Cerita Negeri Surga Koruptor

cerita-negeri-surga-koruptor
Mahasiswa, akademikus dan pegiat antikorupsi memprotes revisi Undang-undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Selamat datang di negeri surganya para koruptor. Di negeri ini para koruptor bisa leluasa menjalankan aksinya. Di negeri yang ramah koruptor ini aturan hukum sangat longgar. Dipastikan aturan hukum berpihak pada para koruptor. Hukum bisa dibeli. Aturan dan undang-undang bisa direkayasa. Bunyi pasal-pasal dalam aturan hukum bisa diatur dan dinegosiasikan, demi kemanfaatan dan keuntungan pihak atau kelompok tertentu.

Di negeri para koruptor ini, korupsi biasa dilakukan secara berjamaah. Tak ada yang tak bisa korupsi dan dikorupsi. Pembangunan tembok beton itu bisa dikorupsi semennya. Pembangunan jalan bebas hambatan itu bisa disunat besi, semen, dan aspalnya. Kualitas sebuah bangunan bisa diturunkan dari spesifikasi normalnya. Mutu bangunannya bisa ditawar. Kualitas jadi lebih jelek tak mengapa, asalkan ada aliran dana yang bisa masuk ke kantong-kantong pribadi.

Di negeri ramah koruptor ini para koruptor yang dipenjara juga masih bisa bernafas lega. Mereka tak musti berada di balik jeruji besi yang gelap dan pengap. Para tahanan korupsi masih bisa sering-sering menghirup udara bebas dan segar di luar. Jalan-jalan ke mal untuk cuci mata juga tak masalah. Sering-sering ke warung nasi Padang atau restoran mewah juga aman-aman saja. Alasan izin keluar penjara mudah direkayasa. Bisa saja alasan atau pura-pura sakit.

Kekuatan Anti Korupsi Dipereteli

Di negeri surga koruptor ini memang ada lembaga anti korupsi. Namun dibuat tak berdaya. Kekuatannya dipereteli. Sejumlah kewenangan lembaga anti rasuah di negeri ini keperkasaannya dikebiri. Sejumlah aturan dan pasal undang-undangnya lebih memihak sang koruptor. Para koruptor itu tak takut pada undang-undang yang bakal menjerat perbuatannya. Karena sejumlah pasalnya multi tafsir hingga bisa dinegosiasikan.

Kalau toh ada pelaku korupsi yang sampai divonis bersalah, di antara mereka juga tak otomatis jera. Bahkan tak jarang mantan-mantan koruptor itu kembali melakukan korupsi, bahkan dengan nilai yang lebih fantastik. Modus operandi korupsinya juga beragam. Model transaksi korupsinya juga bisa berubah bentuk. Bahkan barang yang dapat dikorupsi juga semakin beraneka wujudnya.

Lembaga yang bertugas melakukan pengawasan, pendidikan, dan penindakan korupsi tak berdaya. Kalau toh sudah ditemukan sosok orang yang terbukti korupsi, belum tentu juga bisa diproses di pengadilan. Masih ada saja orang atau sekelompok orang yang kebal, tak bisa tersentuh oleh lembaga anti korupsi. Tak sedikit pula orang yang kebal hukum, tak mampu tersentuh undang-undang.

cerita-negeri-surga-koruptor
Mahasiswa, jurnalis, akademikus dan pegiat antikorupsi memprotes revisi Undang-undang KPK yang dianggap melemahkan lembaga antirasiuah. (Terakota/Eko Widianto).

Undang-undang yang mengatur kewenangan lembaga anti korupsi bisa direvisi. Bisa diubah secara diam-diam. Perubahan undang-undangnya bisa lewat operasi senyap. Rakyat tak diajak bicara. Suara masyarakat tak perlu di dengar. Undang-undang di revisi super cepat. Undang-undang di bahas kilat dan segera disahkan. Undang-undang bukan menjadi produk hukum yang kredibel karena dibuat dan disahkan melalui proses yang tak wajar.

Di negeri surga koruptor perilaku merekayasa aturan dan undang-undang merupakan hal yang lumrah. Tak sedikit rakyat yang protes terhadap cara-cara curang itu, namun apa daya, kekuatan rakyat tak perkasa. Tak jarang masyarakat disibukkan dengan urusan perut mereka sendiri-sendiri  sehingga mereka terlupa bahwa ada ketidakberesan di sekitarnya. Tak sedikit orang berpaling ketika melihat kenyataan yang salah. Mereka jadi apatis dan tak mau ambil pusing terhadap ketidakberesan dan ketidakadilan yang sedang terlihat di hadapan mata.

Sampai Kapan?

Akan sampai kapan negeri surga koruptor ini bisa bertahan? Kalau terus-terusan seperti itu, pondasi negeri itu sejatinya sangat rapuh. Sewaktu-waktu akan ambruk digerogoti korupsi yang terus menggila dan menggurita. Korupsi adalah bahaya laten yang sewaktu-waktu akan meledak. Tapi sayangnya, tak semua orang di negeri surga koruptor ini merasa bahwa negerinya sedang terancam. Korupsi yang menggerogoti itu tak dianggap sebagai ancaman serius.

Di negeri surga korupsi, korupsi bisa terjadi setiap saat. Korupsi seperti “sego jangan” yang terjadi setiap hari. Di kantor-kantor pemerintahan ada korupsi. Di gedung-gedung layanan publik marak korupsi. Di gedung wakil rakyat ada kemufakatan jahat korupsi. Orang-orang berdasi dari balik kursi jabatannya juga dial korupsi. Bahkan di sejumlah lembaga pendidikan, sekolah, pondok pesantren, dan kampus juga tak steril dari korupsi.

Orang-orang terpelajar, terdidik, dan jadi panutan masyarakat juga ada yang melakukan korupsi. Orang bertitel profesor, doktor dengan gampang terseret korupsi. Bahkan orang berjuluk kiai, haji juga ada yang tersangkut korupsi. Laki-laki, perempuan, tua muda, besar kecil, semua tak aman dari korupsi. Kampanye anti korupsi, ajakan menolak korupsi, dan sejumlah pesan-pesan lawan korupsi tak banyak digubris. Masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

Mahasiswa berunjukrasa mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di depan gedung DPRD Kota Malang. (Terakota/Eko Widianto).

Kondisi di negeri ramah koruptor situasi jadi tak teratur. Keadilan tak dijunjung tinggi. Hukum hanya menguntungkan mereka yang kaya dan berkuasa. Aturan dan hukum bisa diperjualbelikan. Uang yang banyak bicara dan yang bisa menyelesaikan masalah. Selagi ada uang semua akan beres. Semua bisa dinegosiasikan asalkan ada kata sepakat dari pertanyaan “wani piro?”. Kata sepakat tentu dengan kompromi dan barter keuntungan dan kemanfaatan bagi sejumlah pihak yang terlibat dalam pusaran korupsi.

Di negeri ramah korupsi pengambarannya persis dalam salah satu lagu yang sangat kondang dari Iwan Fals yang berjudul “Tikus-Tikus Kantor”. Atau persis lagunya Bona Paputungan yang berjudul “Andai Aku Gayus Tambunan”. Juga lagunya Slank yang bertajuk “Gosip Jalanan”. Rakyat jadi menderita, persis ilustrasi lagu Rhoma Irama yang potongan syairnya berbunyi “…yang kaya makin kaya,…yang miskin makin miskin,…”.

Di negeri surga koruptor ini tak ada yang mau belajar dari sejarah negari-negeri besar yang ambruk sebab korupsi. Sejarah mencatat, kekaisaran Roma yang perkasa pun runtuh gara-gara korupsi. Negeri Mesir kuno juga hancur sebab korupsi. Kalau dibiarkan, tak menutup kemungkinan negeri surga para koruptor ini bakal ambruk, hancur, dan hilang dari peradaban.

Semoga cerita tentang negeri sang koruptor ini tak dialami negeri Indonesia tercinta. Semoga semua cerita dalam negeri surga koruptor ini hanya fiktif belaka. Semua elemen bangsa ini, seluruh anak negeri berkewajiban membentengi NKRI dari bahaya laten korupsi. Kalau toh ada korupsi di Indonesia, semoga tak menggejala, menggila, dan menggurita seperti cerita di negeri surga koruptor ini. Semoga. (*).