
Terakota.ID–Fenomena hujan es, angin kencang, hujan lebat yang menyebabkan banjir dan genangan, tidak hanya terjadi di Surabaya tetapi juga di Paiton Probolinggo. Paling tidak adanya hujan es ini kan menunjukkan transisi dari musim hujan ke kemarau, transisi ini disebut musim pancaroba. Sebab hujan es ini disebabkan oleh cuaca ekstrem karena dinamika iklim.
Perubahan suhu di Indonesia itu mencapai 0,7 sampai 1 derajat Celcius, seperti yang sedang berlangsung saat ini, kondisi ini akan lebih ekstrem di masa mendatang. Paling tidak kondisi ini akan memicu pembentukan awan Cumulonimbus yang lebih tinggi dengan perbedaan suhu yang signifikan antara permukaan dan lapisan atas, sehingga menginisiasi terbentuknya kecepatan angin vertikal yang lebih besar di dalam awan Cumulonimbus.
Tapi paling tidak intensitas fenomena hujan es, disertai badai, bahkan beberapa titik di Surabaya menyebabkan banjir, terutama di wilayah Surabaya Barat terutama Lakarsantri, Lidah Kulon di mana ada kawasan resapan yang dialihfungsikan yakni Waduk Sepat yang dijadikan perumahan oleh Pemkot Surabaya dan Ciputra. Hal ini menunjukkan jika bencana perubahan iklim yakni cuaca ekstreem, yang memicu hujan lebat, badai hingga menyebabkan banjir berpadu dengan persoalan ruang. Kondisi ini semakin menunjukkan sakitnya ruang, sehingga memicu kerentanan wilayah.
Problem Ruang Pemicu Banjir
Persoalan ruang ini menjadi sekelumit bukti dari bagaimana persoalan ruang yang terjahit dengan bencana hidrometeorologi akan memicu kerentanan dan mendorong percepatan bencana. Salah satunya diungkapkan oleh Gaitan (2015) “Spatial Distribution of Flood Incidents Along Urban Overland Flow-Paths” yang menunjukkan bahwa pola ruang yang tidak sesuai dapat memicu kerentanan, terutama soal ruang terbuka hijau dan jalur aliran air, yang dapat diterjemahkan kurangnya kawasan resapan air dan tangkapan air.
Lebih lanjut, pada penelitian Buchori dkk (2017) “A predictive model to assess spatial planning in addressing hydro-meteorological hazards: A case study of Semarang City, Indonesia” menunjukkan resiko kerentanan terhadap banjir menjadi tinggi karena disebabkan oleh tata ruang yang kacau, terutama berkaitan dengan land use (tata guna) dan land governance (tata kelola), seperti maraknya alihfungsi untuk kawasan komersial, kawasan industri dan ditambah tata kelola permukiman yang tidak sesuai. Jika diasumsikan pola di Semarang dan Surabaya hampir mirip, meski ada beberapa perbedaan yang signifikan.
Banjir di Surabaya tidak sekedar menghinggapi wilayah pusat yang ruang resapannya mulai hilang, tetapi kini telah meluas hingga wilayah pinggiran. Bukan juga faktor utamanya adalah buang sampah sembarangan yang sering dijadikan kambing hitam oleh pemerintah dan beberapa aktivis lingkungan. Tetapi problem banjir di Surabaya harus dilihat dari persoalan ruang dan potensi resiko bencana iklim (hidrometeorologi). Sebab akhir-akhir ini menjadi cukup dominan, dirasakan atau tidak dirasakan kita mengalaminya. Sebab persoalan iklim adalah momok utama yang akan dihadapi dalam beberapa tahun terakhir.
Persoalan iklim seperti hujan lebat yang tidak dapat diprediksi berbalut dengan tata ruang yang tidak sesuai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarkawi dalam bukunya berjudul “Banjir di kota Surabaya paruh kedua abad ke-20,” yang secara historis menunjukkan munculnya genangan dan banjir tidak bisa dilepaskan dari persoalan tata kelola kota. Lebih jauh catatan ini menunjukkan problem urban kota besar tidak bisa dilepaskan dari faktor demografi dan ruang. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari persoalan problem “urbanisasi, ketimpangan dan ekspansi modal.”
Dari lintasan historis kita sudah ditunjukkan bukti yang relevan, soal banjir sebagai bagian dari bencana iklim berbalut dengan persoalan ruang, akan memicu kerentanan bencana, khususnya Surabaya. Hal ini masih belum menjadi perhatian yang serius untuk mendorong kebijakan yang sensitif perubahan iklim dan hydrometeorogical hazard. Karena solusi yang ditawarkan masih mekanik, yakni menggunakan pompa hingga membangun saluran beton di sungai-sungai. Sehingga solusi tersebut tidak cukup menangani persoalan bencana banjir di Surabaya.
Mendorong Kebijakan Sensitif Ruang dan Iklim
Sudah banyak peneliti mengungkapkan bahwa pentingnya membangun penanganan bencana berbasis pada alam atau dikenal dengan ‘nature based solution.’ Seperti yang diungkapkan oleh Debele dkk (2019) “Nature-based solutions for hydro meteorological hazards: Revised concepts, classification schemes and databases,” bahwa pendekatan menghidupkan lagi pendekatan hijau dan infrastruktur hijau, seperti mengkatifkan dan menjaga ruang resapan dan tangkapan menjadi solusi yang sangat relevan.
Apalagi berbicara dengan Surabaya yang sudah menjadi hutan beton, minim resapan, tetapi alihfungsi semakin menjadi-jadi. Hal ini dapat dirasakan dan dilihat sendiri dari timur ke barat wilayah Surabaya ruang-ruang resapan telah beralihfungsi menjadi kawasan komersial, bahkan baru-baru ini marak juga pembangunan properti yang semakin menambah beban ruang. Seperti kasus Waduk Sepat di Lidah Kulon, Lakarsantri, Surabaya Barat, waduk seluas 6.7 hektar kini terancam hilang karena akan dijadikan perumahan Citraland. Sebelumnya ada Waduk Jeruk dan Waduk Made yang berkurang luasannya serta fungsinya berubah untuk kepentingan properti.
Catatan ini menunjukkan bahwa persoalan Waduk Sepat dan lainnya-lainnya adalah wujud kebijakan yang tidak sensitif ruang, bencana dan iklim. Karena mengalihfungsikan waduk berarti mengurangi daya tampung resapan dan menambah beban wilayah, sehingga resiko bencana menjadi tinggi. Buktinya 21 Februari kemarin, wilayah dekat Sepat tergenang parah, padahal 10 tahun yang lalu tidak ada persoalan demikian. Sebagai catatan kini warga Sepat sedang mengajukan gugatan lingkungan di Pengadilan Negeri Surabaya untuk menghentikan alih fungsi Waduk Sepat.
Meski begitu perlu ditekankan jika problem ruang juga harus melihat problem konteks urban dan ketimpangan ekonomi. Paling tidak ini jadi bukti konkrit betapa pentingnya mendorong kebijakan yang berbasis pada penilaian sensitivitas ruang, bencana dan ekologis. Sehingga ke depan Pemerintah Kota Surabaya harus benar-benar melihat pentingnya nature based solution dalam menangani banjir di Surabaya, berpihak pada lingkungan hidup seperti menyelamatkan Waduk Sepat dan ruang hijau lainnya. Pemkot harus menambah ruang terbuka, pohon dan menyelamatkan yang sudah ada, bukan menanam hutan beton dan ruang mall.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur