Sampul Buku "Merawat Tradis dan Kearifan Budaya: Narasi Kisah-kisah Nyata Seputar Seni Budaya, Tradisi Lokal, dan Sejarah"
Iklan terakota

Terakota.id–Tak ada yang tak berubah di bawah kolong langit. Zaman senantiasa bergerak. Saban hari, waktu menerjang, menyeret, dan membawa kita masuk ke dalam lorong perubahan. Karenanya, sejarah peradaban umat manusia merupakan sejarah akan perubahan dan penyesuaiannya. Ada kalanya perubahan itu berlangsung gradual, adakalanya perubahan itu berlangsung cepat. Terkadang, perubahan itu memunculkan tegangan, dan terkadang juga tidak.

Dan kini, kita memasuki abad yang disebut oleh banyak kalangan sebagai abad informasi-teknologi. Revolusi industri keempat tengah berlangsung, mau tidak mau, suka tidak suka, kita terpapar dampaknya. Revolusi industri keempat ini ditandai dengan perkembangan teknologi informasi-komunikasi yang mencengangkan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI), perkembangan robotika, perkembangan jaringan internet, realitas dunia maya, dan lain sebagainya.

Di hadapan perkembangan teknologi-informasi ini, kita seolah diajak berlari. Karena, kecepatan adalah kunci. Yasraf Amir Piliang, mengatakan bahwa di era informasi-digital seakan kehidupan berjalan melalui model temporalitas dramaturgi tanpa kedalaman, yang mengandalkan pada kecepatan informasi. Di dalamnya, paket-paket komunikasi ”ringkas”, ”hemat”, ”cepat saji”, dan tak rumit lebih mendominasi.

Teknologi informasi-komunikasi bukan sekadar alat yang mempercepat pemerolehan informasi. Menurut Antony Giddens, ia juga berperan mengubah seluruh hidup kita sampai sekecil-kecilnya. Termasuk dalam hal selera, kesadaran, gaya hidup, dan cara berkomunikasi. Bisa dibayangkan, seorang anak yang berada di desa, karena seringnya “diteror” oleh paparan gaya hidup anak perkotaan yang dianggap lebih modern, lebih gaul, dan lebih bergengsi, mulai berfikir meniru. Padahal, latar dan ruang sosial antara desa dan kota amatlah berbeda. Kecepatan perubahan ini, juga seringkali menciptakan tegangan sosial bahkan berujung konflik. Tegangan antara kehadiran jasa transportasi yang didukung dengan aplikasi canggih dengan transportasi konvensional, adalah salah satu contohnya.

Perubahan teknologi informasi-komunikasi juga berimbas pada media massa. Media massa yang awalnya dalam bentuk konvensional atau analog, bertransformasi ke dalam bentuk digital. Transformasi ini berwatak ganda. Satu sisi, ia berdampak pada kecepatan pemerolehan informasi, sebaran yang lebih meluas, memungkinkan jalur komunkasi timbal balik, dan lain sebagainya.

Sedang di sisi lain, ciri khas produk teknologi di era ini adalah menawarkan produktivitas, efisiensi, kecepatan, tidak menawarkan kedalaman, dan lintas batas. Pada gilirannya, media massa menjelma pabrik informasi yang secepat mungkin dialirkan dan sebanyak mungkin beroleh penonton. Penonton di sini dalam artian umum; termasuk pendengar dan pembaca. Para penonton inilah sebenarnya komoditas mereka yang akan dijual kepada konsumen. Siapa konsumennya? Para pengiklan. Kualitas dan kedalaman informasi tidak lagi utama. Yang terpenting adalah kecepatan dan bagaimana menggaet sebanyak mungkin”sumber daya penonton,” rating dan click bite adalah dewa.

Meski teknologi informasi-komunikasi telah demikian menerjang batas, tidak demikian dalam hal industrinya. Industri media online misalnya, tetap dikuasai oleh para konglomerat. Sebagaimana laporan Tirto.id yang merujuk pada riset Ross Tapsell. Bahwa terdapat delapan “konglomerat digital” di Indonesia. Mereka adalah CT Corp milik Chairul Tanjung; Global Mediacom milik Hary Tanoesoedibjo; EMTEK milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja; Visi Media Asia milik Bakrie Group; Media Group milik Surya Paloh; Berita satu Media Holding milik Keluarga Riady; Jawa Pos milik Dahlan Iskan; dan Kompas Gramedia milik Jakoeb Oetama. Hal senada dikatakan Agus Sudibyo (2009) dalam bukunya, Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media. Menurutnya, sejauh ini surplus ekonomi dalam bisnis media hanya dinikmati para pebisnis Ibu Kota.

Di tengah situasi seperti ini, pada Desember 2016, Terakota.id lahir. Di bawah payung keniscayaan perubahan yang bisa jadi akan menggilas, menggerus, mentransformasikan, atau melenyapkan tradisi, dan kearifan budaya, Terakota.id justru mendeklarasikan diri untuk fokus pada sejarah, seni-budaya, wisata dan kuliner. Kecepatan tidak menjadi yang utama, tapi juga tidak melupakannya. Terakota.id lebih berusaha mengejar penyajian dalam bentuk laporan yang khas dan mendalam, dengan didukung foto, grafis, dan video.

Agus Sudibyo (2009:231), mengatakan bahwa dalam praktiknya kaidah dan nilai jurnalistik dapat terjerumus dalam problem logosentrisme. Ketika kaidah dan nilai jurnalistik bertendensi menyeragamkan kriteria yang relevan, menarik, dan penting untuk diberitakan, pada saat itulah kiranya logosentrisme beroperasi. Tanpa disadari, logosentrisme jurnalistik ini secara tidak langsung menyubordinasikan keragaman, multiplisitas, dan kompleksitas yang justru menjadi ciri realitas. Lebih banal lagi, industri media dapat terjerumus melakukan kekerasan simbolik dalam bentuk reduksi dan penyeragaman selera khalayak secara sepihak dengan mengabaikan realitas-realitas “marginal.”

Kini, berselang satu tahun, Terakota.id menerbitkan sebuah buku bertajuk “Merawat Tradisi dan Kearifan Budaya: Narasi Kisah-kisah Nyata Seputar Seni Budaya, Tradisi Lokal, dan Sejarah.” Buku ini merupakan karya jurnalistik yang mengupas Malang Raya dari segi sejarah, seni-budaya, dan wisata. Kekayaan tradisi dan kearifan budaya, bisa jadi akan lindap di tengah percepatan perubahan. Namun, dengan kerja dokumentasi, sangat mungkin ia akan abadi. Setidaknya, dapat dibaca oleh generasi yang terpaut jarak dan waktu.

Buku setebal 164 halaman ini dibagi dalam 6 bab. Bab I bertutur mengenai apa-apa yang terjadi di lereng gunung. Bab II, merekam siapa dan peristiwa apa yang masuk dalam pusaran sejarah nasional. Bab III, mengulas mengenai kearifan lokal. Bab IV, berisi hikayat-hikayat. Bab V, menuliskan sosok-sosok lokal yang berkontribusi pada seni-budaya. Bab VI, menggugat tentang lokasi, peristiwa, bangunan, seni tradisi, dan sosok yang sejauh ini “tersisihkan” oleh narasi yang dibangun oleh kekuasaan. Begitulah bab demi bab disajikan.

Risalah ini tak mungkin hadir tanpa dukungan semesta. Terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung atas terbitnya buku ini. Penerbit Intrans Publishing yang telah bersedia bekerjasama dalam menerbitkan dan mendistribusikannya ke toko-toko buku di Indonesia. Para narasumber yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam diskusi yang hangat. Para teman-teman jurnalis dan akademisi yang banyak membantu menginformasikan hal-hal menarik seputar Malang Raya. Dan tentu masih banyak pihak yang pada mereka kami berhutang budi untuk terus menulis.

Kurang lebih satu tahun usia Terakota.id. Buku perdana ini kado ulang tahunnya. Dengan segala keterbatasan, semoga buku ini dapat menantang setidaknya terhadap tigal hal. Pertama, dunia yang dikejar oleh perubahan dengan revolusi teknologi informasi-komunikasi. Termasuk media massa. Kedua, konglomerasi media oleh segelintir orang, para konglomerat. Dan Ketiga, logosentrisme jurnalistik yang tanpa sadar mengabaikan lokalitas, pinggiran, tradisi, dan mereka yang disisihkan dan dikalahkan.