Terakota.id—Dua hari menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-74, tepat 15 Agustus 2019, film Bumi Manusia dirilis. Kini, sehari menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke 75, kami menontonnya ramai-ramai–lalu mendiskusikannya.
Durasi film lumayan panjang, lebih panjang dari pertandingan sepakbola. Tapi tetap saja jauh lebih pendek dibanding durasi waktu yang dibutuhkan jika kita membaca novelnya. Novel yang saking tebalnya, mungkin tak akan rampung dibaca dalam sehari semalam tanpa jeda. Bahkan memakan waktu berhari-hari bagi orang seperti saya yang lebih suka membaca pelan dibandingkan membaca cepat.
Betul bahwa kini dunia tengah berlari dengan adanya perkembangan teknologi dan informasi, namun, saya kira, kita tak perlu latah ikut kursus membaca cepat untuk bisa melahap banyak buku dalam sekali duduk. Kecuali jika Anda seorang Presiden yang supersibuk— sampai-sampai tak punya cukup waktu untuk membaca dokumen-dokumen penting yang harus ditandatangani—lebih baik anda ikut kursus membaca cepat daripada ruwet, karena menandatangani tapi tak tahu apa isi dokumennya.
Film hasil alih wahana dari sebuah novel Bumi Manusia ini kami menonton di sebuah kedai kopi, Mucoffee. Berlokaasi di jalan Salak 60B, Kota Madiun. Meski suudah cukup lama saya merampungkan novel Bumi Manusia, tapi baru malam itu saya menonton filmnya. Pada menit-menit akhir film, menjelang perpisahan tragis antara dua sejoli: Minke dan Annelis, saya tidak hanya menonton film, namun juga melihat wajah-wajah penonton. Ada yang tegang, membeku, dan ada yang mengenang, tergambar di mata mereka.
Ekspresi yang lumrah bagi siapapun yang berpikiran waras dan berperasaan. Mungkin, jika diberi kesempatan, mereka akan memaki sebagaimana Darsam, orang Madura dan pengawal setia Nyai Ontosoroh (Ibu Annelis), memaki kolonialis Belanda yang telah merampas semua yang dipunyai Nyai Ontosoroh: Anak, harta benda, rumah, dan tanah—dengan makian: Jancok. Dan makian semacam itu, saya kira, jauh lebih sopan daripada sebutan “monyet” yang disematkan penjajah Belanda kepada kaum pribumi, termasuk terhadap Minke.
Sesuai novelnya, film ini bersetting medio 1904-1906. Kala itu, meminjam judul buku Max Lane, Indonesia tidak hadir di Bumi Manusia. Pekik NKRI Harga Mati tentu saja belum terdengar. Dibayangkan saja belum. Boedi Oetomo, Muhammadiyah, NU juga belum ada. Sedangkan pemerintah Hindia Belanda sedang kuat-kuatnya mencengkeram. Artinya, ketika itu belum ada persatuan antar bangsa di Hindia Belanda, organisasi modern maupun organisasi politik, yang dibentuk untuk melawan penjajahan. Sehingga, bisa dikatakan, embrio pergerakan kemerdekaan melalui organisasi politik bisa ditemukan dalam film ini.
Seorang pribumi, tokoh utama film, bernama Minke mempelopori perlawanan dan menunjukkan kemarahannya terhadap watak menindas kaum kolonial melalui tulisan dan surat kabar. Yupi Apridayani, jurnalis Times Indonesia yang menjadi salah satu pembicara di sesi diskusi, mengatakan bahwa sosok Minke merupakan representasi dari Tirto Adhi Soerjo. Pribumi yang membidani kelahiran koran pertama berbahasa melayu yang dikelola pribumi di Hindia Belanda. Sekaligus menjadi alat perjuangan.
“Bisa dikatakan, korannya waktu itu adalah koran advokasi,” kaya Yupi menerangkan. Tulisan, kita tahu, memang punya tenaga luar biasa untuk menyebarkan gagasan, membuatnya berkecambah di kepala banyak orang, dan pada saatnya, akan mampu memengaruhi tindakan. Perintis kemerdekaan bangsa ini telah mengajarkannya dengan menulis dan membuat surat kabar.
HOS. Tjokroaminoto merupakan Pemimpin Redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa. Kiai Hadji Misbach atau Hadji Merah menerbitkan Medan Moeslimin pada 1915 dan Islam Bergerak pada 1917. Semaoen, pada usia 18 tahun, memimpin Sinar Djawa dan berubah menjadi Sinar Hindia. Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo juga menahkodai De Express untuk perjuangan. Soekarno mendirikan Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat. Moh. Hatta dibantu Sjahrir menerbitkan majalah Daulat Ra’jat. Mas Marco Kartodikromo, pada 1914 mendirikan Doenia Bergerak dan perhimpunan jurnalis Inlandsche Journalisten Bond (IJB).
Tirto Adhi Soerjo, turut mengilhami Pramoedya Ananta Toer menulis tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. Pram menyebutnya sebagai Sang Pemula. Karena dia yang menabur benih perjuangan melalui pers, dan lalu diikuti oleh tokoh-tokoh pergerakan sesudahnya.
Dalam film, kita bisa menonton seorang pemuda, Minke, yang marah dan kecewa, menenggelamkan diri di hadapan mesin tik, lalu terbitlah tulisan yang mengutuk kebusukan hukum kolonial. Hukum kolonial membuatnya kehilangan istri yang dicintainya, Annelis, karena perbedaan kasta antar keduanya. Di tubuh Annelis mengalir darah Eropa bapaknya, sementara Minke tidak. Ia pribumi kelahiran Blora.
“Hukum kolonial waktu itu memang menempatkan pribumi sebagai kasta paling rendah setelah Eropa dan Timur Jauh,” kata Founder Madiun Muda, Pandu Dewanata. Salah satu pembicara dalam nobar dan diskusi Bumi Manusia. Ia meneropong Bumi Manusia dari sisi hukum.
Waktu pertama kali fim ini diluncurkan, pengagum Pramoedya dan Bumi Manusia banyak yang jengkel. Pasalnya, Hanung Bramantyo, sutradara Film Bumi Manusia, mengatakan bahwa Bumi Manusia bercertia tentang percintaan dua anak muda. Hanung tidak sepenuhnya salah, juga tidak sepenuhnya benar.
Saya kira, kisah percintaan Minke dan Annelis yang mengaduk emosi akan terasa biasa jika tanpa latar dan konflik seputar kolonialisme. Justru di sinilah kekuatan Pram. Ia mampu menghadirkan kisah cinta yang subversif: tetap romantis namun menyimpan bara kritik terhadap kolonial di dalamnya. Sampai-sampai, Orde Baru ketakutan terhadap novel ini dan meresponnya dengan membredel bukunya dan memenjarakan siapapun yang menyimpan dan membacanya.
Bahkan, salah satu narasumber diskusi lainnya, Fileski atau Tanjung Files—penyair dan penulis asal Madiun—menyejajarkan karya Pram ini dengan kisah cinta Romeo dan Juliet. Baginya, kisah cinta dalam Bumi Manusia dan Rome dan Juliet sama-sama romantis dan tragis . Karena terhalang kasta dan status. Hanya saja penggarapannya yang berbeda.
Sebenarnya, saya ingin mendengarkan ketiga narasumber dalam acara “Nobar dan Diskusi: Bumi Manusia” ini lebih lama lagi. Cerita yang bagus selalu menarik dibicarakan, dan waktu akan terasa pendek karenanya. Sayangnya, malam semakin gelap, dan Covid-19 membuat batas yang tak bisa ditawar. Diskusi pun terpaksa berakhir sebelum mencapai klimaks.
Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict