
Terakota.id—Kota Malang memiliki banyak bangunan tua dan bersejarah yang dibangun pada era Kolonial Belanda. Salah satunya “Buk Gluduk” terletak di Jalan Gatot Subroto Kota Malang.
Ada dua versi mengenai penamaan lokasi “Buk Gluduk”. Versi pertama adalah ‘Jembatan Kereta Api’ yang menghubungkan antara Stasiun Kota Baru dengan Stasiun Kota Lama, dan melintang diatas pertemuan Jalan Gatot Subroto, Jalan Trunojoyo, Jalan Panglima Sudirman, dan Jalan Untung Suropati Selatan Kota Malang. Versi kedua ‘Jembatan Brantas’ berada di Jalan Gatot Subroto Kota Malang. Menghubungkan antara Kelurahan Kesatrian dengan Kelurahan Jodipan. Jembatan Brantas ini berada di atas Sungai Brantas yang memisahkan kedua kelurahan tersebut.
Walikota Malang mengeluarkan Surat Keputusan yang menetapkan “Buk Gluduk” – Jembatan Kereta Api sebagai Bangunan Cagar Budaya pada 12 Desember 2018. Penetapan ini dapat dilihat di salah satu kaki penyangga jembatan berupa prasasti yang menempel pada dinding dan bertuliskan : STRUKTUR BUK GLUDUK.
Buk Gluduk terbentang mulai ujung timur Stasiun Kotabaru (yang mulai dibangun pada tahun 1941), melintang di atas pertemuan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Panglima Sudirman. Buk Gluduk ini menjadi media penghubung lewatnya kereta api dari arah Stasiun Kotabaru ke Stasiun Kotalama, atau sebaliknya.

Surat Keputusan berupa Penetapan Status Cagar Budaya ini dikeluarkan Walikota Malang berdasarkan rekomendasi dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. Tetapi apakah sudah benar penetapan lokasi atau yang disebut “Buk Gluduk” adalah Jembatan Kereta Api yang berada di pertemuan Jalan Gatot Subroto, Jalan Trunojoyo, Jalan Panglima Sudirman, dan Jalan Untung Suropati Selatan mengingat adanya dua versi penamaan yang ada?
Untuk itu penulis mengumpulkan data sejarah dan wawancara terhadap beberapa warga asli Kota Malang yang rumahnya berdekatan dengan lokasi “Buk Gluduk”, dan diharapkan mengetahui tentang kesejarahan “Buk Gluduk”.
Buk Gluduk Menurut Warga Kota Malang
“Buk Gluduk adalah jembatan yang di atas sungai Brantas. Masa kecil saya sering bermain disana. Terutama di ujung sebelah selatan jembatan, di pojok antara Jalan Gatot Subroto dan Jalan Aris Munandar. Dulu itu tanah kosong sebelum sekarang jadi tempat sampah. Kalau jembatan kereta api tidak pernah ada namanya. Di sana disebut pereng (lereng, tanah yang landai/miring). Saya ke pereng untuk bermain bola karena di sana ada lapangan luas,” kata Rusli Iskandar, 52 tahun, warga Jalan Aris Munandar Gg. 7A/18, Klojen, Kota Malang.
“Sewaktu saya masih kecil, saya sering bermain di sungai di bawah Jembatan Brantas. Jembatan ini sejak dulu disebut dengan nama Buk Gluduk. Bukan seperti yang tertulis di banyak media online saat ini yang menyebut Jembatan Kereta Api sebagai Buk Gluduk. Jika musim hujan tiba, saya sering bermain perosotan di kampung yang sekarang disebut sebagai Kampung Biru Arema,” ujar Alfan Effendi, 62 tahun, Jalan Aris Munandar Gg. 7A/814, Klojen, Kota Malang.

“Saya lahir di Temenggungan tahun 1950. Saya tahunya yang disebut Buk Gluduk itu ya Jembatan Brantas. Begitu pula sejak jaman orang tua saya. Saat saya masih kecil belum banyak rumah di sekitar Buk Gluduk. Kalau yang sekarang menjadi Kampung Biru Arema memang sudah ada penduduknya. Jalan Aris Munandar dulu namanya Temenggungan Kulon atau Klojen Kidul. Antara ANIEM sampai Buk Gluduk belum ada rumah, masih tanah kosong. Satu-satunya rumah hanya milik Kyai Sidik, pendiri Madrasah Ibtidaiyah Nurul Islam. Kampung Warna Warni dan Kampung Tridi juga masih tanah kosong belum ada penduduknya. Di Temenggungan Ledok (sekarang Kampung Tridi) ada bangunan yang bernama “Kongsen”, yang ditempati oleh para pegawai PJKA. Semakin lama banyak rumah didirikan disekitarnya. Kami menyebutnya sebagai “Rumah 33”. Angka 33 adalah angka kode untuk tokoh/figur ‘Pengemis’ di dalam ‘Buku Seribu Tafsir Mimpi’ yang biasa dipakai sebagai panduan bagi orang untuk bermain ‘Togel’ atau ‘Nomor Buntut’. Disebut demikian karena rumah-rumah tersebut memang ditinggali oleh para pengemis dan kondisi rumahnya tidak layak huni,” tutur Solikin, 72 tahun, Jalan Aris Munandar, Klojen, Kota Malang.
“Saya lahir dan menjalani masa kecil saya di Temenggungan. Bersama teman-teman sebaya, saya sering bermain di Sungai Brantas, persis di bawah Jembatan Brantas. Warga kampung sini menyebut jembatan ini dengan nama Buk Gluduk. Kalau jembatan kereta api tidak ada namanya,” kata CEO Mooiiindie Communication, Yosoft.
Buk Gluduk dan Kesejarahannya
Menurut keterangan dari narasumber yang juga merupakan warga asli Kota Malang, nama “Buk Gluduk” diambil dari suara menggeluduk yang timbul ketika ada kendaraan melintas diatas Jembatan Brantas. Suara tersebut timbul karena pada pembangunan awal jembatan ini lantainya menggunakan material papan kayu.
“Buk” adalah bahasa Jawa yang merupakan serapan dari bahasa Belanda “Brug”, yang artinya “jembatan”. “Buk” juga adalah bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti “tembok rendah”. “Buk” seringkali dipakai masyarakat Jawa dalam menyebut “tembok rendah” yang ada di setiap ujung jembatan.
Sejarawan Malang M. Dwi Cahyono dalam bukunya yang berjudul “Wanwacarita : Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang”, 2013 : 22, menjelaskan : “Pada mulanya dilakukan revitalisasi terhadap jembatan Brantas yang memotong koridor Claket.
Jembatan Claket menjadi penghubung sub-area utara dan tengah Kota Malang. Lokasi jembatan bersebelahan dengan loji Belanda pertama (dibangun 1767) di utara Brantas. Relatif bersamaan waktu dengan itu dibangun sebuah jembatan panjang, yang boleh jadi mulanya berupa jembatan kayu. Ketika kendaraan beroda kayu, seperti pedati (cikar glodak) dan dokar melintas, timbul suara “gluduk-gluduk”. Onomatopae itulah yang menjadi latar penamaan bagi jembatan (buk) ini, yakni Buk Gluduk”.
Pada prasasti penetapan cagar budaya tertulis “Buk Gluduk terbentang mulai ujung timur Stasiun Kotabaru (yang mulai dibangun pada tahun 1941), melintang di atas pertemuan Jalan Gatot Subroto dan Jalan Panglima Sudirman. Buk Gluduk ini menjadi media penghubung lewatnya kereta api dari arah Stasiun Kotabaru ke Stasiun Kotalama, atau sebaliknya”.
Hal ini perlu diluruskan karena dapat menyebabkan pengaburan sejarah. Stasiun Malang diresmikan pada tanggal 20 Juli 1879 oleh Gubernur Jenderal Mr. J. W. van Lansberge bersamaan dengan peresmian jalur kereta api lintas Surabaya – Pasuruan – Malang sepanjang 112 kilometer yang dibangun oleh perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS).
Pada saat itu Stasiun Malang masih menghadap ke arah timur dan berada di sebelah timur jalur kereta api. Untuk menyesuaikan perkembangan Kota Malang yang mengarah ke arah barat setelah status Malang naik menjadi Gementee dan kemudian menjadi ibukota Karesidenan Pasuruan pada 1914, maka pada 1927 dibuatlah gagasan pemindahan stasiun ke sebelah barat jalur kereta api.

Pemerintah Hindia Belanda menyetujui gagasan tersebut pada tahun 1930. Namun rencana tersebut tidak dapat terealisasi karena pada 1930-an lantaran terjadi malaise (krisis ekonomi). Baru pada 1938 Gementee Malang dan SS sepakat memindahkan Stasiun Malang. Stasiun baru selesai dibangun pada 1941, desain dirancang oleh J. van dr Eb seorang kepala teknisi SS.
Stasiun Malang Kota Lama dibangun bersamaan dengan penambahan jaringan kereta api lintas Malang – Kepanjen oleh Staatssporwegen (SS). Jalur Malang – Kepanjen dengan panjang 19 kilometer ini merupakan bagian dari lanjutan eksploitasi SS untuk menghubungkan Malang dengan Blitar. Untuk menghubungkan Stasiun Malang dengan Stasiun Malang Kota Lama dibangunlah beberapa Jembatan Kereta Api karena melintasi jalan dan sungai. Stasiun dan jaringan ini diresmikan pada 5 Januari 1896.
Saran
arena Pemerintah Kota Malang telah memakai nama “Buk Gluduk” untuk menetapkan ‘Jembatan Kereta Api’ yang berada di pertemuan Jalan Gatot Subroto, Jalan Trunojoyo, Jalan Panglima Sudirman, dan Jalan Untung Suropati Selatan Kota Malang sebagai Bangunan Cagar Budaya, dan ternyata berdasarkan dari informasi masyarakat asli Kota Malang yang masih mengingat dan mengalami penyebutan nama “Buk Gluduk”, serta data kesejarahan yang terkait dengan “Buk Gluduk”, maka ada beberapa saran yang bisa dilakukan :
- Prasasti penetapan cagar budaya yang berada di ‘Jembatan Kereta Api’ dipindah ke ‘Jembatan Brantas’ dengan koreksi narasi yang disesuaikan, atau
- Prasasti penetapan cagar budaya yang berada di ‘Jembatan Kereta Api’ tetap keberadaannya dengan koreksi narasi yang disesuaikan, dan menambah satu lagi prasasti penetapan cagar budaya pada ‘Jembatan Brantas’.
- Pada prasasti penetapan cagar budaya yang berada di ‘Jembatan Kereta Api’ bisa menggunakan nama asli yang diberikan oleh pemeritah Hindia Belanda yaitu “Spoor Viaduct”, dan pada ‘Jembatan Brantas’ menggunakan nama “Brantas Brug”.
Sebenarnya dari penamaan ini sudah dapat diketahui bahwa “Brantas Brug” yang disebut warga Kota Malang sebagai “Buk Gluduk” (Brug menjadi Buk), bukan “Spoor Viaduct”.
Penulis berharap Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang dapat melakukan kajian ulang terhadap penamaan dan penetapan cagar budaya “Buk Gluduk” ini.
Salam Lestari Budaya,

*Presidium Sejarah Jatim
[…] source […]