Ilustrasi (Sumber: satujam.com)
Iklan terakota

Oleh: Slamet Castur*

Terakota.id–Pertama kali saya ingin menggambarkan perjalanan beberapa musafir yang pergi ke Mekkah ini dalam literasi sufi karya Faridudin Attar, Manthiqu al-Thair, Musyawarah Burung. Tapi, kelihatannya tidak memadai. Karena dalam Manthiqu al-Thair mengisahkan perjalanan suci sufistik untuk menebar cinta damai keabadian, pencapaian hakekat cinta Allah. Sementara, para musyafir yang akan saya kisahkan ini masih pada batas perjalanan syariat kecintaan kuasa duniawi.

Bahkan, ketika akan saya ilustrasikan dalam literasi sejarah Burung Ababil, juga terlalu kecil. Narasi politiknya tidak sepadan dengan sejarah kaum Quraisy. Tepatnya, ketika mereka menghadapi pasukan gajah, al-fil. Yaitu koalisi Raja Abrahah, penguasa Yaman yang didukung Persia dan Romawi saat melakukan ekspansi ke Makkah untuk meruntuhkan dominasi politik ekonomi Arab melalui simbol pemersatu, Ka’bah.

Kiranya narasi yang sepadan adalah menceritakan peristiwa ini dalam hikayat baru, dinamai saja dengan Musyawarah Burung Pipit. Sebuah ilustrasi peristiwa ‘lelakon’ menuju Makkah, menziarahi  ka’bah sebagai bagian dari ‘lelaku’ kuasa.

Tampaknya, kawanan pemimpin Burung Pipit ini telah kehilangan kesadaran. Dan mereka gagal memahami tanda rahasia Makkah. Juga tanda rahasia Ka’bah. Karena Makkah dan Ka’bah hakikatnya memiliki tanda rahasia eksklusif. Tidak gampang terurai seperti halnya pemaknaan simbol rahasia dalam ‘Davinci Code’ Kristen Ortodoks maupun gerakan ‘Illuminate’ kaum Zionis Yahudi Israil.

Perjalanan kawanan burung pipit ke Makkah ini hanya untuk menemui Tuhan. Dan mereka meminta Tuhan supaya ikut terlibat dalam pergulatan politik negerinya. Selain itu, mereka juga meminta malaikat berkenan mengerahkan bala bantuan pasukan layaknya burung ababil yang memporak-porandakan pasukan Abrahah.

Rupanya Tuhan enggan menemui para delegasi partai burung pipit ini. Begitu juga para malaikat, tidak merespon kemauan mereka. Para pemimpin burung pipit ini akhirnya kembali ke pondokan. Mereka berkumpul, melakukan musyawarah, dan merumuskan strategi baru. Kemudian datanglah burung hud hud untuk memberi nasehat spiritual.

Burung hud hud memberi kabar pada mereka, jika Tuhan sedang marah dengan kawanan burung pipit. Sebabnya, secara sepihak, tanpa konfirmasi, pimpinan kawanan burung pipit telah mencatut nama Tuhan untuk kepentingan kepartaian atau syahwat kekuasaan. Apalagi saat ini, Tuhan juga sedang murka besar, karena namanya sering dilibatkan dalam berbagai tragedi kemanusiaan; diskriminasi, intimidasi, eksploitasi, penindasan dan terorisme.

Tiba tiba burung garuda datang. Ia menerobos memasuki arena musyawah burung pipit, di pondokan. Burung garuda berdiri tegak dihadapan burung pipit yang didampingi burung hud hud.  Burung garuda dengan suara bergelegar memberikan pencerahan pada burung pipit:

“Hai burung pipit, ingat! Kamu semua pernah menumpahkan kemarahan pada Salman Rushdie. Karena masalah subyektifitas dia menulis rumus Tuhan dalam ‘The Santanic Verses’, Ayat Ayat Setan. Tapi, apa bedanya ketika kamu juga meneriakkan rumus Tuhan dalam subyektifitas keinginan dirimu, hai burung pipit! Apa kamu tidak berfikir, ketika kamu menganalogikan sebagaian partai adalah Partai Allah. Dan sebagaian yang lain ke dalam kelompok Partai Setan. Bagaimana kamu mempertanggung jawabkan ketika ada oknum yang kamu kelompokkan Partai Allah itu juga melakukan kejahatan? Apa itu tidak menodai Allah, Tuhan Yang Maha Suci yang selama ini kau puja? Apalagi nanti ada kontestasi politik. Kemudian partai yang kamu kasih merek Partai Allah itu kemudian kalah dengan partai yang kamu bilang Partai Setan. Bukankah itu penodaan atas martabat Tuhan? Padahal Allah adalah Tuhan yang Maha Kuasa, Perkasa, dan Merajai. Kepartaian itu fana. Tuhan abadi. Hai burung pipit, jawablah! Lihatlah, pertengkaran, tipu muslihat, adu domba, lomba fitnah, itu semua karena kamu telah mengaduk eksistensi Tuhan dalam lingkaran setan. Kamu semua telah menuhankan manusia dan memanusiakan Tuhan.”

Sambil mengibaskan sayapnya untuk terbang, burung garuda menasehati kawanan burung pipit:

“Pulanglah! janganlah kau cari Tuhan di sini. Karena Tuhan itu ada di rumahmu. Bung Karno juga pernah berujar, kalau orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.”

Penulis (Sumber: Dok. Pribadi)

*Pengagum para Sufi dan tinggal di Lamongan.