Bu Prapti, Seorang Laskar Perempuan Di Kancah "Perang Mempertahankan Kemerdekaan RI" Kawasan Malang

bu-prapti-seorang-laskar-perempuan
Gerilyawan perang kemerdekaan di Malang saat agresi militer Belanda. Salah satunya laskar perempuan.
Iklan terakota

Kisah seorang pejuang wanita

mempertaruhkan jiwa dan raganya

memperjuangkan segala cita-cita

demi Islam mulia

 

Satu tekad dan sejuta harapan

meyakini dan mengharap ridhoNya

cobaan dan rintangan yang selalu dihadapi

mati syahid atau hidup mulia

 

Berjuanglah generasi Islam

buktikanlah kita mampu

mengemban amanah selaku khalifah

dan juga sebagai hambaNya

 

Bangkitlah dari lamunan

singkirkan juga segala kemalasan

Allah menyaksikan inilah perjuangan

sampai ajal kan datang

(Lirik lagu “Pejuang Wanita” oleh : El Banat, publikasi: 12 Desember 2017, album “Remaja Jatuh Cinta”, didistribusi Diaz Musikindo)

Siapakah Jatidiri Laskar Perempuan ini?

Terakota.idAdakah sahabat yang bisa membantu untuk identifikasikan seorang “lakskar prrempuan” dalam Perang Pertahankan Kemerdekaan RI di areal.juang Malang Selatan pada 1947 — sebagaimana tertera di dalam foto dokumenter ini (sosok paling kanan pada foto)? Pada foto tersebut, terlihat seorang wanita bertubuh “vitalis”, dan uniknya di medan juang beliau mengenakan busana khas Jawa — berkebaya dan berkain panjang, dan dengan rambut panjangmya digelung rapi.

Perempuan pejuang ini terlihat berpose (di depan kamera) sambil menenteng senjata. Berada diantara tujuh orang pejuang pria. Suatu gambaran tentang bukti kehadiran wanita di kancah “Perang Mempertahankan Kemerdrkaan Republik Indonesia (RI) tahun 1945 – 1948) di Malang. Kala itu gerilyawan pejuang berbasis di Malang Selatan, yakni Turen dan sekitarnya.

Siapakah jatidiri dari salah seorang Lasykar atau Laskar Pejuang Perempuan itu? Sosok Beliau sontak mengingatkan saya kepada tokoh perempuan di dalam wiracarita “Mahabharata”, yang turut terjun ke palagan Perang Bharattayuddha di Kuruksetra, bahkan dikisahkan sebagai mahir dalam memanah — lantaran Ia pernah diajari memanah oleh Arjuna, yaitu “Srikandi”.

“Sapta Srikandi” sebagai Lasykar Pejuang

Boleh jadi, beliau adalah salah seorang dari tujuh orang “Srikandi”, yakni suatu sebutan bagi kesatuan laskar pejuang perempuan di Malang Raya kala itu. Lantaran terdapat tujuh orang perempuan yang tangguh, ketujuh laskar perempuan itu diberi sebutan “Sapta Srikandi”. Sebutan tersebut kala itu demikian dikenal.Bukan saja popular di area Malang, namun hingga ke daerah lain. Saya pun jadi teringat tulisan pendek almarhum “Sam Idur (Rudy Satrio Lelono) pada dua tabun lampau (2018) mengenai “Pejuang Seksi Wanita” — ketika memgomentari tulisan saya di Facebook.

Sewaktu Belanda melakukan Agresi Militer II, markas Seksi Wanita itu berada di Sumber Pucung-sub area Malang Selatan. Begitu terjadi penyerbuan, maka Seksi Wanita itu ikut melakukan “Wingate Action‘ ke daerah pendudukan Belanda. Selanjunya, sebagian darinya berkedudukan di wilayah Kotapraja Malang, seperti Ketawang Gede, Dinoyo, dan sentra Malang.

Salah seorang diantara Sapta Srikandi tersebut adalah Bu Prapti. Sebelum meletus “Perang Kenerdekaan RI”, Bu Prapti sempat menjabat Kepala Sekolah Kepandaian Putri. Oleh karena panggilan ibu pertiwi (baca “RI”), rela Prapti kedudukan yang terhormat sebagai kepala sekolah ditinggalkan. Ia menceburkan diri ke lingkungan perjuangan bersenjata.

Kalau di Surabaya tampil lasykar perempuan yang tangguh bernama Ibu Dar “mortir” dan di Jawa Tengah tampil ” Bu Ratmi B29″, maka di Malang ada tokoh kebanggaan yang bernama “ibu Prapti”. Pada kancah Perang Kemerdekaan, ibu Prapti beserta kelornpoknya yang terdiri atas kaum wanita itu turut berjuang sejak perternpuran heroik di Surabaya sekitar bulan September 1945 dan berlajut hingga memasuki era Perang Gerilya (puncaknya “Agresi Militer I dan II) di wilayah pemerintahan Karesiden- an Malang. Mereka giat untuk mengurus jenazah korban pertempuran, mernberi bantuan perawatan kepada korban perang yang mengalami luka-luka, maupun terlibat dalam aktifitas masak-memasak di dapur urnum.

Ketika induk dari kesatuan wanita itu mengalami kekosongan, maka Letnan Kolonel drh. Soewondho mengumpulkan mereka di area selatan Kabupaten Malang, di daerah Sumber Pucung. Sejak itu mereka berada di bawah naungan CMK Malang, dipimpin Komandan Soewondho. Mereka menjadi sebuah kesatuan khusus, yang diberi sebutan Seksi Wanita, dengan komandan Seksi Ibu Prapti.

bu-prapti-seorang-laskar-perempuan

Rumah tinggal Bu Prapti di sekitar Sumberporong, Lawang. Walau demikian, beliau tak menetap di satu desa atau lokasi. Ada kalanya Prapti menyamar sebagai seorang perawat. Pernah Bu Prapti ikut berperan dalam penculikan dokter (antara lain dr. Sutoyo) dari rumah sakit Turen untuk dibawa ke daerah gerilya.

Jelas bahwa Seksi Wanita pimpinan bu Prapti musti memiliki keberanian serta penuh resiko dalam berjuang. Salah satu tugasnya adalah sebagai ‘penunjuk jalan’. Dalam mengemban tugas ini, mereka berjalan di lini depan, yakni rnendahului pimpinan ke tempat yang dituju. Selain dikenal sebagai “jagoan” menguasai medan, mereka juga mengerti tempat kedudukan komando serta pejuang gerilya.

Para pejuang wanita itu ibarat “mata dan telinga” gerilyawan, sehinga dapat menghindari aksi pendadakan musuh. Mereka bertindak pula sebagai kurir untuk memberikan informasi, penyampai berita dari kesatuan ke kesatuan lain. Dokumen-dokumen penting itu mereka kirimkan dari markas satu ke markas lainnya, dari suatu SWK satu ke SWK lainnya, seperti dari Gunung Kawi ke Gunung Semeru dengan Menerobos daerah musuh atau melalui area Kotapraja Malang yang menjadi basis kedudukan Belanda.

Beberapa anggota Seksi Wanita yang gugur semasa Perang Kemerdekaan, antara lain Kurnia, gugur di daerah Kesamben. Atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara, baik yang gugur ataupun yang selamat hidup, pemerintah menganugerahi Bintang Gerilya. Pasca momentum Pengakuan Kedaulatan RI, anggota seksi wanita semua masuk Kota Malang. Berbagai tugas telah menanti. Beberapa orang diantaranya ada yang bertugas sebagai anggota karyawati ABRI, ada pula yang menjadi guru.

Jawara Wanita Malang Raya Masa Lalu

Bu Prapti adalah satu diantara para “jawara Wanita Malang Raya” masa lalu. Heroisme Sapta Srikandi mengingatkan saya kepada heroisme Proboretno di dalam “Babad Malang.”Ia gugur di medan laga ketika menghadapi ekspansi Kasultanan Mataram para era pemerintahan Sultan Agung untuk menempatkan “mancanagara (bang) wetan Malang” dibawah naungan Mataram.

Putri Proboretno adalah anak kandung Adipati Malang bernama Ronggo Tohjiwo dan istri Panji Pulangjiwo gugur untuk perhankan independensi kawasan Malang atas Mataram. Proboreyno pun adalah “Srikandi” yang gagah berani, yang “tampil herois” dengan rela untuk mengorbankan jiwa maupun raganya dengan “mengoper tanggung jawab” dari suaminya (Panji Pulangjiwo) yang menjabat senopati Kadipaten Malang — yang ketika serangan Mataram tiba, Panji Pulangjiwo tengah tak berada di tempat (pusat Kadipaten Malang).

Apakah Wanita pada foto dokumenter tersebut adalah seorang lasykar wanita yang bernama “Bu Prapti”?, yakni Komandan Seksi Wanita itu. Saya belum bisa memastikannya. Namun, sekilas wajah dan perawakannya mirip dengan seorang wanita yang berada di tengah diantara 7 (tujuh) wanita pada foto “Sapta Srikandi” terlampir. Wanita yang berada di posisi tengah tersebut adalah Bu Prapti. Kalaupun bukan diri Bu Prapti, boleh jadi adalah salah sorang dari para pejuang yang bernaung di bawah “Seksi Wanita” yang dikomandani oleh Bu Prapti. Yang pasti, ia adalah pejuang perempuan.

Selembar foto dokumenter itu telah cukup memberi kejelasan bahwa para perempuan ikut berkontribusi penting dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI. Kaum hawa tak kalah perannya bila dibandingkan dengan kaum Adam. Termasuk perannya dalam perjuangan demi bangsa dan negara di masa lampau.

Pada masa kini pun, tidak sedikit dari wanita yang lebih piawi dan bijak dalam mengelola lembaga atau dalam urusan pemerintahan. Wanita yang bijak dalam bersikap maupun bertindak tentulah lebih baik daripada lelaki yang berulangkali tergelincir pada kondisi “blunder” di dalam tindakkannya. Nuwun.

Sengkaling, 25 Januari 2018

Griyaajar CITRALEKHA