
Terakota.id-–“Pak Doyok, titip bakso ya?” teriak mbak Made suatu ketika pada saya. “Beres, “jawab saya singkat.
Itu petikan dialog saya dengan mbak Made saat saya kos di jalan Ceruring, Denpasar, Bali tahun 2000. Saat itu saya sedang mengikuti kursus bahasa Inggris di Indonesia Australia Language Foundation (IALF) jalan Kapten Agung, Denpasar.
Mbak Made bukan pemilik kos, tetapi bekerja dan merawat kos itu. Saya saat itu agak heran, mengapa mbak Made suka bakso yang notabene terbuat dari daging sapi? Sementara daging sapi biasanya pantangan untuk orang Bali. Setelah makan, mbak Made muntah dan kepalanya pusing. Ini mungkin soal kepercayaan saja.
Artikel ini tidak membahas soal daging sapi itu. Yang ingin saya tekankan adalah panggilan Doyok yang dilekatkan pada saya. Bahkan sebagian teman di Solo dan Malang juga “menempeli” kata Doyok pada diri saya. Saya berprasangka baik saja.
Mungkin mereka mudah mengingat saya karena tampang saya hampir mirip dengan pelawak Doyok. Mungkin kumis dan badan yang kerempeng. Saya tidak begitu mempermasalahkan panggilan tersebut, meskipun kadang risih juga.
Coba kita amati lingkungan sekitar. Ada yang dipanggil si gendut, si kerempeng, kepala batu, si pincang, si pandir, otak udang dan lain-lain istilah. Istilah itu tentu melekat karena yang bersangkutan memang mengidentikkan diri atau diidentikkan orang lain. Jangan-jangan saat seseorang memanggil kita tolol, memang kita tolol. Istilah tersebut di atas berkaitan dengan kondisi fisik seseorang.
Itu salah satu contoh body shaming.
Sederhananya, body shaming itu istilah yang merujuk pada kegiatan mengkritik dan mengomentari sacara negatif fisik atas tubuh diri sendiri ataupun orang lain. Motifnya tentu saja bermacam-macam. Bisa karena bercanda. Bisa juga mengejek. Bahkan seseorang tak sadar bahwa tindakannya melakukan body shaming dengan dibungkus candaan. Atau seseorang menjadi korban body shaming karena orangnya baperan. Seseorang merasa diejek atau tidak tentu tergantung komunitas, kedekatan dan motif dibalik ungkatan tersebut.
Body shaming memang awalnya bisa untuk candaan. Lalu bisa berkembang menjadi usaha menjatuhkan, menjelek-jelekan orang lain sampai membuat orang tidak nyaman. Kalau orang tahu, harga diri dan self esteem-nya bisa terganggu. Body shaming biasanya marak di komunitas dimana orang yang dijadikan objek tidak ada di dalamnya. Jika tidak hati-hati body shaming bisa dianggap membully.
Dianggap Jamak
Yang ingin saya tekankan adalah bukan soal apakah body shaming itu mengkhawatirkan atau masuk perbuatan buruk. Bukan itu. Saya tidak pada posisi menilai. Biarlah itu berkembang secara wajar dan menjadi “hiburan” masyarakat umum di tengah banyak kegelisahan.
Jika menuduh body shaming itu perbuatan tercela, tentu akan banyak yang membantah. Ada sebagian yang menikmatinya sebagai hiburan. Meskipun mereka yang tertuduh perbuatan body shaming akan merasa dilecehkan. Tinggal kita memaknai dan melihat konteks dimana ungkapan-ungkapan yang berbagi “body shaming” itu diungkapkan.
Kita sepakati dulu. Bahwa body shaming itu banyak berkaitan dengan sesuatu yang berkaitan dengan fisik. Katakanlah penampakan fisik yang bisa diindera oleh manusia. Bentuk tubuh, pakaian, gerakan, warna rambut atau hal lain yang melekat pada diri manusia. Itu semua objek kajian body shaming. Jadi kita berurusan dengan soal fisik sebagai objek kajian dulu.
Memang karena objeknya fisik, mudah dipakai untuk dijadikan bahan pembicaraan. Dimanapun dan kapanpun. Mengapa? Karena objek fisik bisa dilakukan oleh kebanyakan orang. Tanpa ilmu mumpuni, tanpa kecerdasan brilian, tanpa pandang agamanya apa. Semua orang bisa melakukannya.
Tetapi sesuatu yang dipandang hanya sekadar fisik juga tidak mencukupi untuk menilai. Juga, tidak bisa menunjukkan apa sesungguhnya yang terjadi. Sementara itu, manusia itu dinamis atau berkembang terus. Fisik yang kita saksikan suatu saat bisa jadi akan berubah pada saat lain. Sementara karakter seseorang bisa jadi akan tetap.
Penilaian sesuatu berdasar fisik telah mendorong manusia di sekitar kita juga lebih mementingkan fisik juga. Mengapa mempermasalahkan tato? Mengapa sinis pakai celana cingkrang? Mengapa jenggot diurusi? Mengapa merokok dianggap buruk? Itu semua soal-soal fisik semata.
Bahkan jika kita tarik ke permasalahan bernegara juga sama saja. Kita selama ini lebih mementingkan fisik-fisik saja. Pembangunan selalu fisik. Pemerintah pun sibuk membangun sesuatu yang fisik. Untuk menaikkan citra bangunlah sesuatu yang fisik; jalan, gedung atau bangunan lain.
Apakah pemerintah salah? Tidak juga. Masalahnya, masyarakat kita juga senang yang “berbau” fisik itu. Partai politik “menyuap” konstituen masyarakat dengan pembuatan jalan, bendungan, pagar desa, obral uang juga senang-senang saja. Tetapi, giliran mereka dikibuli soal urusan kepentingan rakyat banyak, masyarakat hanya bisa menangis.
Itu terjadi karena masyarakat kita senang pembangunan fisik, sementara pemerintah menganggap hanya melaksanakan keinginan masyarakat, meskipun aslinya juga punya berkepentingan. Sementara itu, tugas pemerintah yang lebih penting menyangkut jangka panjang berupa pembangunan non fisik sebagai penopang “bangunan-bangunan” fisik kenegeraan dan kemasyarakat. Pendidikan karakter adalah pembangunan non fisik yang tak mudah dipahami masyarakat.
Ini pula mengapa soal pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim) menuai perdebatan. Karena kita terbiasa mengukur dengan kacamata fisik itu. Jika alasan fisik Jakarta kemudian ibukota garus pindah, tentu akan dianggap aneh. Fisik lagi bukan? Jika mereka menolak pemindahan karena alasan fisik tidak jauh berbeda. Baik pendukung atau penolak itu “sisa-sisa laskar” Pilpres 2019. Enggak percaya? Coba saja dilihat lebih dalam soal kepentingan politiknya.
Mengapa tidak boleh pindah? Mengapa kritis pada pemindahan ibukota? Sementara secara fisik Jakarta “sudah habis?” Kenapa harus curiga bahwa yang diuntungkan nanti adalah para investor yang selama ini dekat dengan kekuasaan? Atau para “pemodal” yang punya “kekayaan” di Kalimantan? Kenapa harus curiga jika ibukota harus pindah?
Lalu mengapa keinginan pemindahan ibukota tidak disikapi dengan wajar? Mengapa juga harus pindah dengan tergesa-gesa? Tentu alasan pembela pindah ibukota karena ide itu sudah lama, sebelum pemerintahan sekarang. Orang juga bertanya lagi, bagaimana membangun ibukota dengan cepat? Bagaimana dengan tendernya? Bagaimana dengan pembiayaannya? Masyarakat umum tentu terus bertanya.
Tetapi saya sarankah jangan banyak bertanya karena nanti bisa dianggap tidak suka dengan kebijakan pemerintah. Karena ada kecenderungan yang kita kritikkan pada pemerintah bisa dianggap sebagai “rongrongan”. Situasi saat ini sangat dilematis. Lalu apakah kita hanya diam? Terserah Anda.
Mulai Dari Kita
Ribut persoalan di sekitar kita selama ini banyak ditentukan atau berdasarkan soal fisik semata. Semua diukur dari fisik. Tidak usah menyalahkan pemerintah. Masyarakat sendiri juga menghendaki yang seperti itu. Jika tidak ingin, marilah kita ubah. Ubahlah sesuatu yang hanya berdasarkan fisik ke non fisik. Kita harusnya lebih mementingkan isi daripada wujud materialnya.
Tentu, antara fisik dan non fisik tetap berkaitan satu sama lain. Hanya kalau penekanan pada fisik tentu hasilnya tidak akan pernah ideal. Akibatnya hanya ribut melulu sesuai kepentingannya.
Maka jangan heran pula jika body shaming tumbuh subur di sekitar kita. Ia telah membawa kita atau menuntut kita ke arah penilaian atau dasar yang berkaitan dengan fisik. Jangan-jangan tanpa sadar kita sendiri telah menjadi pelopor munculnya body shaming itu sendiri?