
Oleh: MOEHAMMAD SINWAN*
Terakota.id–Tepat 28 Oktober 2018, adalah hari yang ‘monumental’ dan sangat penting bagi negeri ini. Tepat 90 tahun yang lalu, momentum ikrar “Sumpah Pemuda” telah menghasilkan tekad untuk: Bertanah Air satu, tanah air Indonesia; Berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan Berbahasa satu, adalah bahasa Indoneasia. Sebuah ikrar yang menjadi salah satu pendorong lahirnya negeri Indonesia tercinta kita ini.
Dan tiga puluh empat tahun yang lalu, tepat jam 10.00, hari Minggu, tanggal 28 Oktober 1984, seusai ‘upacara bendera’ yang dilaksanakan di sebuah sekolah menengah, sekelompok remaja juga telah mengaktualisasikan diri mereka dalam sebuah wadah komunitas seni, yang saat itu dideklarasikan dengan nama “Teater IDEA” SMA Negeri 4 Malang.
Sedangkan kini, dengan berbagai lika-liku perjalanan kehidupannya, komunitas teater itu sudah menjelma menjadi sebuah kelompok teater yang bernama “Teater IDEōT”, sebuah teater independen, teater umum, dan bukan teater dari sebuah sekolah lagi. Dan kelompok teater ini pun telah berhasil menjalani usianya hingga yang ke-34 tahun.
Tiga puluh empat tahun ‘bertahan’ memang bukanlah ukuran sebuah ‘kehebatan’ atau ‘kemampuan istimewa’ bagi sebuah kelompok untuk tetap bisa hidup. Namun, persoalan komitmen ‘kebertahanan’ pada segala godaan dan arus yang sedang ‘menerjang’ di berbagai lini kehidupan itulah, yang rasanya memerlukan keteguhan sikap dan prinsip hidup yang tak gampang untuk dilakukan.
Butuh semacam kekuatan tekad yang tahan banting, bahkan sikap yang nekad dan (sering juga dianggap) sedikit ‘sinting’ untuk bisa mengejawantahkan segala ‘prinsip’ dan cita-cita bahwa teater adalah salah satu bagian penting dari kehidupan. Maka dari itu, teater harus tetap menjadi ‘wadah’ atau komunitas yang masih bisa menampung orang-orang yang masih ingin berbicara mengenai hal-hal yang esensial; masih bisa memberikan ruang bagi orang-orang yang ingin mengeksplorasi ‘daya hidupnya’ lewat berbagai latihan dan pembelajaran; masih bisa menjadi ‘jalan’ untuk orang-orang yang ingin mengolah dan menemukan ‘jati dirinya’; serta yang paling penting adalah ‘teater’ masih bisa terjaga marwahnya sebagai salah satu ‘media’ untuk menyuarakan “kebenaran” bagi khalayak dalam realitas kehidupan.
Esensi teater, seyogyanya boleh berkembang fungsi dan kegunaannya, seiring dengan perkembangan zaman dalam berbagai kompleksitas problematikanya. Mestinya teater tidak malah terseret oleh arus perkembangan zaman yang menjadikannya makin kurang menyentuh esensi kehidupan, hanya sekedar sebagai media ekspresi yang temporer dan rang berakar (atau kurang mengakar); teater makin menjadi parsial dan ajang eksperimental yang kurang dilandasi kompetensi yang mendasar; teater makin terseret oleh kepentingan ‘industri’ yang cenderung kapital; bahkan pada sisi lain, teater makin terseret dalam motiv-motiv kepentingan “viral” untuk sekedar bisa terkenal.
Dengan segala resiko dan akibat yang harus dihadapinya, Teater IDEōT telah bertekad untuk “kekeh” dalam berprinsip. Tetap teguh untuk tak mengikuti arus yang makin ‘meruntuhkan’ harkat dan martabat teater itu sendiri. Tapi itu bukan berarti bahwa Teater IDEōT tak mau mengikuti ‘perkembangan’ dan ‘perubahan’ zaman. Bagi Teater IDEōT mengikuti ‘perkembangan’ dan ‘perubahan’ yang terjadi bukanlah harus selalu dengan cara mengikuti segala perkembangan dan perubahan yang ada, apalagi ‘mematuhi’ dan ‘mengabdi’ pada berhala “perubahan” yang akhir-akhir makin bergaung (hampir) diagung-agungkan.

Perkembangan dan perubahan memang tak bisa ditampik atau dihindari dalam kehidupan ini, tapi tak semua perkembangan dan perubahan harus (atau perlu) kita ikuti, kita amini, atau kita sepakati. Tak semua yang baru itu kita perlukan. Apa artinya kita beramai-ramai “menyemarakkan” kebaruan, perkembangan, dan perubahan, jika pada suatu saat, pada titik tertentu, justru kita akan merasa kehilangan ‘banyak hal’ justru karena kita sendiri yang meninggalkan. Sementara hal-hal yang baru yang telah kita rasa sebagai jawaban jitu bagi dampak perkembangan dan perubahan, sering membuat kita kehilangan esensi, dan tak memadahi lagi.
Teater IDEōT tetap memegang prinsip-prinsip bahwa “yang lama belum tentu telah usang dan lebih buruk dari yang baru”. Dan “yang baru, juga belum tentu lebih baik, dari yang lama”. Dengan demikian, Teater IDEōT sebenarnya ingin tak kehilangan akar berpijaknya. Sebagai sebuah kelompok yang hidup di “tiga era zaman”: era Orde Baru; era Orde Reformasi; dan era Orde Milenial; Teater IDEōT terus melakukan pencermatan, perenungan, dan selektifitas terhadap realitas yang terus berkembang dan berubah.
Mempertahankan yang baik meskipun dari hal-hal lama; mengambil hal-hal baru yang baik, tapi yang benar-benar merupakan penyempurna dari hal-hal lama, serta mengkompilasi, mengolah, mengombinasi, bahkan mengonversi antara hal lama dengan hal baru, adalah sebuah sikap dan proses yang terus dijalani. Upaya-upaya eksplorasi, elaborasi, komparasi, kolaborasi, serta eksperimentasi adalah bagian dari pendekatan dan metode proses dalam kehidupan berteater yang dihayati.
***
Dalam perspektif kehidupan Teater IDEōT dengan berbagai nuansa prinsip, komitmen, sikap dan metodologi kehidupan berteaternya, realitas kehidupan berteater kita kini dipandang cukup (bahkan makin) memprihatinkan. Banyaknya kelompok-kelompok teater yang muncul, lahir, atau berdiri, tak banyak memberikan indikasi adanya progres atau kemajuan dunia perteateran kita. Makin ramai atau semaraknya perhelatan-perhelatan pentas teater atau acara-acara teater yang digelar, kurang (bahkan tidak) memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan iklim perteateran kita, atau bagi peningkatan kualitas berteater kita, baik secara individual maupun secara kolektif dari komunitas-komunitas yang ada.
Apalagi, kehidupan perteateran kita, yang makin menguatkan kehidupannya pada basis ‘kehidupan kampus’, sangat berimplikasi pada progres perkembangan kehidupan perteateran kita itu sendiri. Bahwa tradisi berteater yang makin terdegradasi, mereka kebanyakan (bahkan hampir semua) kurang intens pada proses berlatih, kurang matang dalam berprogres, menggampangkan kerja berteater, serta hanya melakukan latihan saat akan melakukan pentas, dan pentas pun kebanyakan hanya sebatas “pentas dalam rangka”, pentas untuk lomba, festival dan forum-forum lainnya.
Semangat yang lebih kuat untuk ‘tampil’, dan bukan semangat untuk ‘berkarya’ dengan kualitas yang memadahi dan mampu memberikan dampak atau manfaat (baik bagi penontonnya, bagi para pelakunya sendiri, maupun bagi kehidupan perteateran), mengakibatkan kualitas-kualitas pentas teater menjadi menurun. Akhirnya teater juga makin jauh dari ‘kebutuhan’ khalayak sebagai salah satu alternatif ‘tontonan’ yang dibutuhkan, baik untuk hiburan maupun sebagai alternatif apresiasi kehidupan.
Dalam sisi proses kehidupan sehari-hari, kelompok-kelompok teater makin kehilangan ‘marwah’ sebagai sebuah ‘wadah’ yang semestinya berbeda dengan unitas-unitas kegiatan lain yang berada di kampus. Model-model manajemen komunitas kampus sudah makin tak beda dengan komunitas aktivitas lain. Etos berlatih dan belajarnya juga tak rutin, tak disiplin, dan tak sungguh-sungguh dijalankan.
Fenomena ‘viral’ oriented, ingin sekedar popular tanpa diiringi oleh kualitas, asal pentas lalu di upload di youtube atau medsos, adalah hal ‘kekinian’ yang sedang menggejala. Melabeli diri sebagai komunitas teater ‘kekinian’ (sebagai bentuk kelatahan generasi zaman sekarang); bikin jaringan-jaringan untuk melakukan pergerakan (yang mulai cenderung berbasis pada ‘obrolan’ atau ‘tongkrongan’ warung kopi); adalah hal lain yang juga makin menjadi ‘gaya’ bagi grup-grup teater generasi kini.

Sementara, gaya-gaya pementasan yang mengambil label ‘karya eksperimentasi”, tapi tak didahului oleh penguasaan-penguasaan kompetensi dasar berteater yang cukup dan memadahi, makin memperlebar jarak (gap) ‘perteateran kita’ dengan khalayak sebagai masyarakat penontonnya.
Daftar panjang catatan-catatan kondisi kurang baik tersebut, telah lama menjadi ‘perbendaharaan’ Teater IDEōT dalam mencermati dan merenungi kondisi. Alhasil, kesulitan-kesulitan dalam merekrut regenerasi, kesulitan dalam mencari pelaku teater (baik aktor, maupun pekerja teater) untuk sebuah proses produksi, serta tak mudahnya sebuah pementasan dilaksanakan, adalah kenyataan yang makin nyata terjadi. Namun demikian, Teater IDEōT tidak hendak ‘berkompromi’ dengan keadaan yang tak kondusif seperti itu.
Berdamai dengan keadaan, adalah hal yang ‘sedang terus dilakukan’. Tapi untuk berkompromi dengan kondisi yang ‘tak kondusif’ seperti itu, apalagi untuk mengubah standarisasi, atau menurunkan ‘tensi’ target kualitas baik dalam berlatih, berproses, maupun dalam berpentas, bukan cara atau jalan yang tertulis dalam strategi berteater di Teater IDEōT.
***
Yah, begitulah kiranya, nuansa kehidupan berteater, pergolakan hidup yang terus dihadapi, dan semangat untuk ‘bertahan’ yang (terus diupayakan) untuk tak dikhianati, menjadi spirit yang bersemayam pada gerak hidup Teater IDEōT.
Apalagi, kesadaran akan usia yang sudah mencapai 34 tahun yang disandangnya, Teater IDEōT makin merasa bahwa tak ada lagi harapan yang ingin diraihnya, tak ada lagi cita-cita yang ingin digapainya, dan tak ada lagi tujuan yang ingin dicapainya, kecuali:
Terus hidup (sampai takdir membatasinya)
Terus bertahan (pada keyakinan dan kebenaran yang digenggamnya)
Terus bergerak (demi kebergunaan dan kebermanfaatan eksistensinya)
Terus berkarya (sebagai kewajibannya menyuarakan ‘kebenaran’ yang ditemukannya)
Terus berproses (sebagai wujud fungsinya selaku ‘penjaga realitas kehidupan’)
Dan terus menyapa para penontonnya (sebagai bentuk silaturahim kepada sesama).
Tentang popular, tentang kaya, tentang hebat, tentang keren, dan tentang-tentang semacamnya, biarlah itu sebagai akibat (atau mungkin sebagai bonus saja), jika memang Tuhan menghendakinya.
Biarlah, jika Tuhan menghendaki segala keberuntungan itu akan teranugerahkan pada Teater IDEōT, biar itu menjadi ‘hak’ Tuhan untuk menentukannya. Apakah akan diberikan di dunia, di akhirat, atau di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam bishawab!
Yang jelas, Teater IDEōT sangat punya keyakinan, bahwa Tuhan tak pernah ‘mengabaikan’ segala upaya baik para hamba-Nya. Mungkin termasuk upaya Teater IDEōT dalam “Bertahan di antara hiruk-pikuk perkembangan dan perubahan kehidupan”. Sebuah upaya bertahan untuk memilih jalan kebaikan. Aamiin!■
Tegalgondo, 28 Oktober 2018
* Pendiri, Pemimpin Umum & Sutradara Teater IDEōT
Email: sinwanmoehammad@gmail.com
Sanggar Teater IDEōT: PERUM IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F No.07 Tegalgondo, Malang
Email : ideotteater@gmail.com / teaterideot@gmail.com
Twiter : @teaterideot
Blog : teaterideotmlg.blogspot.com / ideotpress.blogspot.com
FB : Ideot Teater

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi