
Terakota.id–Pada dua pekan lalu saya menulis di media ini tentang Siddhartha. Salah satu penghalang bagi manusia untuk terlepas dari samsara adalah karena terbelenggu oleh cinta buta. Tokoh imajinatif Siddhartha, yang dihadirkan oleh Hermann Hesse dalam novelnya, terjebak juga dalam cinta buta terhadap anaknya. Sebelumnya ia mengecam keadaan itu yang ia lihat dalam masyarakat yang dijumpainya.
Sebagai penulis Kristen Jerman, jelas bahwa Hermann Hesse dalam novel tersebut, sekali pun ia bercerita dalam latar budaya India dan Buddhisme, pengaruh Alkitab Kristiani tak bisa dilepaskannya. Kehadiran sosok Kamala adalah buah perenungan mendalam Hermann Hesse, bahwa Sang Juru Selamat menjamah semua orang berdosa, termasuk sosok perempuan yang berprofesi sebagai pelacur itu.
Apa yang dilakukan oleh Hermann Hesse dilakukan pula oleh penulis-penulis lainnya. Dalam sastra Indonesia ada W.S. Rendra. Dalam sajaknya “Nyanyian Angsa” kurang lebih Rendra melakukan hal senada dengan apa yang digubah oleh Hermann Hesse. Alkitab menjadi sumber inspirasi, dan perempuan menjadi pusat kreasi. Sebagai sumber inspirasi kitab suci tidak diperlakukan sebagai dogma yang kaku. Semua bentuk kebijaksanaan akan menemukan universalitasnya ketika mengalami perjumpaan dengan sumber-sumber kebajikan dari mana pun asalnya.
Jika ada penyair laki-laki Indonesia yang paling banyak menaruh perhatian terhadap perempuan, barangkali nama Rendra sangat layak untuk disebutkan. Perhatiannya terhadap perempuan, terutama terhadap sosok ibu tidak berangkat dari sebuah doktrin, namun merupakan ekspresi alamiah dari seorang penyair. Ia berangkat dari pengalaman batin yang ditumpahkan dalam wujud karya sastra.
Mungkin saya adalah salah seorang yang tak pernah bosan berbicara tentang Rendra. Selain saya masih selalu mengagumi pemikirannya, sampai hari ini saya juga masih istiqomah untuk melakukan kajian terhadap karya-karyanya. Makin banyak membaca karyanya, makin banyak hal yang belum saya pahami darinya. Banyak hal yang perlu disingkapkan tentang gagasannya yang sangat genius. Sekali pun dalam beberapa tulisan, saya menyebut Rendra banyak dipengaruhi oleh Alkitab, namun saya menghargai orisinalitas ekspresi dalam mengolah ide, entah dari mana sumbernya.
Pada zamannya, Rendra adalah pengarang yang berhasil mengolah kata dengan cara yang tak biasa dilakukan pengarang lainnya. Ia memiliki ciri yang menonjol dalam karya-karyanya. Tidak hanya ide-idenya yang luar biasa, namun cara bertuturnya adalah hal baru dalam sastra Indonesia di masanya. Gaya bertutur Rendra banyak diikuti oleh para penyair periode berikutnya, bahkan sampai hari ini.
Rendra lebih dikenal sebagai seorang penyair dan dramawan daripada seorang cerpenis. Karya-karya cerita pendeknya kurang mendapatkan perhatian, baik oleh masyarakat umum maupun kritikus sastra. Ini bukannya tanpa sebab. Di awal kepengarangannya memang Rendra banyak menulis cerpen, di samping puisi, namun akhirnya Rendra lebih memilih berkonsentrasi menulis puisi daripada genre lainnya.
Rendra menulis cerpen rata-rata dalam kurun waktu antara tahun 1950-1960. Cerpen-cerpen itu tersebar di pelbagai media masa, terutama majalah KISAH. Edi Haryono mengumpulkan cerpen-cerpen Rendra dan membukukannya dengan judul yang diambil dari salah satu cerpen-cerpen tersebut, Pacar Seorang Seniman (Bentang, 2016).
Penonjolan sosok seniman sebagai judul dalam kumpulan ini pasti sangat disadari oleh Edi Haryono. Seniman, dalam beberapa karya Rendra, adalah sosok yang kerapkali terpinggirkan. Namun demikian, di balik sosok seorang seniman yang berpenampilan dekil, kasar, dan agak urakan, Rendra ingin menyampaikan kelembutan, ketulusan dan kejujurannya. Orang tak dapat dipandang sebelah mata hanya sekadar dari sisi penampilannya.
Para penikmat sajak-sajaknya rasanya tak akan pernah menemukan sesuatu yang asing ketika membaca cerpen-cerpen Rendra. Sebagaimana dalam sajak-sajaknya, perempuan dan anak-anak menjadi topik yang paling menonjol dalam cerpen-cerpennya. Perempuan yang mendapatkan laki-laki yang bernasib sial, perempuan-perempuan terbuang dan tersisih selalu ditempatkan dalam posisi yang penting dalam cerpen-cerpen Rendra. Di samping itu Rendra juga banyak berbicara tentang kesetiaan dan cinta sejati. Baik cinta seorang perempuan kepada laki-laki, laki-laki kepada perempuan, anak kepada orangtuanya, dan pula sebaliknya.
Dalam “Pacar Seorang Seniman” misalnya, Rendra bercerita tentang arti kesetiaan. Dikisahkan ada seorang perempuan bernama Maharani yang selalu menolak lamaran laki-laki. Kakaknya merasa gelisah memikirkan adiknya, yang meskipun cantik namun menjalani hidupnya sebagai seorang perawan tua. Dalam sajak-sajaknya, Rendra kerapkali menyebut tentang perawan tua. Berbeda dalam kebanyakan sajaknya yang bercerita tentang penantian perempuan akan jodohnya, justru dalam cerpen “Pacar Seorang Seniman” perawan tua yang satu ini ingin agar orang lain menyadari tentang kesendiriannya. Perawan tua mendapatkan posisi yang berbeda dalam puisi dan cerpen Rendra.
Suatu saat sang kakak baru menyadari pilihan hidup Maharani. Dalam suratnya Maharani bercerita tentang kisah cintanya kepada Mas Har, seniman lukis yang mondok di rumah keluarganya. Bagi Maharani, Mas Har adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia mengagumi Mas Har, karena Mas Har sangat memuliakan perempuan. Sosok ibu selalu menjadi inspirasi penting Mas Har dalam hidupnya. “Wanita adalah kesucian, adalah kesuburan, adalah rahmat!”
Mas Har hidup sebatang kara, ibunya telah lama meninggal. Kenangan akan ibunya seringkali digoreskannya lewat lukisan. “Begitulah mata seorang ibu. Matanya memancarkan cahaya lembut bantaian. Tak ada orang yang paling berjasa kepada manusia seperti seorang ibu. Betapa banyaknya ia harus menderita dan berkorban untuk setiap manusia baru yang dia lahirkan, mulai dari kandungan, sampai membesarkannya, dan bahkan ada yang sampai ikut menguburkannya.”
Sekali pun keduanya telah lama saling mencintai, tetapi justru cinta mereka saling terungkapkan lima hari sebelum Mas Har meninggal dunia. Sebagai seorang seniman yang pola tidurnya tak teratur, ia terserang penyakit malaria yang akhirnya merenggut nyawanya. Bagi Maharani, cukuplah hanya kepada Mas Har cintanya pernah berlabuh. Maharani tidak menyia-nyiakan masa mudanya sebagaimana anggapan kakaknya. “Saya telah pernah jatuh cinta. Percintaan itu suci, indah, nikmat, dan tak pernah bernoda.”
Sama-sama kisah cinta sehidup-semati, kesetiaan perempuan juga dikisahkan Rendra dalam “Pertemuan dengan Roh Halus.” Cinta sehidup-semati yang dimaksud di sini bukan kedua tokoh laki-laki dan perempuan akhirnya sama-sama mati. Ketika salah satu pasangannya mati, maka yang ditinggalkan masih melangsungkan hidupnya namun tidak memilih pasangan baru sebagai penggantinya.
Cinta yang datangnya hanya satu kali itu tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun. Seperti yang dialami oleh Endang dan Hasan. Setelah Endang meninggal dunia, arwahnya masih gentayangan dan masuk ke tubuh orang lain. Endang meninggal setelah terjatuh ketika mendaki Gunung Gandul. Suatu ketika roh Endang masuk ke dalam salah satu pendaki Gunung Gandul yang bernama Fatima.
Ketika Hasan datang ke gunung itu untuk membantu mengusir roh Endang dari tubuh Fatima, terjadilah perbincangan antara dua pasangan abadi yang hidup di alam yang berbeda itu. Endang ingin hidup kembali dan menikmati cinta dengan Hasan. “Jangan berkata begitu, Manis-ku. Saya tersiksa sekali. Saya tak mau mati. Saya tak ingin bercinta lagi. Hasan maukah kau menolongku?”
Melalui tubuh Fatima, Endang bertanya kepada Hasan, apakah ia senang dengan kematiannya. Hasan berkata, “Tidak! Tetapi saya menyadari keadaan. Saya sedih bahwa kau telah mati. Saya tak bisa melupakan kenangan percintaan kita. Itulah sebabnya saya tak mau kawin sampai sekarang. Tapi, saya menyadari keadaan. Saya tidak ingin berbuat di luar kodrat.”
Sebagaimana cerpennya yang lain, dalam cerpen ini Rendra juga menyinggung tentang kasih sayang seorang ibu yang tiada batasnya. Kata-kata Hasan yang mengingatkan kembali tentang penderitaan ibu membuat Endang menyadari perbuatannya, dan bersedia kembali ke alamnya. Sebelum meninggalkan tubuh Fatima, Endang berkata, “Ibuku sangat manis. Ia suka membuatkan penganan-penganan yang sangat lezat bagiku. Kasihan sekarang ia sudah tua dan hidup sendirian saja. Ibu! Ibu! Kau terlalu banyak menderita.”
Sementara itu dalam “Pohon Kamboja” Rendra bercerita tentang cinta buta seorang ayah kepada anaknya. Seorang lelaki yang biasa disebut Kakek tinggal bersama anaknya, Ir. Rahmat. Si Kakek menanam pohon kamboja di depan rumah anaknya itu. Pohon itu dirawat dengan baik. Pohon itu untuk mengenang anaknya yang berada di rantau, namun telah sepuluh tahun tidak ada kabarnya.
Sewaktu kecil di Karanganyar, anak itu, Herman namanya, suka memanjat pohon kamboja, induk dari kamboja yang ditanamnya. “Bunga kamboja ialah bunga yang berwatak. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan. Ia senantiasa mempunyai keagungan. Meskipun ia biasa tumbuh di kuburan, ia tak bisa dinamakan bunga kematian.” Herman adalah anak kesayangannya. Ia juara pencak yang tiada tandingannya.
Tidak adanya kabar tentang Herman, membuat si Kakek berubah menjadi orang yang pemurung. Ia pada dasarnya memang adalah seorang pria yang suka mengomel, kasar dan suka marah. Si Kakek baru sadar ketika Rahmat mengatakan bahwa sebenarnya Herman telah lama mati di Medan. Sebagai seorang Bandit, Rahmat tertembak polisi.
Dengan amarahnya dan laksana orang gila Si Kakek mengayunkan kapaknya dan menebangi dahan-dahan pohon kamboja itu. Satu-per satu dahan-dahan kamboja itu telah jatuh. Ia mengumpulkan segenap kekuatannya untuk menebang pokoknya. Ia sadar dan berkata, “Ia lebih ulet dari manusia. Apakah kita tidak malu melihatnya?”
Cinta buta Si Kakek dalam “Pohon Kamboja”-nya Rendra memang tidak sama dengan cinta buta Siddhartha-nya Hermann Hesse. Namun demikian, dua-duanya menyadari bahwa kita tak mungkin bisa mengendalikan pribadi orang lain sekali pun ia adalah orang paling kita cintai. Tiap orang memiliki dunianya sendiri, namun cinta harus sekuat pokok kamboja.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)