Kawasan hutan di Papua yang rusak. (Greenpeace/Ulet Ifansasti)
Iklan terakota

Terakota.id-Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat mencabut izin lokasi, lingkungan dan izin usaha empat perkebunan sawit besar. Meliputi PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT.Papua Lestari Abadi (PLA), PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS) dan PT. Cipta Papua Plantation. Perizinan dicabut lantaran perusahaan dianggap tidak melaksanakan kewajiban dalam izin usaha perkebunan (IUP).

Pencabutan perizinan sesuai hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang didukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bupati Sorong, Johny Kamuru menegaskan pencabutan izin berdasarkan laporan evaluasi menyeluruh pemerintah provinsi Papua Barat bersama beberapa kabupaten termasuk Kabupaten Sorong dan KPK.

“Kami melihat bahwa lahan yang belum dimanfaatkan perlu dikembalikan ke masyarakat adat atau pemilik hak ulayat. Lahan bisa bermanfaat untuk penghidupan mereka,” katanya dalam siaran pers yang diterima Terakota.id. Ketiga perusahaan sawit menggugat keputusan Pemkab Sorong dan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada awal Agustus 2021.

 Kebijakan moratorium sawit, katanya, merupakan salah satu landasan penting bagi Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Kabupaten Sorong mengevaluasi perusahaan sawit. Selain itu, Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam serta Deklarasi Manokwari turut dorongan pentingnya evaluasi.

“Kami memperjuangkan keadilan dengan menghadapi gugatan dari tiga perusahaan sawit yang dicabut izinnya,” kata Bupati Sorong.

Untuk itu, ia mendukung moratorium sawit diperpanjang. Sesuai Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit yang akan berakhir dalam beberapa hari ke depan.

Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit

Yayasan Madani Berkelanjutan dan Yayasan EcoNusa meminta pemerintah memperpanjang Inpres tersebut.  Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menjelaskan Indonesia memiliki 11, 9 juta hektare izin sawit tak bertutupan, sedagkan 10,7 juta hektare izin sawit bertutupan dan 8,4 juta hektare lahan sawit yang tidak memiliki izin. Data tersebut berdasarkan analisis Yayasan Madani Berkelanjutan pada akhir 2020.

“Banyak lahan yang tidak diketahui statusnya. Permasalahan ini dapat terjawab melalui evaluasi perizinan, pengecekan antara area perkebunan sawit dengan data perizinan, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di wilayah kelola masyarakat,” katanya.

CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar menambahkan evaluasi izin perlu didorong pemerintah daerah agar tidak merugikan Negara. Sedangkan selama inibelum banyak pemerintah daerah yang meninjau termasuk izin sawit yang ada di kawasan hutan Kalimantan dan beberapa tempat lainnya.

“Tinjauan perizinan juga berkaitan dengan memaksimalkan pendapatan negara dan menyelamatkan kekayaan negara,” ujarnya.

Dari kasus di Papua Barat sekitar 650 ribu hektare izin sawit yang telah diberikan pemerintah, hanya sekitar 52 ribu hektare yang telah ditanami pohon sawit. Sehingga potensi menimbulkan kerugian Negara dari pajak yang sangat besar.

Perbaikan Tata Kelola Sawit

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menyampaikan data temuan KPK 2017. Dilaporkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menghimpun dana perkebunan sawit dari hasil pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) sebesar Rp 11 triliun pada 2016. Dari dana itu, sebanyak 81,8 persen dialokasikan untuk subsidi biodiesel, subsidi paling besar dinikmati para pengusaha.

“Dana perkebunan sawit seharusnya dapat digunakan untuk program yang berkaitan langsung dengan pengembangan dan produktivitas perkebunan sawit,” katanya. Misalnya peremajaan perkebunan sawit rakyat, pengembangan sarana dan prasarana perkebunan sawit, program peningkatan SDM di sektor perkebunan sawit.

Sedangkan saat ini, dana lebih banyak digunakan untuk program subsidi biodiesel dan justru tidak banyak menyentuh petani. Nadia menegaskan moratorium perlu diperpanjang supaya persoalan produktivitas bisa maksimal dan pembagian hasil bagian perimbangan antara pusat dan daerah lebih jelas.

“Pemerintah perlu membuat formula baru untuk memperbaiki kesejahteraan petani sawit,” ujarnya. Studi yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan menemukan penggunaan dana perkebunan sawit belum maksimal menyentuh sasaran. Sehingga tidak bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan petani sawit.

Selain itu perlu perbaikan formula penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani. Sehingga lebih adil dan untuk kesejahteraan petani. Agar tidak hanya menguntungkan pengusaha.

Nadia menambahkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan juga PP Nomor 24 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, disinyalir tidak menjamin masa depan tata kelola sawit lebih baik dan berkelanjutan. PP tersebut merupakan turunan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang terkait setor sawit.

“Peraturan itu memperbolehkan konversi kawasan hutan yang dibuka untuk sawit,” jelasnya.

Dalam UUCK pasal 29 di bagian perubahan Undang-undang Perkebunan disebutkan perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat dua tahun setelah pemberian status hak atas tanah.  Artinya, kata Teguh Surya, pemilik izin perkebunan harus mengusahakan 100 persen lahan sawit dapat ditanami dalam tempo paling lama dua tahun.

Padahal cukup luas hutan di dalam izin sawit yang harus diselamatkan untuk mencegah bencana dan memenuhi komitmen iklim. Sedikitnya terdapat 1,4 juta hektare hutan yang diduga memiliki nilai konservasi tinggi di dalam izin sawit. “Belum lagi masalah izin dan konflik lahan dengan masyarakat yang belum selesai,” kata Teguh.

PP turunan UUCK, katanya, justru mendorong percepatan pembukaan lahan sawit di kawasan hutan. Peraturan menjadi kontradiktif dari perbaikan tata kelola sawit. Sehingga kebijakan moratorium sawit tetap diperlukan untuk menyelesaikan tata kelola lahan.

Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Ambisi terbesar penurunan emisi adalah sebesar 17.2 persen hingga 24,5 persen pada 2030.

Dengan komitmen iklim tersebut, seharusnya memperkuat perpanjangan moratorium sawit. Diperlukan agar ambisi untuk mencapai net zero karbon di sektor kehutanan dan lahan pada 2030 dan agenda Indonesia FOLU 2030 tercapai.

Moratorium sawit Indonesia, katanya, akan memiliki nilai tambah produk sawit berkelanjutan di pasar global. Sedangkan ekspansi perkebunan kelapa sawit ke kawasan hutan bisa ditahan.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim akan membuka peluang strategis perkembangan bisnis sawit berkelanjutan di dunia internasional.