Waskito Kukuh tengah mengamati burung di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo Batu. (Terakota/Eko Widianto).
Iklan terakota

Terakota.id–Mendung dan gerimis tak menyurutkan langkah Waskito Kukuh Wibowo menyusuri kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo di lereng Gunung Arjuna. Mengendarai sepeda motor dari Kota Batu sejauh 10 kilometer, dia menjelajahi kawasan hutan. Tahura Raden Soerjo merupakan rumah bagi 416 jenis burung.

Sesekali berhenti, mengintip burung yang tengah bertengger untuk berjemur di pepohonan tua menggunakan teropong. Dia mengeluarkan gawai atau gadget yang terpasang sistem aplikasi Burungnesia. Aplikasi ini membantu untuk mengidentifikasi jenis burung. Aplikasi sementara tersedia di android. Bisa diunduh secara gratis. Kukuh terlibat dalam membuat aplikasi ini.

“Pembuatnya tim, saya bagian dari tim. Timnya birdpacker saya pengerjaan penulis teks dan penyelesksi foto,” katanya. Aplikasi diluncurkan Juli 2017, dikerjakan selama enam bulan melibatkan enam orang. Seorang khusus bertugas membuat sistem aplikasi yang lain menyiapkan foto dan membuat diskripsi jenis burung.

Mereka mengumpulkan foto, dan data selama delapan bulan. Semua data disalin dalam aplikasi Burungnesia. Foto dan data juga berasal dari sumbangan para pengamat burung lain. Terkumpul sekitar 250 jenis burung dari sekitar 2 ribu-an burung yang tersebar di seluruh Nusantara. Aplikasi ini tak hanya membantu para pengamat burung amatir, tapi juga mengembalikan kedaulatan peneliti burung asli Indonesia.

“Banyak pengamat burung mempunyai data menarik tapi kesulitan atau tak ada waktu menulis jurnal.” Padahal, temuannya menarik bahkan penting. Tapi tak ditulis dan tak dipercaya dunia sains. Lantas ia mengumpulkan catatan teman-teman pengamat burung demi kecintaan terhadap satwa. Selain itu, mereka juga tengah membuat proyek atlas burung Indonesia untuk memetakan burung Indonesia.

“Ini cara untuk merebut kedaulatan pengamat burung Indonesia. Citizen science semua orang bisa berkontribusi.”

Aplikasi burungnesia tak hanya menyediakan informasi mengenai jenis burung. Juga menyediakan menyediakan fasilitas ceck list untuk memudahkan pengamat burung untuk mendokumentasikan catatan hasil pengamatan. Seperti ciri-ciri fisik burung, habitat dan lokasi pengamatan.

Ada foto untuk identifikasi, diskripsi, distribusi ada petanya, termasuk status konservasi,” ujar waskito. Aplikasi bisa digunakan secara daring atau online dan luring offline. Jadi sebelum menuju area yang tak ada sinyal,  data bisa diunduh dulu. Untuk menyimpan ceck list, kita bisa bisa pakai fitur ceck list dan disimpan di gawai tanpa membawa catatan. Sebelum menyalakan ceck list, GPS gawai harus nyala.

Salah seorang pengamat burung dari  Komunitas Serikat Birdwatcher Ngalam (Seriwang) Swasti Prawidya Mukti mengaku terbantu dengan fitur yang tersedia. Apalagi data yang tersedia cukup lengkap dan beragam. Terutama membantu para pengamat burung pemula. Ciri-ciri fisik burung berupa foto sangat membantu mengindentifikasi di lapangan, berbeda dengan buku yang berupa ilustrasi.

“Kita bisa melihat field guide jadi semacam panduan lapangan. Isinya foto-foto, nama Indonesia burung itu, nama bahasa inggris sekaligus nama latin,” tutur Asti. Jika ke lapangan tak semua memiliki buku panduan, karena mahal dan tak praktis dan tebal.  Apalagi jika harus menjelajahi Papua dan Sulawesi harus memakai buku berbeda, lantaran jenis burungnya berbeda.

“Kalau pakai aplikasi burungnesia semua nanti akan ter-cover di sini. Jadi ada datanya.”

Aplikasi Terus Disempurnakan

Waskito Kukuh tengah mengecek aplikasi burungnesia dalam pengamatan burung di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo Batu, Jawa Timur. (Terakota/Eko Widianto).

Bagi pengamat burung pemula dan pengguna aplikasi ini, ada yang perlu diperhatikan agar posisi atau lokasi pengamatan terbaca akurat. Akurasi lokasi dibutuhkan untuk memasukkan data di ceck list.Waskito menjelaskan hambatan teknis pengguna yang sering lupa mengaktifkan GPS gawai.  Sehingga lokasi yang diterima kadang melenceng, missal pengamatan di Malang tetapi muncul lokasi di Kalimantan,.

“Itu satu kendala teknis, harus download dulu untuk mendapat field guide.”

Kendala lain, aplikasi yang berisi foto juga menghabiskan ruang memori gawai para pengguna. Waskito menilainya sebagai masalah serius jika berisi ribuan foto burung. Untuk itu tengah direkayasa untuk memperkecil ukuran file. “Kalau dari 250 jenis foto macem-macem satu burung tak hanya satu burung satu foto, memakan ruang besar. Ini menjadi kendala untuk perbaikan kedepan,” ujarnya.

Waskito mengakui fitur Burungnesia memiliki kekurangan, dan perlu penyempurnaan. Perbaikan dilakukan untuk menghasilkan aplikasi yang mudah diakses dan lengkap. Ia tengah menyiapkan sistem penyaringan atau pengelompokan jenis butung. Agar mudah dipelajari bagi para pengamat burung pemula.

Meski belum sempurna Asti mengaku bangga menggunakan aplikasi Burungnesia. Alasannya, penyusun aplikasi merupakan sosok pengamat burung yang terpercaya. Dikenal melakukan banyak penelitian dan pengamatan di lapangan.

“Ada sih buku panduan yang mencakup burung se-Indonesia tapi harganya sangat mahal.”

Selain itu tak mudah mendapatkan, harus pesan lebih dulu. Apalagi buku itu disusun oleh peneliti di luar negeri. Sedangkan aplikasi burungnesia ini keunggulan selain praktis juga mencakup semua burung.
“Terpenting produk ini asli Indoensia. Selama proses pengembangan produksi aplikasi diupdate kita benar-benar tahu kompetensi orang-orangnya.”

Atlas Burung Indonesia

Waskito kembali menjelaskan para pengguna aplikasi Burungnesia juga bisa menyumbang hasil pengamatan untuk atlas burung Indonesia. Dia bersama dengan timnya tengah mengembangkan jurnal yang berisi data, foto, diskripsi dan sebaran burung di Indonesia.

Jurnal berbasis peta, untuk memudahkan mengenal kekayaan dan keragaman burung di Indonesia. Targetnya publikasi atlas burung Indonesia  dilakukan lima tahun lagi.  “Semua data yang terkumpul diberikan ke tim atlas burung Indonesia.”

Mereka, katanya, yang akan menganalisa dan mempublikasikan berbentuk atlas. Para pengamat burung bisa menyumbang data tanpa harus secara manual, memindah data ke excel dari buku catatan dan mengirim melalui surat elektornik ke administratur. “Kita mempersingkat waktu dengan aplikasi ini,” ujarnya.

Sriwang mencatat Tahura Raden Soerjo merupakan rumah bagi 160 jenis burung jenis. Pengamat burung sering menjumpai kutilang, sepah hutan, bahkan elang jawa. Elang jawa merupakan burung raptor atau pemangsa yang mulai langka. Waskito mengakhiri pengamatan setelah matahari di atas kepala.