Genoveva Misiati, ibu dari Petrus BIma Anugerah alias Bimo Petrus merendam kerinduan dengan sang buah hati. (Terakota/Eko WIdianto).
Iklan terakota

Oleh : Nezar Patria*

Terakota.id–Hari ini tanggal 13 Maret dan saya teringat Bimo Petrus serta peristiwa dua dekade lalu. Orang bilang 13 adalah angka sial. Tapi selain 13 ada juga angka 4 yang bernasib sama, dan sialnya saya tak tahu sejak kapan dan mengapa demikian.

Bimo Petrus tak suka tahayul, dan dia punya pemahaman sendiri tentang arti sial, atau ketidakberuntungan. Sial, kira-kira menurut dia, terjadi karena keteledoran, kurang awas, alias kesadaran yang kurang intens bekerja atas kondisi yang sebetulnya bisa diprediksi dengan ilmu dan sains. Hanya pada kondisi yang tak bisa diperhitungkan, sesuatu yang tiba-tiba dan kurang persiapan, orang akan terjatuh ke dalam ketidakberuntungan.

Bimo Petrus tak pernah menguliahi saya soal ini sebetulnya, dan apa yang dikatakannya itu adalah penafsiran dari perilaku dan sikapnya selama kami bersama di zaman gerakan mahasiswa melawan kediktatoran rezim Suharto.

Sejak sejumlah kawan ditangkap dan dipenjara, para aktivis mahasiswa bergerak dengan hati-hati dan bekerja di bawah syarat-syarat organisasi bawah tanah. Ini bukan sok gagah, tapi dipaksa oleh keadaan (mana mungkin sok-sokan manakala untuk makan siang saja mereka harus berpikir bisa menyantapnya dengan aman dan tenang, dan semua identitas terpaksa dipalsukan). Banyak kawan masuk dalam daftar hitam orang-orang yang dicari dengan tuduhan hendak menggulingkan rezim.

Sejujurnya, itu bukanlah tuduhan melainkan kebenaran semata karena demikianlah yang ada di benak mayoritas mahasiswa saat itu. Semua ingin kediktatoran terguling, dan lalu demokrasi dan keadilan sosial yang lama terbenam itu bangkit. Ide-ide besar itu jelas bukan jenis urusan yang dapat langsung jadi dalam semalam, dan bahkan kerap dicibir sebagai utopia, para aktivisnya dianggap kerasukan angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan 66, yang mendongkel Sukarno dan memberi tempat bagi Suharto.

Sang diktator sendiri, dalam satu rapat besar keamanan dan ketertiban di Istana pada Januari tahun itu, menyatakan persis di saat menjelang makan siang, para mahasiswa radikal yang sebetulnya lucu-lucu itu adalah “setan gundul” yang harus dihentikan geraknya.

Petrus Bima Anugerah alias Bimo Petrus. ( Foto repro Terakota).

Bimo Petrus punya tugas berat. Dia adalah penghubung dari satu simpul ke simpul gerakan lainnya. Di dalam tas kanvasnya ada macam-macam catatan, tentu saja dengan sandi tertentu. Misalnya di sebuah notesnya tertulis kalimat “253kg Jagung sudah dikirim via Tiki Selasa sore pkl 15.35” sesungguhnya memuat nomor telepon tertentu. Jangan tertipu oleh angka jam, karena sandi sebetulnya ada pada kata “Jagung”, Tiki”, Selasa”, dan “Sore”.

Bimo Petrus, anak Malang yang kuliah di Universitas Airlangga itu sangat lihai menyimpan aneka kalimat rahasia yang kadang dia sendiri tak tahu seluruh artinya. Separuh kunci pesan selalu dipegang oleh rekan lain. Bimo mengerjakan semua tugas dengan semangat tinggi, gembira, dan kadang sambil memasak mi instan goreng di bilik sempit kontrakan seorang buruh, dia menyanyikan lagu “Bang-Bang Tut” milik Slank, salah satu grup musik kesayangannya.

Suatu kali kami keluar menyusuri daerah Bekasi untuk sebuah pertemuan. Ada prinsip tepat waktu yang tak boleh dilanggar. Bis kota yang ditunggu selalu penuh sesak, dan kami memutuskan menyeberang jalan untuk mengambil jalur lain. Saya memberi isyarat memotong jalan raya langsung tanpa lewat jembatan penyeberangan. Bimo tiba-tiba memegang tangan saya, sambil matanya yang agak sipit itu menatap jalanan ramai dan mengatakan hal yang tak pernah saya lupakan di siang terik itu: “Bung, kita tak tahu kapan hari sial kita datang. Jadi, berhati-hatilah”.

Saya akhirnya mengikuti langkahnya naik jembatan penyeberangan, sambil terus memikirkan kata-katanya tentang “hari sial”. Dalam keadaan di mana para intel memburumu, wanti-wanti tentang “hari sial” itu sungguh mengusik. Jika ada satu insiden kecil saja yang menarik perhatian aparat keamanan, katakanlah polisi, semua cerita bisa berakhir dengan konyol, dan pasti akan dimulai dengan terkuaknya identitas palsu.

Pada 13 Maret 1998, adalah semacam hari sial yang ditakutkan, setelah sejumlah aktivis mahasiswa semisal Pius Lustrilanang dan Desmon Mahesa dilaporkan hilang beberapa pekan sebelumnya. Faisol Riza, Herman Hendrawan, dan Raharja W Jati, tersandung pada tanggal 12 Maret: mereka diculik unit khusus militer yang juga bekerja dengan senyap.

Pada 13 Maret itu giliran Mugiyanto, Aan Rusdiyanto dan saya. Andi Arief menyusul beberapa pekan kemudian. Bimo Petrus tak pulang ke rumah malam itu, dan kabarnya dia sempat melihat ketidakberesan di rumah susun tempat kami tinggal, lalu mejauh dari sana, dan melapor ke jaringan.

Di luar tempat penyekapan para aktivis, justru aksi mahasiswa kian merebak, nyaris setiap hari jalanan penuh dengan aksi demonstrasi. Mahasiswa makin militan, makin dipukul aparat keamanan, makin ganas mereka melawan dengan batu dan bahkan molotov, makin bersemangat dengan lagu-lagu dan teriakan “Reformasi, reformasi, sampai mati!” Gejolak itu menyalakan nyali, dan menyeret jutaan mahasiswa di kampus di sekujur negeri.

Indonesia menagih perubahan kekuasaan, mendesak kediktatoran turun, dan demikianlah hingga pada 21 Mei dua dekade lalu, sang diktator menemui hari sialnya, berhenti berkuasa, dan turun dengan banyak hujatan.

Pada 7 Juni 1998, setelah dijemput Munir dari Kontras, saya tak melihat Bimo Petrus ada di dalam barisan kawan-kawan yang berkumpul di Kantor YLBHI hari itu. Dia ternyata juga dilaporkan hilang bersama sejumlah rekan lain yang belum kembali: Herman Hendrawan, Wiji Thukul, Yani Afri, dan lain-lain. Hari ini, saya seperti mendengar kata-kata Bimo itu datang dari jauh. Semoga tak ada “hari sial” dalam mencari Bimo serta mereka yang masih dinyatakan hilang, dan selalu dilimpahkan keberuntungan bagi orang-orang yang menunggunya pulang.

#20TahunReformasi

Nezar Patria saat memberikan keterangan pers bersama Munir dari KontraS. (Foto : dokumen pribadi).
 *Pemred The Jakarta Post dan anggota Dewan Pers