Terakota.id–Berdasarkan peta Kota Malang yang diambil dari rencana kota Hindia Belanda di Kotamadya Malang (Gemeente Malang) 1923 dan direvisi dari foto udara tertanggal Januari 1946, tampak ‘Idjen Boulevard’ dimulai dari sepanjang jalan perempatan Jalan Kawi (Kawi Straat) sampai Bundaran Jalan Panggung (Panggoeng Weg). Sebagai batas atau akhir Idjen Boulevard adalah ‘Idjen Plein’ (Bundaran Jalan Panggung).
Saat ini jika kita melintasi Kawasan Jalan Ijen akan tampak dua pembagian nama jalan sepanjang Jalan Ijen. Yaitu Jalan Besar Ijen (Idjen Boulevard) sepanjang mulai perempatan Jalan Kawi sampai Bundaran Jalan Panggung, dan Jalan Ijen (Idjen Straat) sepanjang mulai Bundaran Jalan Panggung sampai perempatan Jalan Bandung, Jalan Mayor Jenderal Panjaitan dan Jalan Brigjend Slamet Riadi (dulu Willis Weg).
Berdasarkan peta Hindia Belanda untuk Gemeente Malang ini mungkin yang menjadi dasar acuan bagi Pemerintah Kota Malang untuk menetapkan bahwa hanya Jalan Besar Ijen (Idjen Boulevard) yang ditetapkan sebagai ‘Kawasan Cagar Budaya’ (Kawasan Heritage). Sedangkan untuk Jalan Ijen (Idjen Straat) tidak menyandang status sebagai ‘Kawasan Cagar Budaya’ (Kawasan Heritage).
Di sisi lain ada juga yang menerangkan bahwa yang ditetapkan sebagai ‘Kawasan Cagar Budaya’ hanya di sepanjang jalan kembar dengan taman pembelah jalan (sepanjang mulai perempatan Jalan Kawi sampai perlimaan Jalan Pahlawan Trip, Jalan Buring dan Jalan Guntur).
Sejarah mencatat pembangunan Idjen Boulevard oleh Thomas Karsten berlangsung selama dua tahap. Yaitu pada bouwplan ke 5 dan bouwplan ke 7. Tetapi ini sebenarnya tidak menjadikan alasan untuk membedakan statusnya sebagai Kawasan Cagar Budaya. Karena Rencana Pembangunan Kota Malang (Bouwplan l – Bouwplan VIII) ada dalam satu rencana yang berkaitan dan berkesinambungan.
Kawasan Idjen Boulevard dibangun sebagai kawasan elit dengan sebutan ‘Bergenbuurt’ yang berarti kawasan jalan dengan nama-nama gunung. Artinya Idjen Boulevard direncanakan dan dibangun dalam satu kesatuan dengan jalan-jalan lain yang menggunakan nama gunung, tidak berdiri sendiri. Disinilah diperlukan adanya ‘zonasi’ yang menentukan batas-batas keruangan Kawasan Cagar Budaya yang berfungsi sebagai perlindungan.
Jika saja ‘zonasi’ ini benar-benar diterapkan secara transparan dan sungguh-sungguh, maka Kota Malang tidak akan kehilangan Smeroe Park (Taman Indrokilo), Boering Plein, Idjen Plein, dan Stadium (Stadion Gajayana dengan kolam renang dan lapangan tenisnya). Ini baru di Kawasan Bergenbuurt saja, belum di kawasan yang lain.
*Presidium Sejarah Jatim