
Terakota.id–Majelis pembaca, tulisan ini timbul karena saya tengah WFH, work from home. Sebelum masuk ke intinya, saya anjurkan Anda sekalian mematuhi kebijakan pemerintah. Kita tengah hidup di masa pandemi virus korona atau coronavirus disease 2019 (covid-19).
Buat apa ada pemerintah, kalau perintahnya tak kita patuhi? Ini untuk kebaikan bersama, bukan? Jagalah jarak fisik Anda dengan yang lain. Mari “social distancing” kita terapkan secara disiplin. Sudah menjadi kewajiban kita untuk berdoa dan ikhtiar, agar masa pandemi bisa segera berlalu.
Pembaca, karena di rumah, sementara di sana jumlah benda paling banyak ialah buku, maka saya tak merasa kesepian. Saya memang bukan Bung Hatta, tetapi sekiranya engkau suka membaca buku, maka engkau akan segara memahami apa yang dikatakannya, “Aku rela di penjara, asal bersama buku-buku!”
Melalui buku-buku, kita berpetualang. Bung Hatta pun membaca novel-novel pertualangan karya Karl May. Karl May novelis ensiklopedis. Tokohnya mengembara ke banyak tempat, sepanjang yang diketahui pengarangnya dari ensiklopedia. Untung Karl May tak hadir dan berkarya di zaman kita. Kalau ya, di era digital ini barangkali dia akan mengubah tokohnya, sebagai seorang “robot”.
Kelak, saya kira para pakar kesusastraan akan membagi karya-karya, ke dalam dua jenis: karya-karya “sastra” sebelum era digital, dan setelah era itu. Tentu akan terjadi perdebatan, kapankah yang dipakai sebagai masa awal era digital. Dan ia terbagi lagi ke era digital lama dan baru.
Kalau ini yang terjadi, maka novel saya “Manusia Beo” barangkali juga akan ikut diulas. Ia jelas lahir ketika era digital sudah demikian aktualnya. Secara kurang menyadari, tokoh-tokoh di novel saya itu, melibatkan tak manusia, tapi hewan dan robot-robot. Saya bingung sendiri, kok jadinya begitu? Sebuah karya, seringkali memang misterius.
Beberapa hari lalu, ketika duduk-duduk di kursi goyang. Kalau Anda seusia saya, kemungkinan besar ingat lagu Chicha Koeswojo tahun 1970-an “Kursi Goyang” (dan ah, tentu aku ingat ibuku, almarhumah yang baik hati sedang bercengkerama dengan adi saya),
Goyang, goyang, duduk di kursi goyang,
Malas, malas, duduk di kursi malas,
Adik kecil itu mau disayang,
Kalau nakal, tak perlu kau membalas,
Kita bisa dengan muda melacak lagu itu di YouTube sekarang. Bahkan satu album full. Sepintas angan saya kembali ke masa lampau, ketika ayahku yang gagah, bertopi koboi bersepeda motor, membelikanku kaset-kaset lagu-lagu anak-anak. Chica, Chicha, Adi bing Slamet, dan tentu kaset-kaset ayah sendiri Rhoma Irama, Umi Kalsum. Dan itulah zaman analog. Hati-hatilah nyetel kaset, kalau tak mau “nglokor”.
Tangan saya meraba sebuah buku. Persis di sebelah saya lemari buku. Kursi bergoyang-goyang, ketika saya membuka-buka kitab terjemahan karya Ibn al Muqaffa itu, “Kalilah dan Dimnah”.
Kitab itu fabel, kisah binatang-binatang yang sarat pesan keutamaan hidup, dan sebaliknya, kelalaian manusia karena kesombongannya, jatuh dari kekuasaan. Dan, betullah belaka ungkapan Imam al Ghazali, kekuasaan itu memabukkan, dan pemegangnya baru sadar kembali, ketika kekuasaan itu telah hilang dari genggamannya.
“Kalilah dan Dimnah”, sesekali bacalah, saya menyarankan begitu ke para mahasiswa jurusan ilmu politik, baik S-1, S-2 atau S-3. Beberapa kali saya mengatakan pada mahasiswa magister ilmu politik saya di Ragunan, tentang pentingnya kita memahami politik ke kebon binatang sebelah.
Jarak kampus kami dengan kebon binatang hanya beberapa ratus meter. Dan, biasanya, semua langsung “Grrrrr …”, tertawa. Tapi kemudian saya menjelaskan bahwa, tidak mungkin kita belajar politik, ilmu politik, tanpa berurusan dengan kisah-kisah binatang. Sayangnya pendekatan fabel politik, banyak dilupakan.
Kalaulah kata fabel saja dianggap bukan urusan ilmu politik, melainkan ilmu sastra, maka saya katakan betapa eratnya kedua ilmu itu. Sastra, jangan diabaikan. Sedang Plato pun, filosof Yunani kuno yang dianggap salah satu peletak dasar ilmu politik, yang pemikiran-pemikirannya wajib diketahui dalam matakuliah pemikiran politik klasik, memanfaatkan pula pendekatan fabel.
Pada kesempatan lain, saya akan nukilkan buku Joshua Mitchell, Plato’s Fable : On The Mortal Condition in Shadowy Times (Princeton University Press, 2006). Dan kolom demi kolom saya selanjutnya akan berfokus pada fabel-fabel politik. Kita akan menyelam ke ragam khasanahnya di kolom kolom ke depan.
Kini, yang hendak saya sampaikan ke pembaca ialah prolog ringan, suatu kisah yang menyembul di “Kalilah dan Dimnah”. Kisah monyet dan kura-kura. Saya kira, setelah membaca kisah ini, kita akan ingat lagi, bahwa dulu Pak atau Bu Guru pernah mendongengi kita begitu. O, ternyata kisah itu hadir dari kitab “Kalilah dan Dimnah”
Monyet tua terlunta-lunta kini. Padahal dia raja. Tentu sebelumnya begitu, raja. Tapi setelah dikudeta anaknya, dia lari. Dan tibalah dia ke pinggir pantai yang di situ ada pohon apelnya.
Si monyet merasa punya tempat baru. Di pohon apel yang lebat buahnya. Suatu hari dia mendengar nyanyian. Ketika apelnya jatuh ke air. Ternyata di situ kura-kura. Lantas berkenalan dan bersahabatlah keduanya. Si kura-kuraterus dikasih apel oleh sang monyet.
Sejak bersahabat, si kura-kura lupa pulang ke rumah. Istrinya gelisah, lantas marah ketika tahu dari tetangga, suaminya tengah bertahan hidup dengan monyet.
Tetangganya bilang, kalau nanti suaminya pulang, jangan lagi balik ke tempat monyet. Maka, harus diatur strategi. Istri kura-kura disuruh pura-pura sakit parah. Dan menurut tabib, baru bisa disembuhkan oleh hati monyet.
Kura-kura jantan suatu ketika pulang ke rumahnya, kaget melihat sang istri sakit parah. Dia memperoleh info bahwa istrinya baru bisa sembuh setelah makan hati monyet. “Syarat yang berat, tapi akan kuusahakan!”
Kembalilah kura-kura jantan ke monyet, membujuknya supaya naik ke punggungnya, karena dia akan membawanya ke pulau yang penuh buah-buahan. Tanpa pikir panjang, sang monyet menurut.
Sampai di tengah jalan, kura-kura gelisah. Akhirnya dia mengatakan sejujurnya pada sang monyet. “Oh, sahabatku kura-kura yang baik, kenapa kau tak bilang sejak tadi sebelum kita berangkat?” kata monyet.
“Memangnya kenapa?”
“Sudah menjadi kebiasaan bangsa monyet, kalau mau pergi ke mana-mana, hatinya ditinggal di suatu tempat yang dirahasiakan, di rumah! Kita sudah jalan jauh, tapi sia-sia belaka, karena tujuan utamanya tak akan bisa tercapai, kecuali kita balik lagi!”
Pembaca, pastilah Anda tahu kisah selanjutnya. Sang kura-kura (memang dia sangat lugu, bukan sosok yang berkarakter licik “kura-kura dalam perahu”, pura-pura tidak tahu) bermanuver, melejitlah ke tempat asal monyet.
Dan, hup, sang monyet melompat ke pohonnya!
Sampai di sini kursi goyang saya terhenti. “Kopi, mana kopi!”[]

Esais, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Naasional Jakarta, Pengurus Pusat HIPIIS