Candi Mananjung Diberitakan di Prasasti Sangguran Petanda Mula Sejarah Batu

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Proses ekskavasi Candi Mananjung. (Foto : M. Dwi Cahyono).
Iklan terakota

Terakota.id–Malang Raya yang terdiri atas Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu berpresikat sebagai “kawasan bersejarah”. Namun, jika Batu dibandingkan dua daerah tetanganya, sejauh ini Kota Batu paling sedikit jejak sejarahnya. Apabila Kota Malang kaya akan peninggalan budaya Indis, maka Kabupaten Malang kaya jejak budaya masa Hindu-Buddha.

Sebagai suatu daerah yang berada di kawasan bersejarah, maka Batu pun kaya akan jejak budaya masa lampau. Hanya saja, sejauh ini riset Historis-Arkeologis di daerah Batu terbilang kurang. Padahal dengan merisetnya, terbuka kemungkinan satu demi satu jejak-jejak (tinggalan) budaya masa lalu di Batu bakal terkuak. Salah sebuah penemuan arkelogis teraktual di Batu adalah reruntuhan bangunan candi di Desa Pendem Kecamatan Junrejo.

Bagi Kota Batu, yang selama ini baru memiliki satu arsitektur monumental, berupa “candi-patirthan” Songgoriti (abad X Masehi), temuan reruntuhan candi di Pendem ini menambah satu khasanah percandian bagi Kota Batu. Awal penemuannya terjadi secara tak sengaja oleh warga sempat Anton Adi Wibowo, 40 tahun. Tatkala menggali tanah di utara areal makam Desa Pendem untuk menanam pohon alpukat 25 November 2019.

Tak dinyana didapatkan struktur bata-bata besar (kuno). Temuannya ini kemudian dilaporkan kepada aparat dan institusi terkait untuk dilakukan peninjauan. Akhirnya BPCB Jawa Timur sigap turun situs sebagai upaya untuk pengamanan dan penyelamatan arkeologis (Rescue Achaeology).

Setelah dilaksanakan Rescue-Archaeology sebagai ekskavasi tahap I tanggal 12-14 Desember 2019, serta ekskavasi lanjutan (tahap II pada tanggal 18-21 Desember 2019 dan tahap III tanggal 7-16 Februari 2020), terkuak bahwa temuan itu adalah candi. Menariknya, bukan candi yang terbuat dari bahan batu andesit (batu kali) seperti kebanyakan candi di Malang Raya, melainkan candi dari bahan bata.

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Struktur bata kuno bangunan Candi Mananjung. (Foto : M. Dwi Cahyono).

Pada ekskavasi tahap II, terlebih lagi pada tahap III, sosoknya sebagai candi kian kentara. Dengan diidapatkannya komponen candi yang berupa sumuran (perigi) pada 14 Februari 2020, dalam ekskavasi tahap III, apa yang telah dihipotesakan sebelumnya (ekskavasi tahap I dan II) bahwa peninggalan arkeologis yang ditemukan di Desa Pendem sebagai bangunan candi terbukti akurasinya.

Pada pemberitaan awal, temuan candi Hindu sekte Siwa ini oleh Arkeolog dari BPCB Jawa Timur di Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho, memberikan prakiraan usia temuan candi di Pendem pada era “pra-Majapahit”. Menurutnya, dimensi ukuran bata-bata kuno yang membentuk struktur bangunan candi ini dihipotesiskan bebagai berasal dari massa pra Majapahit.

Bahkan, bisa jadi dari masa Kadiri – Singosari (abad XI-XIII Masehi)”. Ukuran dari bata- batanya (Panjang 35 centimeter, lebar 25 centimeter, dan tebal 9 centinemer). Jika bata di situs Pendem dibandingkan dengan bata di situs Sekaran (Panjang 33 centimeter, lebar 25 centimeter dan tebal 8 centimeter), terlihat sedikit lebih besar. Oleh karena itu, menurutnya usia candi di Pendem sedikit lebih awal (tua) dari Situs Sekaran. Berdasar temuan berupa koin (chinase coin, duwit gobog) dan keramik dari Dinasti Song, diperkirakan situs Sekaran telah ada sekitar abad X-XI Masehi.

Menurut hipotesis saya (M. Dwi Cahyono), ada kemungkinan embrio dari candi di Pendem paling tidak pada awal abad X Masehi, terkait dengan berita di dalam prasasti Sangguran (14 Suklapaksa bulan Srawana tahun Saka 850 Saka = 2 Agustus 928 Masehi) perihal adanya “sang hyang Prasadha kabhaktyan i Mananjung (tempat peribadatan untuk kebabktian di Mananjung), padamana para undagi penempa logam (gusali, pada besi jenis senjata) di desa kuno (wanua) Sangguran melakukan aktifitas peribadatannya.

Penetapan sebidang tanah di desa (wanua) Sangguran sebagai “tanah perdikan (sima)” terkait dengan biaya penyelanggaraan ritus religis pada bangunan suci (baca “candi”) di Mananjung itu. Pada buku “Sejarah Daerah Batu : Rekonstruksi Sosio-Budaya Lintas Masa” yang saya tulis 2011, halaman 84, saya sampaikan “acangan lokasi Mananjung pada desa Mojorejo dan sekitarnya sengaja diberikan dengan mem-pertimbangkan tempat penemuan prasasti Sangguran”.

Dengan adanya temuan reruntuhan candi di Desa Pendem, yang “bertetangga desa” atau di sekitar Desa Mojorejo, maka terdapat cukup alasan untuk menghipotesiskan bahwa prasadha kabhaktyan di Mananjung berada di Pendem, yakni reruntuhan candi yang baru ditemukan itu. Jika benar candi di Pendem adalah “prasadha kabhaktyan di Mananjung” yang diberitakan prasasti Sangguran (928 Masehi), berarti temuan ini sangat penting bagi kesejarahan daerah Batu.

Mengingat bahwa sejauh telah diketemukan, prasasti Sangguran merupakan prasasti “tertua” di Batu. Oleh karena prasasti adalah “sumber data jenis tekstual”, maka prasasti Sangguran layak untuk dipredikati sebagai “petanda [tekstual] mengenai mula sejarah daerah Batu”. Begitu pula, apabila benar bahwa candi di Pendem adalah bangunan suci di Mananjung, maka reruntuhan candi di Desa Pendem boleh dikatakan “petanda [artefaktual] tentang mula sejarah daerah Batu”. Demikianlah, penemuan candi di Pendem bukan saja menambah khasanah percandian bagi daerah Batu, lebih daripada itu adalah didapatkan petanda artefaktual tentang “mulai sejarah daerah Batu”.

Peleo-Ekologi Lokasi Candi Mananjung

Penemuan reruntuhan candi di Desa Pendem bisa dihipotesiskan sebagai “candi di Mananjung”, yang diberitakan dalam prasasti Sangguran. Lokasinya di lembah sebelah timur Gunung Wukir. Bukit yang tak begitu besar ini dapat dilihat dengan jelas dari arah Desa Pendem — padamana reruntuhan candi itu diketemukan. Areal di sebelah barat dan selatannya dilintasi oleh “sungai purba” Brantas, yang pada lembah di sisi timur dari Gunung Wukir mula-mula mengalir dari arah utara ke selatan, lantas berbelok tajam menjadi arah barat ke timur.

Titik kelok tepat berada di sebelah timur Punden Kajang di wilayah Desa Mojorejo. Ada kemungkinan, sebelum prasasti Sangguran dihadiahkan oleh Th. S. Raffles (tahun 1811 s.d. 1816) kepada Lord Minto yang kala itu berkantor di Calcutta di Teluk Benggala– sehingga prasasti batu (linggoprasasti) ini mendapat sebutan “Minto Steen”, tempat asal darinya sangat mungkin di Punden Kajang.

Konon, Kajang masuk di dalam wilayah “desa lama” Ngadat, sehingga sebutan lain dari prasasti ini adalah “Prasasti Ngadat”. Sekarang Ngadat merupakan salah satu dari dua dusun pada Desa Mojorejo, yang berlokasi di sebelah selatan jalan poros Malang-Batu. Dusun di sebelah utara jalan poros itu adalah Dusun Kajang. Posisi Punden Kajang relatif “segaris lurus” dengan areal temuan candi di Pendem, namun keduanya terpisah oleh aliran Sungai Brantas yang mengalir dengan arah utara-selatan.

Menilik aliran Brantas, yang seolah menjadi batas alamiah di sisi barat dan selatan Desa Pendem, bentang areal desa ini tergambar melereng atau “menanjung” menuju ke aliran Brantas, yang pada areal ini bentuk alirannya seperti “huruf L”. Menilik topografisnya yang menanjung itu, bisa jadi nama kuno — sebelum bernama “Pendem” — itu adalah “Mananjung”. Pada masa Hindu-Buddha di sekitar abad X Masehi, Mananjung masuk di dalam wilayah desa kuno Sangguran, boleh jadi merupakan “anak desa (anak wanua) “dari Sangguran.

Oleh karena itu bisa dipahami bila bangunan suci bagi warga desa Sangguran terletak tak jauh dari areal tinggalnya, yaitu di Mananjung. Namanya kini, yakni “Pendem”, terkait dengan adanya bangunan-bangunan lama di DAS Brantas di Pendem — termasuk di dalamnya bangunan candi dan permukiman — yang lantas “terpendam (bahasa Jawa: kependem) tanah di areal ini. Adanya erosi dari arah utara dan timur melereng menuju ke arah aliran Bantas, menjadi musabab bagi terpendamnya jejak artefaktual di desa yang bernama “Pendem” ini, seperti tergambar pada reruntuhan candi yang terpendam tanah di Desa Pendem pada akhir-akhir ini

Gunung Wukir (kata “wukir” berarti : gunung”) menjadi “arah pengkiblatan (orientasi)” dari Candi Mananjung tersebut. Prakiraan atas orientasinya itu mempertimbangkan indikasi letak tangga candi di sisi timur. Memang, dari lokasi Candi Mananjung, Gunung Wukir bisa dilihat dengan jelas. Apabila benar demikian, konon bukit dilegendakan sebagai potongan puncak Gunung Arjuno yang di bawa ke arah selatan dengan cara “dipukul” oleh Semar ini dulu diyakini sebagai “gunung suci (holly mountain) “.

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Candi Mananjung berorientasi atau menghadap Gunung Wukir, sebagai gunung suci. (Foto :M. Dwi Cahyono).

Gunung inilah yang boleh jadi adalah “Rabut Jalu (istilah “jalu” menunjuk pada taji ayam jantan, yang pada susastra gancaran “Pararaton” diceritakan sebagai tempat dimana Bango Samparan “manepi” dan memperoleh petunjuk dari langit agar mencari dan menemukan si kecil Angrok di areal perjudian, karena dialah yang bakal membantunya terbebas dari jerat hutang. Kata “jalu” yang menjadi petanda kejantanan (jaban = lanang) dapat dihubungkan dengan sungai (kali) Lanang, yang bertemu dengan aliran Brantas di Dusun Torang Tutup pada utara Gunung Wukir.

Sosok Arsitektural Candi Mananjung

Semenjak ekskavasi tahap II dan III, sosok temuan struktur bata di Desa Pendem Kota Batu sebagai “bangunan candi” kian kentara. Candi dari bata ini diketahui berbangun bujur sangkar (panjang 7 meter, lebar 5 dan ketingggian 7,5 meter). Sangatlah mungkin, komponen bangunan yang berhasil didapat itu berupa kaki candi (basement), yang mulai terlihat hanya di kedalaman kurang dari 1 meter dari permukaan tanah sekitarnya.

Indikator sebagai “tubuh candi” Lebih dikuatkan oleh adanya komponen candi berupa “semuran candi (perigi)” berbangun bujur sangkar (2,1 meter kali 2,1 meter) tepat di sentrum dari penemuan kaki candi itu. Memang, pada umumnya, sumuran candi ditempatkan di titik tengah kaki candi.

Sumuran candi berdinding bata di keempat sisinya, dengan catatan dinding di sisi timur ada indikasi dijebol paksa oleh penggali liar, yang sangat boleh jadi konon menjarah peripih di dalam wadah peripih (garbhapatra) yang semula dipendam tanah dan ditempatkan di dasar semuran candi. Terlihat bahwa bekas galian liar tersebut ditimbuni dengan batu-batu kerakal dan pecahan batu candi hingga menggunduk di atas sumuran candi.

Bagian bawah tubuh candi terlihat pada beberapa bagian di permukaan kaki candi. Amaat mungkin tubuh, atap dan kemuncak candi roboh dan longsor ke penjuru (timur, selatan, barat dan utara) dari kaki candi, yang kini keberadaannya masih di bawah tanah. Boleh jadi, di bawah kaki candi ini terdapat komponen candi lain, yaitu batur (saubasrment).

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Struktur bata kuno bangunan Candi Mananjung. (Foto : M. Dwi Cahyono).

Hingga ekskavasi tahap III belum terungkapkan berapa tinggi kaki dan batur candi, oleh karena ekskavasi baru berhasil menampakkan keseluruhan sisi atas kaki candi. Selain itu, ada indikasi bahwa tangga dan pipi tangga candi berada di sisi timur. Jika benar demikian, candi ini menghadap ke arah timur dan berorientasi (mengkiblat) ke arah barat, sehingga amat boleh jadi berorientasi ke puncak “gunung suci” Wukir.

Renruntuhan candi yang diemukan amat mungkin merupakan “candi induk”. Apabila kelak ekskavasi dilanjutkan, bisa jadi bakal didapat “candi-candi perwara” Di sisi timur dari candi induk ini. Bahkan, boleh jadi pula terdapat pagar keliling dan gapura halaman utama candi. Semoga tinggalan yang kini berada di dalam tanah itu belum terjarah, sehingga jika kelak dilakukan ekskavasi lanjutan areal gali dapat lebih diperluas dan diperdalam untuk bisa mendapatkan komponen-komponen dari kompleks arsitektur candi Mananjung.

Ada kemungkinan luas keseluruhan halaman candi meliputi seluruh areal makam desa Pendem serta lahan di sekitarnya. Adapun permukaan tanah asal diprakirakan setinggi jalan yang berada di selatan makam. Jika benar demikian, berarti reruntuhan kompleks candi ini tertimbun (kependem) cukup luas, namun tidak begitu dalam.

Sampai sejauh ini belum diketemukan adanya arca di areal ekskavasi. Namun, bila menilik bahwa tidak jauh dari areal penemuan candi, yaitu di sebelah baratnya padamana terdapat punden desa “Mbok Rindo”, masih didapatkan adanya arca-arca batu berlatar agama Hindu sekte Siwa. Temuan yang kini masih didapati berupa Yoni — sayang pasangannya (Lingga) telah raib — dan Nandi, yang muasalnya boleh jadi dari candi Mananjung itu.

Selain kedua arca itu, menurut laporan inventarisasi pada ROC (Rapporten Oudhkundige Comissie op Java en Madera) tahun 1901 dan dalam OV (Oudhkundige Verslaag) kwartal ke-4 pada 1923 konon terdapat pula sejumlah arca, seperti Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardhini dan Agastya, maupun sebuah Yoni. Pada sebelah selatan dari reruntuhan candi Mananjung, tepatnya di bawah tower telepon seluler terdapat temuan burupa lesung baru besar (mungkin bejana batu), dan temuan lainnya yang berupa lumpang batu yang kini berada di fondasi rumah tinggal warga

Riwayat Pemberitaan Situs Pendem

Pada ROC tahun 1901 maupun OV pada 1923 itu diberitakan pennggalan ikonografis yang berupa arca-arca berlatar agama Hindu sekte Siwa di Desa Pendem. Namun, dalam pemberitaan itu sama sekali tak disebut adanya reruntuhan candi di desa ini. Namun, pada catatan perjalanan J.J. Van Sevenhoven ke beberapa areal kebun kopi di sub- area barat Malang Raya pada tahun 1812 dalam

“Antekeningen Gehouden op eene reis over Jawa van Batavia naar de Ooshoek inde jare 1812” diperoleh kabar tentang adanya candi di dekat aliran sungai (Brantas), yang saya hipotesiskan sebagai candi di Desa Pendem ini. Jemungkinan menghilangnya candi di Pendem terjadi antara tahun 1812-1901. Pada tahun 1812 candi itu masih dilihat oleh Sevenhoven, namun pada pemberitaan tahun 1901 dan 1923 tiak lagi disebut. Boleh jadi, menghilangnya candi itu karena terpendam tanah (kependem).

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Temuan pecahan keramik di sekitar candi Mananjung. (Foto : M. Dwi Cahyono).

Dalam catatannya, Sevenhoven mengabarkan melakukan perjalanan dari Malang menuju ke arah barat hingga di Ngantang. Mula-mula ia melewati areal jebon kopi Naya (kini bernama “Dinoyo”), lalu melintasi Alu (boleh jadi adalah “Ngelo di Kelurahan Tliigomas), lantas Kaling (lengkapnya “Sengkaling”). Kemudian melintasi sungai (besar kemungkinan adalah Brantas).

Setelah melintasi candi, berikutnya sampai di perkebunan kopi Batu, lalu menuju ke Songgoriti, Desa Rata (Lebakroto, kini lazim sebut ” Nggowo”), dan melintasi pula Gunung Dwarawati, hingga akhirnya tiba di Ngantang. Bila menilik alur perjalannya itu, pasca Kaling — tepatnya setelah belok ke utara di pertigaan Pendem, Sevenhoven menyeberangi Bantas yang mengalir dari barat menuju ke arah timur. Pada seberang utara dari Brantas itulah Sevenhoven menjumpai adanya candi. Pertanyaanya adalah “candi manakah yang dijumpainya itu?”.

Pada buku yang saya tulis tahun 2012 “Sejarah Daerah Batu : ……. ” tahun 2011 halaman 90, saya telah berani menyatakan “candi ini harus dicari tidak jauh dari Pendem. Kemungkinan merupakan candi Hindu-Siwa di Desa Pendem (Punden Mbok Rondo), yang menyisakan tinggalan berupa arca Nandi, fragmen arca Durga Mahisasuramardini, fragmen arca Agastya, sebuah Yoni, dan seterusnya.

Disamping itu dijumpai bata-bata kuno, yang sebagian [madih] menampakkan struktur bangunannya. Tak jauh di selatannya ada sebuah lumpang batu. Sebuah lumpang batu lainnya pernah dijumpai di sebelah baratnya, yang kini telah hilang”. Apa yang sembilan tahun lalu (2011) saya perkirakan itu, pada tahun 2019-2020 terbuktilah adanya, yakni didapatkannya temuan spektakuler berupa reruntuhan candi di Pendem.

Selain berhasil penemuan reruntuhan candi, selama proses ekskavasi juga ditemukan dua buah koin bertuliskan “Nederlandsch Indie” berangka 1825, berdiameter 22 milimeter. Didapati pula temuan berupa sebuah pecahan botol, yang mengindikasikan botol Masa Kolonial. Hal ini menunjukkan bahwa dahulu banguan ini pernah terlihat di permukaan tanah, dan digali pada sekitaran tahun 1825, kemudian koin itu jatuh.

Apakah penggalian itu adalah penjarahan terhadap candi yang keberadaannya telah ditulis dalam catatan perjalanan Sevenhoven tahun 1812 tersebut? Bisa jadi demikian, sebab terlihat jelas bahwa konon candi ini pernah digali liar, lantas ditimbun dengan batu-batu kerakal dan pecahan bata- bata candi.

candi-mananjung-diberitakan-di-prasasti-sangguran
Pecahan botol yang ditemukan di sekitar candi Mananjung. Diperkirakan berasal dari masa kolonial Belanda saat melakukan penggalian liar. (Foto : M. Dwi Cahyono).

Demikianlah sekilas tulisan perihal temuan candi di Pendem, yang saya beri nama [secara hipotetik] dengan “Candi Mananjung”. Suatu nama yang terkait dengan isi informasi di dalam prasasti Sanggurdi (928 Masehi). Hal penting dari temuan ini bagi Kota Batu adalah didapatkannya tambahan satu candi, yang menambah khasanah percandian bagi Kota Batu selain candi-patirthan Songgoriti. Candi bata ini sekaligus merupakan “petanda mulai sejarah daerah Batu”. Berbanggalah warga Batu atas temuan penting ini. Nuwun.

Catatan : Andai Prasasti Sangguran dapat dibawa kembali pulang dari Minto’s House di Schotland ke Kota Batu. Semoga, “si anak hilang” ini bakal “balik kandang”.

Griya Ajar CITRALEKHA