulu Baru Sadar?
Sekarang ada wabah Covid-19. Bagaimana perasaaan mereka? Mereka tentu membaca berita. Banyak negara sudah terjangkiti virus ini. Beberapa waktu lalu, pemerintah tidak segera mempunyai keputusan terkait virus tersebut. Bagaimana kebingungan tenaga medis di Indonesia? Mau melakukan sesuatu dianggap melanggar prosedur. Mereka bingung karena  bisa disalahkan. Tidak melakukan sesuatu tetapi nyata bahwa virus itu sudah menyebar.
Meskipun pemerintah belum mengumumkan kabar terkini soal virus tersebut, saya yakin tenaga-tenaga medis itu punya jaringan. Jaringannya tentu tidak hanya lokal, tetapi juga nasional dan internasional. Tentu mereka galau. Apa yang harus dilakukan?

Beruntung presiden segera mengumumkan bahwa di Indonesia sudah ada yang terjangkiti virus itu. Tenaga medis tentu sedikit lega. Kenapa? Karena mereka sudah tahu apa yang harus dikerjakan. Daripada informasinya simpang siur? Selama ini, nyata bahwa sudah ada wabah Covid-19 tetapi secara prosedur dan kelembagaan tidak ada instruksi. Baru kemudian saat diindikasikan ada virus semua menjadi heboh. Kemudian susul-menyusul informasi penyebaran virus itu. Jadi yang selama ini ditutup-tutupi menjadi terbuka. Dan tenaga medis bisa bekerja tanpa kebingungan, meskipun tetap cemas.
Apakah permasalahan hanya berhenti di sini? Â Tentu saja tidak. Para tenaga medis itu juga menghadapi kecemasan masyarakat. Bukan pemerintah saja yang cemas. Pemerintah tak cemas pun tak apa-apa. Justru yang cemas tenaga medis. Cemas karena pemerintah tak sigap atas bencana dan cemas karena kecemasan yang muncul di masyarakat juga karena ulah masyarakat sendiri. Bukankah tenaga medis itu dua tiga kali lipat dari kecemasan masyarakat pada umumnya? Apakah Anda pernah membayangkan kondisi kecemasan ini?
Anda sudah bisa membayangkan? Untuk membayangkan Anda kan tidak perlu menderita dan dirawat tenaga medis? Tak ada pihak yang paling panik saat ini kecuali tenaga medis. Ia tertekan beberapa kali dan beberapa pihak. Ditekan internal dan ditekan eksternal. Sangat bijak jika masing-masing membantu ikut menangani masalah itu, minimal dari diri sendiri. Tidak saling menyalahkan. Tenaga media juga seperti kita-kita semua. Mereka juga punya keluarga. Daripada membuat suasana ruwet lebih baik diam.
Kenapa harus saling menolok? Lihat di twitter. Ada seorang aktivis partai baru mengolok-olok seorang kepala daerah karena kebijakannya soal virus Covid-19. Saya tidak bermaksud membela kepala daerah itu. Saya tak ada hubungan dengan dia. Saya hanya melihat dari sisi kebijakan yang diambil dan risikonya.
Mengapa diolok-olok? Tentu kepala daeah punya perhitungn tersendiri dalam menghadapi virus. Dia orang yang dianggap tahu daerahnya dan bertanggung jawab untuk itu. Ini hampir diikuti oleh semua kepala daerah. Hanya masing-masing daerah, tingkat “kewaspadaannya” berbeda-beda.
Karenanya, tentu berbeda pula kebijakan yang diambil. Saya paham mengapa politisi itu melakukan seperti itu. Karena hubungan antara kepala daerah yang diolok-olok itu tak ada hubungan harmonis dengan aktivis partai tersebut. Atau hubungan yang tak harmonis itu justru dipicu oleh para “pemandu sorak” masing-masing kelompok.
Empatilah
Kondisi di atas jusru membuat tenaga media semakin pedih, bukan? Wabah yang segera harus ditangani dikaitkan dengan kepentingan politik. Apakah mereka pada politisi itu tidak empati pada tenaga medis? Apakah mau terkena virus itu baru kemudian sadar? Semoga tidak.
Corona wabah kita semua. Yang terjadi biarlah terjadi. Penting kiranya apa yang harus dilakukan di masa datang. Berdebat soal hari kemarin yang membuat kita “mati berdiri”. Tidak penting. Menyalahkan orang lain itu juga tak membuat kita kreatif dan berpikir cerdas. Bekerja sesuai kemampuan masing-masing pilihan yang lebih bijak. Atau lebih baik kita diam saja.