Iklan terakota

Terakota.id–Satu lagi buku tentang penerjemahan lahir dari tangan dingin Sugeng Hariyanto, dosen penerjemahan Polinema (Politeknik Negeri Malang) dan pemimpin TransKomunika, penyedia layanan penerjemahan dan penjurubahasaan yang berbasis di Malang. Namun, berbeda dari buku-bukunya sebelumnya yang berkaitan dengan seluk-beluk teori dan pembahasan dunia penerjemahan, buku baru ini membahas tentang mereka yang bergerak dan terlibat di dalam dunia itu sendiri.

Buku berjudul Bersilat di Rimba Kata (CV TransKomunika Kencana, 2021) berisi kisah-kisah ‘inspiratif’ dari para pekerja teks komersial. Para pekerja teks komersial, dalam hal ini, adalah istilah yang mengacu baik pada penerjemah (yang umumnya mengerjakan teks tulisan) maupun jurubahasa (atau interpreter, yaitu mereka yang umumnya menerjemahkan ucapan lisan pengguna bahasa).

Bersilat di Rimba Kata diharapkan dapat mendokumentasikan penggalan-penggalan pengalaman serta inspirasi dari para pekerja teks komersial, baik mereka yang masih relatif baru (dan agak terpaksa) memasuki dunia ini maupun mereka yang sudah bertahun-tahun menghidupi bidang penerjemahan. Ini diharapkan akan ‘bisa dijadikan salah satu sumber rujukan bagi siapa saja yang berencana atau berminat membangun karier sebagai penerjemah dan/atau jurubahasa profesional’, sebagaimana ditulis oleh Indra Listyo, Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia, dalam kata pengantarnya.

Buku Bersilat di Rimba Kata terdiri dari 32 artikel yang dibagi ke dalam tiga bagian besar. Bagian Pertama mengisahkan pengalaman para penulis dalam belajar dan merintis jalan di dunia penerjemahan. Judulnya menunjukkan hal tersebut: Menguak Jalan, Mengasah Jurus. Meytrizha Surjanto, misalnya, menulis tentang bagaimana dia menghadapi dilema, apakah pilihan sebagai seorang penerjemah itu adalah sebuah jalan hidup ataukah suatu keterpaksaan. Dia sempat meragukan pilihannya kala beberapa kali gagal dalam ujian menjadi penerjemah: ‘Ada rasa kecewa yang muncul dan saya juga mulai mempertanyakan kemampuan saya sendiri. Apakah saya memang berbakat menjadi seorang penerjemah?’ (hlm. 4).

Namun, oleh sikap pantang menyerahnya dan karena terus membuka diri untuk belajar baik dari kesalahan maupun dari pengalaman orang lain, ‘… usaha keras ini mulai membuahkan hasil sedikit demi sedikit. Mulai ada pekerjaan yang bisa saya lakukan … Saya mulai kembali bisa merasakan kesenangan bekerja sebagai seorang penerjemah’ (hlm. 7).

Bagian Kedua dari Bersilat di Rimba Kata boleh dikata merupakan bagian terinti dari buku ini. Bagian ini berbicara mengenai pengalaman dan suka-duka menjadi jurubahasa dan penerjemah. Sugeng Hariyanto berkisah tentang bagaimana pengalaman pertamanya bekerja sebagai jurubahasa, di mana kepanikannya karena sang klien berbicara melebar dari teks semula yang telah disusunnya membuatnya terpeleset lidah dan menerjemahkan ‘Nokia’ menjadi ‘Novia …’ (hlm. 72-74).

Tetapi, pengalaman lucu dan seram itu tidak menghentikannya. Karena cintanya kepada dunia penerjemahan, Sugeng tidak menyerah dan terus bekerja sebagai penerjemah dan jurubahasa. Kegigihannya tersebut dilandasi oleh kecintaannya kepada dunia penerjemahan. ‘[K]alau kamu ingin terjemahanmu bagus, terjemahkan teks seakan-akan hasilnya akan diberikan kepada orang yang kamu cintai. Ya, anggap ketika kamu menerjemahkan, kamu menulis surat cinta untuk kekasih. Kamu akan hati-hati dan bersungguh-sungguh …’ (hlm. 104), pesannya kepada salah seorang anak buahnya di TransKomunika.

Ketika pekerjaan dilandasi oleh cinta dan kegembiraan, serta kemauan untuk terus belajar, hasilnya akan terlihat dalam diri klien yang merasa puas dengan layanan dan kembali menggunakan jasa seorang pekerja teks komersial. Namun demikian, itu tidak berarti menerjemahkan dan menjurubahasa adalah pekerjaan yang selalu menyenangkan dan rewarding. Boleh jadi bahkan pekerjaan penerjemahan dan kejurubahasaan merupakan salah satu pekerjaan yang paling sering disalahpahami dan diremehkan.

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa penerjemah atau jurubahasa (khususnya yang memilih paruh waktu) dianggap sebagai pengangguran terselubung. Mereka seakan hanya duduk di depan layar komputer dan menunggu order. Padahal, tidaklah demikian kenyataannya. Ketika order datang, tidak sedikit penerjemah yang harus bekerja dari selepas subuh sampai jam 22.00, seperti dikisahkan oleh penerjemah senior mendiang Dina Begum. Ketika order sedang sepi atau tidak ada, mereka tetap perlu mengembangkan keterampilan, mengikuti kursus penggunaan alat bantu penerjemahan, berpartisipasi dalam webinar, mengembangkan jejaring, dan semacamnya (hlm. 144).

Kesalahpahaman yang lain adalah berkaitan dengan tarif atau honor penerjemahan. Tidak sedikit klien yang menginginkan mendapat hasil penerjemahan yang berkualitas prima, dalam tempo singkat, dengan harga semurah-murahnya. Meskipun ini lazim di bidang mana pun, tetapi di bidang penerjemahan dan penjurubahasaan semakin terasa. Ketika ada penerjemah atau jurubahasa yang menawarkan harga lebih miring, klien biasanya tergoda dan beralih. Namun, penerjemah atau jurubahasa yang baik akan selalu dicari. Demikianlah yang bisa kita simpulkan dari artikel yang ditulis oleh Labodalih Sembiring, yang saya kenal sebagai penerjemah karya-karya Eka Kurniawan ke bahasa Inggris (hlm. 105-109).

Bagian ketiga dan penutup dari Bersilat di Rimba Kata diberi tajuk ‘Pemenang’. Bagian ini berisi artikel dari para pekerja yang sudah lama malang-melintang di dunia penerjemahan dan kejurubahasaan. Di sini, mereka tidak lagi berkutat dengan pengalaman sehari-hari dalam kaitannya dengan teks, tetapi sudah mampu ‘berdamai’ dengan berbagai pergulatan mereka. Mereka menerima diri sebagai seorang yang karena kecintaannya pada teks mampu mengaitkan banyak aspek lain ke dunia tersebut.

Inanti P. Diran, dengan sangat bagus, mengungkapkan pengalamannya tersebut dalam bagian penutup dari artikelnya, di mana dia menyadari dirinya sekarang adalah hasil tempaan dirinya yang berjuang. “Perjalanan saya menjadi jurubahasa profesional dengan pengakuan nasional dan internasional memang cukup panjang dan berliku. Dibutuhkan waktu hampir seperempat abad untuk bisa berada di posisi saya sekarang ini. Perjalanan karier saya di bidang penjurubahasaan juga tidak selalu mulus, dibutuhkan kesabaran, kemauan, dan tekad yang keras untuk mengembangkan diri serta menjaga integritas …” (hlm. 217).

Kebahagiaan telah memilih jalan yang benar juga diungkapkan oleh Dono Sunardi, yang telah menerjemahkan lebih dari 75 judul buku di berbagai penerbitan di Yogyakarta dan Jakarta, ‘Saya bahagia telah memilih jalan hidup yang tepat bagi saya: menjadi pendidik yang penerjemah dan/atau menjadi penerjemah yang pendidik’ (hlm. 172).

Buku Bersilat di Rimba Kata bukanlah buku tentang penerjemahan dan penjurubahasaan yang berat dan penuh teori. Buku ini penuh dengan sharing dan pengalaman. Ketika membacanya, kita seperti duduk di taman yang asri, dengan semilir angin, dan cangkir teh atau kopi di tangan, mendengarkan satu demi satu penerjemah dan/atau jurubahasa mengisahkan cerita mereka kepada kita. Amat menyenangkan dan inspiratif.