
Terakota.ID—Chungking, kata mungkin belum familiar terdengar oleh khalayak. Masyarakat lebih mengenal kata cungkring yang berarti tinggi kurus atau makanan khas Bogor Jawa Barat dibanding chungking. Tentu bukan tanpa alasan, presiden pertama di republik ini yang juga dikenal sebagai orator ulung menggunakan diksi itu sebagai judul naskah sandiwaranya.
Kata chungking, mungkin dipakai Sukarno sebagai metode dalam perjuangan kala itu. Seperti kita tahu, seringkali kita mencari cara untuk tetap termotivasi dalam sebuah pergerakan, namun sangat sulit untuk menerapkannya.
Chungking merupakan salah satu cara yang digunakan ketika kita memiliki tugas yang banyak dan membaginya menjadi beberapa tugas yang kecil. Dengan cara ini kita dapat mempengaruhi otak agar kita bisa melakukan hal hal yang berat, karena otak kita di desain untuk menghemat energi.

Dengan menggunakan teknik chungking, kita bisa menaikan kepercayaan diri kita karena dengan berfokus pada jumlah kecil, otak mensugesti bahwa kita bisa selalu termotivasi untuk bisa melakukannya. Hal ini berpengaruh pada pandangan kita tentang seberapa besar tekad yang kita miliki.
Chungking Jakarta adalah naskah yang ditulis Bung Karno selama di Bengkulu. Salah satu dari 17 naskah tonil selama masa pengasingan. Naskah ini pernah dipentaskan Bung Karno bersama kelompok sandiwara binaannya di Bengkulu bernama Monte Carlo.

Naskah Chungking Jakarta menceritakan petualangan dua tokoh sentral yakni Tian Kung Hoei dan Zakir Djohan. Mereka berdua diceritakan bertugas mengantar uang untuk membantu RRC yang sedang diinvasi Jepang. Kedua tokoh sentral dalam cerita ini punya entitas yang berbeda, etnis Tionghoa dan etnis Jawa-Melayu. Naskah yang sarat akan pesan, terutama soal demokrasi dan kebersamaan.
DPC Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Kota Malang merepresentasikan kiprah Bung Karno di jalan kesenian dengan menggelar pertunjukan tonil karya Sang Proklamator di Gedung Kesenian Gajayana Malang pada Selasa, 30 Agustus 2022. Sebuah pertunjukan yang menjadi catatan tersendiri karena baru kali ini replikasi pertunjukan tonil di era Bung Karno kembali disajikan di zaman yang serba pragmatis seperti saat ini.
Pementasan tonil ini disutradarai oleh Dony Kus Indarto dengan melibatkan kelompok teater yang ada di Malang beserta anggota Repdem hingga musisi Sugik Arbanat bersama kelompok musiknya, Soegeng Rawoeh.
Pertunjukan tonil atau sandiwara ini berbeda bentuk dengan pertunjukan teater modern pada umumnya. Malam itu, penonton disambut oleh beberapa musisi yang memainkan lagu keroncong di bawah panggung pertunjukan yang seluruhnya tertutup selambu besar warna merah. Setiap pergantian adegan, mereka memainkan beberapa lagu dan panggung ditutup selambu besar. Setidaknya, ada tiga backdrop yang melatarbelakangi tiap adegan secara bergantian, menyesuaikan cerita.
Nuansa Thionghoa muncul di atas panggung yang terlihat dari busana beberapa pemain, juga dekorasi lampion bulat warna merah. Suara “kasar” gesekan biola pedagang harum manis atau sering disebut biola arbanat dari Sugik Arbanat di saat adegan-adegan tertentu, seolah mengingatkan kita akan film-film Mandarin.

Sayang, penulis yang gemar menyaksikan pertunjukan di barisan belakang di dalam gedung seluas itu dengan pemainnya tanpa menggunakan clip on, tidak bisa mendengar dialog dengan jelas dalam beberapa adegan hingga tak bisa secara detail mengerti jalan cerita. Ditambah, penonton lain dimuka yang beberapa kali berfoto selfy juga celetukan-celetukan yang merusak konsentrasi penulis yang pada dasarnya kurang bisa berpikir fokus. Resiko yang penulis sadari sedari awal.
Nampak sekali, dengan chungking, Bung Karno ingin mengajarkan pada kita bagaimana seharusnya kita menjalani proses dalam sebuah pergerakan.
Yono Ndoyit
Malang, 31 Agustus 2022
*Pegiat literasi dan penulis seni
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi