Ilustrasi : 99.co
Iklan terakota

Rumahku dari unggun timbun sajak

Kaca jernih dari luar sengaja nampak

Ku lari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah ku dirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah kemana

Rumahku dari unggun timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak (Rumahku, Chairil Anwar)

 

Terakota.id–Rumah menjelma orbit segala giat dan aktivitas manusia. Belajar dari rumah, bekerja dari rumah, berniaga dari rumah, bertransaksi dari rumah, rapat dari rumah, bahkan bepergian dari rumah. Pandemi Covid-19 memaksa aktivitas manusia berlangsung dari rumah. Rumah melayani rupa-rupa kebutuhan anak-anak penghuninya. Ruang kelas, ruang kerja, pasar, warung makan, kafe, kapal pesiar, rumah sakit, dan juga halte. Sebut tempat apa saja yang saat ini tak boleh dikerumuni, rumah apapun bisa mewujudkannya.

Bagi Chairil rumah adalah kemah yang bisa didirikan kala senja. Di saat yang sama, rumah mengizinkannya terbang untuk kembali. Rumah adalah pohon bagi burung liar, sekaligus kandang berjeruji untuk burung peliharaan. Rumah adalah balai berbagi hangat dan ramai. Rumah adalah panti bagi semua hati.

Pengalaman menyintasi pandemi Covid-19 bagi keluarga manapun, di rumah bertipe apapun, tak akan serupa dan sebangun. Yang pasti, pemutakhiran manusia hari ini, ditentukan serta diupayakan dari rumah. Anak-anak sekolah bercengkerama dengan guru dan teman-temannya dari rumah masing-masing. Diantara dengung suara ibu, bapak, adik, dan atau kakak yang melintas dengan percakapan masing-masing. Disela suara motor penjual sayur pagi dan penjaja bakpao petang hari. Mata yang awas menghadap gawai pintar, setengah pintar, atau tabung kaca televisi tiba-tiba beradu dengan keluh ibu dan bapak tentang pelajaran anak-anak mereka yang tak lagi diketahuinya.

Ibu yang berkarir di luar rumah membagi episode pekerjaan dengan potongan wortel, irisan mentimun, siangan ikan, kepulan asap masakan, dan piring-piring kue yang tiba-tiba nampak seperti lembaran kertas yang memohon data dan angka harus dilengkapi. Serupa rapat-rapat persiapan dan koordinasi tanpa henti. Semua berteriak minta didahulukan, juga makan siang anak-anak dan bapak. Bapak bersarung menghitung beban kerja masing-masing departemen dan memastikannya terdistribusi habis, sembari memangku anak bungsu yang mogok belajar sebab koneksi internet gurunya tiba-tiba mati. Ia tak lagi melihat gurunya muncul di layar laptop meski laptopnya masih menyala.

Rumah lebih riuh dari biasanya. Penghuni rumah datang dan pergi dari ruang tidur ke ruang makan, dari teras depan ke kamar mandi, dari ruang kerja ke dapur, begitu terus hingga kantuk memaksa penghuni rumah mendaratkan tubuhnya ke kasur. Esok, rute yang sama, dengan  dan intensitas tak beda, akan kembali disinggahi, diulang, dan dikerjakan dalam tempo dan ritme serupa atau agak tak biasa.

Tiba-tiba halaman dan setiap sudut rumah tumbuh aglonema, alocasia, atau monstera yang harganya berganti-ganti serupa isi piring, kadang mewah protein, kadang miskin karbohidrat, meski banyak serat. Percakapan keluarga ditambah kosa kata tentang dedaunan yang dihargai jumlah lembar atau tunasnya. Keluarga yang dulu tak kenal nama selembar nama daunpun, fasih mengisahkan bagaimana monstera adansonii berbeda rupa dan harga dengan monstera variegata. Bapak yang dulunya karyawan kantoran bersalin rupa menjadi petani tanaman hias, merangkap kurir.

Bersalin pekerjaan, berganti topik pembicaraan, menggeser preferensi pada tanaman, belajar menulis sebagai konten kreator, menyambangi buku-buku berdebu yang teronggok bertahun-tahun tanpa lagi dibuka halaman-demi halamannya, berwisata ke tiap pojok dan lekukan rumah, memberi energi bagi penghuni rumah untuk menjaga akal sehatnya. Bertukar cakap, beradu pandang, dengan penghuni rumah yang lain tak selamanya menjanjikan hangat  sajak Hujan Bulan Juni Sapardi Djoko Damono.

Hujan tanpa henti dengan kilat, pun petir menyambar-nyambar, meninggalkan ketakutan akan banjir, petaka, serta kerepotan yang tak habis-habis. Tapi semua penghuni rumah tak punya pilihan lain untuk terus mengelola ketakutannya di rumah dan segera mencari mufakat dari rumah. Tak ada tempat lain paling tepat saat ini, kecuali duduk dan membuka ruang percakapan baru, di rumah, hanya dari rumah.

Profil manusia mutakhir, profil anak mutakhir, profil orang tua mutakhir, profil masyarakat mutakhir, profil bangsa mutakhir, profil Negara mutakhir, di masa dan pascapandemi dimampukan dari rumah. Berbagai-bagai modal yang dimiliki setiap rumah sebagai bagian dari rumah bangsa majemuk, kiranya ada di rumah kita. Rumah menyediakan cerita-cerita yang tak mungkin selesai dalam sekali baca. Tak bisa dimaknai hanya dalam satu dua tarikan napas. Cerita-cerita dari rumah menghangatkan kehidupan. Kisah-kisah dari rumah memformulasikan spesies manusia paling mutakhir untuk bersiaga menghadapi pandemi berikutnya. Bukankah rumah seperti sajak Di Restoran, tempat kita memesan rasa lapar yang asing itu dalam puisi Sapardi Djoko Damono? Sebab asing, maka cari tahu ceritanya.

***