Ilustrasi : Chandra Dwiyanto
Iklan terakota

Terakota.id-Dalam edisi tulisan saya minggu lalu di media ini saya menyebutkan bahwa perjumpaan Hindu dan Buddha di Nusantara dalam wujud penggunaan simbol bersama antara Buddha dan Siwa tidak dapat dimaknai sebagai sebuah sinkritesme kedua agama tersebut. Penggunaan simbol bersama itu merupakan ekpresi penghargaan antar keyakinan dan wujud penghayatan spiritual yang universisal, bahwa manifestasi Yang Agung itu sangat beragam, namun pada hakikatnya satu adanya.

Lydia Kieven adalah salah seorang yang meyakini bahwa perpaduan tersebut bukanlah kepercayaan sinkretistik baru yang mencampur dua agama, sebagaimana tafsir umum dalam tradisi ilmiah yang panjang. Penelitian yang lebih mutakhir tentang pokok ini, kata Kieven dalam Menelusuri Panji di Candi-candi (Gramedia, 2017) telah menolak istilah lama, sinkritisme. Sejalan dengannya, Haryati Soebadio dengan mengacu pada Gonda menggunakan istilah “koalisi” yang berarti Siwaisme dan Buddhisme sama-sama hidup dan dipraktikkan berdampingan. Kedua agama tersebut bertujuan sama, yaitu pembebasan jiwa; cara mencapainya pun serupa, meskipun berbeda dalam hal tertentu.

Teks-teks Jawa Kuno menyebutkan perpaduan kedua simbol agama tersebut. Di antara teks-teks tersebut yang paling terkenal adalah Sutasoma. Kakawin yang ditulis oleh Empu Tantular ini yang menjadikan inspirasi Bung Karno dalam mencetuskan gagasan tentang Pancasila. Disadari atau tidak, bangsa Indonesia berhutang budi terhadap Empu Tantular.

Secara eksplisit kata Pancasila ada dalam Sutasoma 4:5: Yapwan mangkana nitya denta magawe subhiksang jagat, mwang sakweh balayodha yeka warahen ring nitisastran laku, astam sang caturasrameka tarinen ring pancasilakrama, widya mwang brata len tapa nya huningan de sri narendradhipa. Terjemahan Dwi Woro Retno dan Hastho Bramanthyo: Jika kamu tetap melakukannya, kamu akan membuat dunia menjadi sejahtera. Lebih lanjut perintahkan kepada semua bawahanmu untuk mempraktikkan nitisastra; dan sebagai tambahan mintalah kepada semua anggota dari caturasrama untuk melaksanakan Pancasila Buddhis secara teratur. Raja harus senantiasa memiliki pengetahuan agama, puasa, dan laku tapa yang mereka lakukan.

Lima sila dalam ajaran Buddha itu menurut Sri Dhammananda dalam Kayakinan Umat Buddha (Yayasan Penerbit Karaniya, 2007) adalah: (1) Tidak membunuh, mengendalikan kebencian dan mengembangkan cinta kasih; (2) Mengendalikan ketamakan dan mengembangkan ketidakmelekatan; (3) Mengendalikan nafsu indrawi dan mengembangkan rasa kecukupan; (4) Pantang berkata bohong dan mengembangkan kejujuran; (5) Mengembangkan kesadaran dan pantang dari kesenangan mental yang tak bermanfaat.

Slogan “Bhinneka Tunggal Ika” dalam pita yang dicengkeram oleh lambang negara kita, Garuda Pancasila juga meminjam dari teks Sutasoma. Dalam Sutasoma 139:5 disebutkan bahwa Rwaneka datu winuwus wara Buddha Wiswa, bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa. Terjemahan: Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda, namun bagaimana kita bisa mengendalikan perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun pada hakikatnya sama, karena tidak ada kebenaran yang mendua.

Dalam pidato pertamanya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyatakan bahwa sejak tahun 1918 sampai 1945 ia berjuang untuk Weltanschauung itu. Bung Karno juga mengatakan, “Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi Saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada Saudara-saudara. Tetapi saya mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjuangan.”

Juni adalah bulan Bung Karno. Ia lahir dan wafat pada bulan Juni. Pada bulan Juni pula Bung Karno menyampaikan pidato pertamanya tentang Pancasila. Sampai hari ini barangkali belum ada tokoh Indonesia yang menandingi popularitas dan daya tarik Bung Karno. Bung Karno tidak hanya menjadi magnet bagi para pengagumnya, namun juga bagi mereka yang secara politis berseberangan dengannya. Para pengagum Bung Karno tidak hanya orang-orang se-zamannya, namun juga generasi-generasi sesudahnya. Begitu juga lawan-lawan Bung Karno tidak saja datang dari lingkaran waktu yang sama dalam kehidupan Bung Karno, tetapi juga datang dari kalangan mereka yang berbeda jarak waktu yang cukup panjang.

Serangan terhadap Bung Karno pada umumnya yang menyangkut masalah agama dan spiritualitasnya. Bambang Nooersena dalam artikelnya  “Bhinneka Tunggal Ika dan Passing Over Spiritualitas Bung Karno,” menyebutkan bahwa di mata lawan-lawan politiknya di tanah air sendiri, Bung Karno dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang kurang Islami. Mereka, kata Bambang, bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok nasionalis sekuler. Akan tetapi di mata Syekh Mahmud Syaltut dari Kairo, penggali Pancasila itu adalah qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam).

Sampai hari ini pun Bung Karno dicap sebagai representasi kaum abangan, Kejawen, dekat dengan komunisme, dan segala hal yang senantiasa dikontraskan dengan Islam. Mereka yang beranggapan demikian justru kebanyakan malah dipertanyakan pemahamannya terhadap Islam, setidaknya jika dibandingkan dengan intelektualitas Bung Karno dalam memahami Islam. Sepanjang hayatnya Bung Karno adalah seorang yang haus akan ilmu pengetahuan, termasuk agama. Bung Karno dalam banyak tulisannya memang menolak pemahaman yang sempit terhadap agama.

Dalam suratnya yang ditulis di Ende, 18 Agustus 1936 Bung Karno menyatakan bahwa kita royal sekali dengan perkataan kafir, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap kafir. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; pantalon dan dasi dan topi kafir; sendok dan garpu kafir dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; ya bergaulan dengan bangsa yang bukan Islam pun kafir!

Dalam banyak tulisannya yang bertebaran di sejumlah koran dan surat-suratnya pada saat itu, tampak sekali betapa Bung Karno memiliki wawasan yang sangat luas tentang Islam. Dalam suratnya yang ditulis di Ende, 25 November 1936 Bung Karno menulis, “Buku-buku Muhammadiyah, buku-kuku Persatuan Islam, buku-buku penyiaran Islam, buku-buku Ahmadiyah, buku-buku dari India dan Mesir, dari Inggris dan Jerman, tafsir-tafsir bahasa Belanda dan Inggris, buku-buku dari lawan Islam (Snouck Horgronje, Arcken, Dozy Hartmann, dan sebagainya), buku-buku dari orang-orang bukan Islam tetapi yang simpati dengan Islam, semua itu menjadi bahan bagi saya. Ada beberapa ratus buku yang saya pelajari itu. Itulah satu-satunya jalan yang memuaskan kepada saya di dalam studi saya itu.”

Terhadap Ahmadiyah, sebuah sekte Islam yang berpusat di Inggris, yang saat ini paling banyak mendapatkan persekusi di Indonesia, Bung Karno menulis, “Mengenai Ahmadiyah, walaupun beberapa pasal di dalam visi mereka saya tolak dengan yakin, toh pada umumnya ada “features” mereka yang saya setujui: rasionalisme mereka, kehati-hatian mereka terhadap hadis, mereka punya steven Quran saja dulu, mereka punya systematische anemelijk making van den Islam. Buku-buku seperti Het Evangelie van den daad tidak ayal saya menyebut brilian, berfaedah sekali bagi semua orang Islam. ….. Saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari tulisan mereka yang rasional, modern, broadminded, dan logis itu.”

Dalam tiap pidatonya di depan publik, Bung Karno selalu mengedepankan penghayatan spiritualitas dibandingkan dengan formalitas agama. Bung Karno tak segan-segan mengritik praktik keagamaan yang hanya menonjolkan baju dibandingkan dengan pemahaman isinya. Saat memberikan amanat dalam peringatan Nuzulul Quran di Istana Negara, 10 Januari 1966 Bung Karno mengutip pendapat Khwaja Kamaluddin, Islam, Evangeli van de Daad. Dalam buku tersebut Khwaja berbicara tentang surga dan neraka.

Kata Bung Karno, “Jangan mengira, bahwa yang satu hari suntuk sampai jauh malam cuma putar tasbih saja, bahkan orang itu pasti akan masuk surga. Jangan mengira bahwa orang tekun bersholat, bahwa dia pasti masuk surga. Tergantung dari amalanya yang lain-lain. Meskipun dia tekun bersembahyang lima waktu tiap hari, meskipun dia, kata orang Jawa, jengkang-jengking lima waktu satu hari, jikalau amalnya tidak baik, ia tidak akan mendapatkan pahala surga.”

Keunggulan spiritualitas Bung Karno, menurut Th. Sumarthana terletak pada kenyataan bahwa ia menyadari keterbatasan dari bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang menggejala di masyarakat serta melakukan fungsi-fungsi yang amat unik yang tak tergantikan oleh lembaga lain. Kelonggaran ini memberi peluang bagi penganut agama yang berbeda untuk saling memperkaya, dan terutama untuk saling membuka kemungkinan untuk bekerja sama di masyarakat guna memecahkan soal-soal kemanusiaan bersama.

Bung karno yang lahir di Surabaya 1901 itu meninggal di Jakarta pada 21 Juni 1970. Jasad Bung Karno, sebagaimana wasiatnya kepada keluarganya, hendak dimakamkan di Batu Tulis, Bogor, namun Soeharto berkehendak lain. Bogor dianggap terlalu dekat dengan Jakarta. Jika Bung Karno dimakamkan di sana, dikhawatirkan memiliki dampak negatif terhadap pemerintah Orde Baru. Bung Karno akhirnya dimakamkan di tempat asal orangtuanya, kota Blitar.

Sebagaimana ditulis oleh Agus Sudibyo dalam “Desoekarnoisasi: Delegitimasi yang Tak Tuntas” (Dialog dengan Sejarah: Seratus Tahun Soekarno, Kompas 2001) bahwa Soeharto tampak hari-hati dan memperhitungkan benar dampak keputusan yang diambilnya pada momentum Soekarno. Soeharto sadar masyarakat masih banyak yang mengidolakan Soekarno, dan dalam kondisi seperti ini, mengontrol secara ketat proses pemakaman Soekarno dapat menimbulkan gejolak yang tidak menguntungkan. Prioritas Soeharto, kata Agus, lebih pada upaya menghindari situasi eksplosif yang bisa muncul akibat suasana emosional di kalangan pendukung Soekarno.

Agus Sudibyo juga menyoroti artikel Nugroho Notosusanto di harian Sinar Harapan, 3 Agustus 1981. Nugroho menyatakan bahwa Soekarno bukan orang pertama yang merumuskan prinsip Pancasila. Menurut Nugroho, perumus utama Pancasila adalah Muhammad Yamin, Supomo, baru kemudian Soekarno. Menurut Nugroho, peran Soekarno hanyalah dalam hal merumuskan istilah Pancasila. Bertolak dari premis itu, Nugroho juga menggugat keabsahan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila.

Seraya mengutip pendapat Brooks, Sudibyo menulis bahwa tindakan Nugroho tersebut mendapatklan restu pemerintah Orde Baru. Soeharto menghapus peringatan lahirnya Pancasila pada 1 Juni dan melarang semua kegiatan pada tanggal tersebut. Konsolidasi politik pasca G30S/1965 bukan hanya dilakukan dengan membersihkan tubuh birokrasi dan militer dari unsur-unsur PKI dan simpatisannya, namun juga unsur-unsur Soekarnois. Jadi jika pada saat ini berseliseran di media sosial dan media masa tentang penolakan terhadap 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila sebenarnya sangat mudah dirunut sumbernya, dan dari golongan mana mereka berasal.

Secara fisik Bung Karno telah tiada, namun tak seorang pun bisa menenggelamkan nama Bung Karno dengan segala macam caranya. Seperti Pangeran Sutasoma yang rela menyerahkan dirinya untuk dikorbankan demi 100 raja tetap hidup, itulah prinsip Bung Karno. Bambang Noorsena menceritakan suatu malam di tahun 1962 bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah bermandikan cahaya purnama, usai pementasan wayang, sambil menghampiri I Nyoman Grayam, seorang dalang dari Sukowati, Bung Karno berkata, “Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi.” Wayang tersebut mengambil lakon Purusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan lakon Sutasoma. Bung Karno, kata Bambang, menyitir ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan’ Nanging hana pamintaku uripana sahananging ratu kabeh (Tetapi permohonanku, hidupkanlah raja-raja itu semua).

Orang bisa berdebat tentang kapan Pancasila lahir, dan seberapa besar peran Bung Karno sebagai pencetus Pancasila. Namun yang tak pernah bisa diingkari adalah Pancasila selalu erat dengan nama Bung Karno. Bukan berarti sejarah Pancasila tidak penting, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana kita bisa memaksimalkan pengalamalan Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Merasa diri yang paling memiliki Pancasila dan yang paling Pancasilais justru akan merusak hati kita sendiri.

Akhirnya, perlu untuk direnungkan pesan spiritual Sutasoma berikut ini: Makin amuwuhi lengleng ning buddhyamuwuhi peteng, tekap ing pangamuk ing sadsatrwagong ibek i dalem, ri yawa mada tumandang sakweh ning trimala dateng, teka sumaput ing ambek trsnangrug yasa kawikun (Sutasoma 146:3). Terjemahan: Kemurkaan enam macam musuh di dalam hati menambah jerat nafsu di dalam hati, sehingga bertambah gelap gulita. Di luar hal itu membuat mabuk panca indra dan membawa tiga noda (lobha, dwesa, moha) dalam berbagai manifestasinya. Yang akan menutupi pikiran dan kelekatan yang akan menghancurkan jasa kebajikan.