Biji kopi (MLGcoffee.com)
Iklan terakota

Oleh : Surti Handayani*

Bangsa Ethiopia di benua Afrika dalam berbagai referensi disebut sebagai bangsa yang pertama kali menemukan manfaat biji kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi sekitar 3000 tahun (1000 SM) lalu.  Membaca sejarah perjalanan kopi membuatku semakin penasaran dengan kisahnya. Seperti kata salah satu kawan “Kau sudah menikmati kopi arabika yang langsung dari tanah leluhurnya,” (Kopi arabika dari Ethiopia).

Berawal dari secangkir kopi semua bisa terselesaikan, seperti beberapa kisah yang pernah saya temui ketika berkunjung ke kampung atau komunitas. Bertanya kepada kawan yang saat ini menekuni profesi sebagai seorang pemandu wisata dan juga memiliki usaha kopi di Banyuwangi, Jawa Timur. Dia bilang “Budaya ngopi bisa kita temui di semua tempat meskipun mereka bukan penghasil kopi. Bukti itu terlihat dari cangkir-cangkir kopi yang terjajar rapi di rak tempat penyimpanan piring dan perabot dapur,”.

Semakin penasaran dengan kopi, bukan pengamat dan bukan juga penikmat. Namun sebagai seorang peminum kopi, ketika melakukan perjalanan ke dataran tinggi Karaeng-Lompo, tepatnya ke Pattallassang menemukan banyak pohon kopi di bawah tegakan hutan pinus. Semakin bertanya-tanya ke dalam hati sendiri, kenapa mereka tidak memproduksi dan menjualnya untuk penambah sumber perekonomian keluarga mereka ?.

Dan rejeki itu tidak akan kemana ketika beberapa orang kawan dari Bantaeng (salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan) membawa beberapa bungkus kopi dari dataran tinggi Lompobattang, yang mereka perkenalkan dan langsung menjadi teman ngobrol bersama mereka di antara dingin malam sembari menikmati kerlip bintang-bintang yang bertebaran di langit Pattallassang, bercerita di Baruga Sekolah Bohonglangi’ sembari mencoba merekonstruksi mimpi bersama mereka dan juga warga Pattallassang.

Masih bercerita tentang kopi bersama mereka, saya yang bukan seorang pengamat kopi mencoba bertanya sang maha guru “mbah google” tentang jenis-jenis kopi. Ternyata semakin terkejut karena ada beragam jenis kopi yang tersebar di muka bumi, panjang dan akan lama jika mengurainya maka silahkan baca saja di sini https://id.wikipedia.org/wiki/Jenis-jenis_kopi. Dan yang membuat saya semakin terkejut adalah nama kopi di daerah Bulu’ Ballea.

Pak Haji berjalan ke samping rumah dan menunjukan pohon kopinya, yang dia beri nama kopi kartika (sambungan antara pohon kopi robusta dengan pohon kopi arabika), nah loh semakin penasaran sama seperti penasaran akan arti kehidupan.

Menuju Makassar karena harus segera pulang, menyempatkan diri untuk menikmati kopi di kedai daerah Todoppuli, bersama kawan yang saat ini sudah menjadi seorang pengacara muda di Makassar. Ngobrol ngalor ngidul tetang kegiatan dia sembari mencoba menikmati kopi, kembali menarik untuk mengurai isi kepala tentang pergulatan petani kopi di seluruh Nusantara. Mereka bertarung dengan harga panen yang terkadang tidak seberapa.

Dan betapa harga kopi ketika sudah tersaji dalam sebuah cangkir sangatlah tidak sebanding dengan peluh dan pembodohan yang dialami oleh petani kopi di dataran-dataran tinggi sejak masa Kolonial. Masih lagi tentang pembicaraan bersama kawan seperjalanan “semakin genit tampilan kedai atau coffee shop, maka semakin banyak menguras kantong pemodalnya”.

Belum berakhir kisah tentang perjalanan, libur nyepi memilih penerbangan dari Makassar-Bandung. Menemui abang sepupu yang saat ini sedang melanjutkan S2 di salah satu Universitas di sana, menginap di tempat para backpacker “Pelle Backpacker Guest House” dan ketika berkenalan dengan pengelolanya.

Surti Handayani (Dokumen Pribadi)

Kami langsung kompak bercerita tentang kopi,tanpa pikir panjang setelah ngobrol bersama mereka. Dia bersedia mengajak saya berkeliling Kota Bandung untuk mencari kedai kopi. Akhirnya setelah berkeliling kurang lebih 30 menit, kami menemukan kedai kopi yang letaknya di dalam sebuah rumah hunian yang mereka ubah menjadi kedai.

Bersama pasukan baru karena belum sempat bertemu dengan abang sepupu, menikmati kopi dan ternyata setelah melirik salah satu sudutnya ada beberapa jajaran buku-buku di rak. Ada salah satu buku yang membuat saya terkejut melihatnya. Buku yang bercerita tentang “Kopi, Modal dan Masyarakat Adat”. Ada juga coffee shop yang sempat saya singgahi bersama abang sepupu di Bandung, konsep kekinian dengan tawaran beberapa bentuk penyajian kopi, tentu saja dengan harga yang bisa dibilang mahal.

“Dan jika ingin menanam kopi Gayo ini memiliki mantra yang dinamai Siti Kewe. Sama halnya jika kita mengatakan padi adalah Dewi Sri, maka orang Gayo bilang kopi adalah Siti Kewe yang bermakna kehidupan. “Mengutip tulisan seorang kawan dari Tano Batak, dan menurut dia. Dahulu orang-orang di sana tidak berani mengolah biji kopi karena pada era Kolonial, mereka dibodohi oleh penjajah di mana biji kopi mengandung racun dan hanya untuk menjadi bahan dasar pembuat cat, sampai saat ini masih ada yang menyajikan kopi daun di Gayo.

Kopi tidakakan pernah habis jika diceritakan, setiap perjalanan selalu menemui kopi dengan sejuta cerita. Kopi bisa menjadi teman sejati tapi juga bisa menjadi teman yang mengkhianati, ketika perlakuan yang keliru pada kopi maka lidah kita pun akan terkhianati. Akan tetapi jika kita perlakukan kopi selayaknya kopi tanpa berfikir akan untung rugi maka dia akan setia tanpa ada batasan bahkan sampai mati, kopi masih tetap setia menemani.

“Catatan perjalanan ngopi sana sini dari saya yang bukan seorang pengamat ataupun penikmat kopi”, catatan ini saya dedikasikan untuk kalian semua para petani kopi, para pengusaha kopi di kampung dan kalian-kalian yang berusaha menjadi pengamat kopi. Satu saja yang ingin saya tekankan dalam catatan saya ini “Jangan pernah tinggalkan dan khianati para petani kopi, hanya karena mengejar untung dan takut rugi”.

*Dewan Pengarah untuk DGM Indonesia, Representatives Perempuan Adat, Mahasiswi Jentera School of Law