boso-walikan-dan-sejarah-perjuangan-kemerdekaan
Adegan drama musikal bertema “Glora Juang Arek Malang” yang dimainkan Anak Limau Ranum Malang dan SMK Kesehatan Adi Husada di depan Balai Kota Malang. (Terakota/Givari Jokowali).
Iklan terakota

Reporter : Givari Jokowali

Terakota.id–Suara Presiden Sukarno membacakan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia menggema di pelataran Balai Kota Malang, Ahad 19 Agustus 2018. Pasukan pengibar bendera berbaris rapi, memasuki Balai Kota Malang. Suara hentakan sepatu bertemu aspal, lantang terdengar. Mencuri perhatian ribuan warga Malang yang memenuhi jalan Tugu Kota Malang.

Disusul rentetan suara ledakan bom, meriam dan tembakan senjata api membuat suasana mencekam. Asap membumbung tinggi, para pejuang mengangkat senjata berusaha merebut kembali gedung Balai Kota Malang dari tangan militer Belanda.

Adegan tersebut merupakan cuplikan drama musikal bertema “Glora Juang Arek Malang” yang dimainkan Anak Limau Ranum Malang dan SMK Kesehatan Adi Husada. Drama musikal ini merupakan sebuah transformasi pejuangan Mayor Hamid Rusdi melawan penjajah.

Para pejuang berkomunikasi dengan osob kiwalan  atau boso walikan atau bahasa yang dibalik. Boso walikan lahir sebagai identitas dan bahasa kode perjuangan untuk mengelabui musuh. Boso walikan lahir dari kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK).

Boso walikan digunakan  untuk menjamin kerahasiaan, efektifitas, dan komunikasi kepada sesama pejuang. Sekaligus untuk mengidenfikasi mana lawan atau kawan. Pada Maret 1949, Belanda banyak mengirim mata-mata ke dalam kelompok pejuang. Mata-mata menguasai bahasa daerah sehingga mudah mendapatkan informasi dari kalangan pejuang arek Malang GRK.

Mata-mata Belanda juga berasal dari orang pribumi. Sehingga berpotensi informasi bocor ke pihak Belanda, jika berkomunikasi dalam bahasa Jawa. “Boso walikan menjadi budaya bahasa yang unik.Sampai sekarang menjadi identitas yang kuat, di perantauan di luar kota,” kata pakar bahasa Universitas Negeri Malang, Sunaryo.

Dalam ilmu bahasa, katanya, budaya bahasa dinamakan dengan bahasa prokem atau bahasa gaul. Bahasa yang digunakan kaum remaja sebagai bahasa sandi yang indentik dengan kelompok tertentu. Dalam perkembangan bahasa gaul yang juga mencirikan orang Malang.

Salah seorang tokoh pejuang kota Malang adalah Suyudi Raharno. Dia yang mempunyai gagasan menciptakan bahasa berbeda yang khusus digunakan sesama pejuang. Sekaligus menjadi identitas dan demi keamaan informasi. Gagasan boso walikan tidak terikat aturan tata bahasa.

Hanya mengenal cara pengucapan dan penulisan yaitu mengucapkan denga cara dibalik dari belakang ke arah depan. Boso walikan cara pengucapanya dengan cara dibalik menjadi “osob kiwalan.”

Dalam pergaulan sehari-hari boso walikan terus berkembang dengan cepat pada masa itu. Pejuang intens mengunakannya. Sedangkan penyusup atau mata-mata tak bergaul setiap hari sehingga kerap kebingungan dan selalu ketinggalan istilah-istilah baru. “Sehingga terlihat jelas perbedaan antara pejuang dan lawan.”

Pada September 1949, Suyudi Raharno disergap militer Belanda di wilayah Dukuh Gunuk Watu, sekarang wilayah Purwantoro, Kota Malang. Sebelumnya juga salah satu kawan akrab sekaligus mencetuskan boso walikan, Wasito juga gugur dalam pertempuran di daerah Gandongan, sekarang Pandanwangi, Kota Malang. Kedua jasad pejuang Suhudi Raharno dan Wasito kini disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Jalan Veteran Kota Malang.

Menikmati pertunjukan drama musikal ini sembari mengenal perjuangan pejuang merebut Kota Malang dan sejarah boso walikan. Ternyata tak semua warga Malang mengerti sejarah dan kisah di balik boso walikan. “Saya baru tahu kalau bahasa walikan itu sudah ada di masa perjuangan,” kata M. Riski, 18 tahun, pemuda asli Sukun, Kota Malang.

Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni berharap Festival mampu merekatkan warga Malang. Masyarakat Malang yang heterogen, katanya, bisa berkreasi melalui seni dan budaya. “Menjadikan Kota Malang guyub dan rukun ,” katanya.