
Terakota.id—Janah, 62 tahun, warga Dusun Bendrong, Desa Argosari, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang usai menunaikan salat subuh bergegas ke kandang di belakang rumah. Membersihkan kandang dan tubuh sapi dari kotoran. Kotoran beserta air mengalir ke reaktor biogas di samping rumah.
Gas metana dari kotoran sapi ditangkap, gas dimanfaatkan untuk merebus air, memasak dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Reaktor biogas dibangun sejak 2010. Janah menghemat pengeluaran untuk membeli gas elpiji atau menghemati waktu mencari kayu bakar.
“Sebelumnya masak di tungku, memakai kayu bakar,” ujarnya.Biogas, katanya, cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap hari. Sedangkan ampas kotoran sapi digunakan untuk pupuk tanaman. Pupuk organik dibutuhkan Janah agar sayuran, tebu dan pohon sengon tumbuh subur.
Setelah semua bersih, giliran memerah sapi dibantu kedua anaknya. Ia memelihara lima ekor sapi perah, memerah sapi dilakukan dua kali sehari. Yakni pukul 05.00 WIB dan pukul 16.00 WIB. Setiap hari menghasilkan sekitar 32 liter susu, disetor ke koperasi unit desa yang dipasok ke Industri Pengolahan Susu (IPS). Mereka tetap bekerja meski udara dingin membekap tubuh. Maklum, lokasi permukiman berada di lereng barat pegunungan Bromo, Tengger. Semeru.
Butuh waktu lama untuk mengubah masyarakat beralih dari kayu bakar ke biogas. Sebelumnya kotoran sapi menjadi masalah dan kerap menimbulkan konflik. Lantaran kotoran mengalir di selokan hingga ke sungai desa. Air sungai tercemar limbah kotoran sapi.
Sedangkan untuk memasak, warga mengambil kayu bakar di hutan. Meliputi hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani maupun di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Kini, semua masalah perlahan-lahan teratasi, tak ada lagi yang mencuri kayu di hutan dan membuang kotoran sapi ke sungai.

Penduduk Dusun Bendrong sebanyak 520 keluarga, sekitar 90 persen memelihara sapi perah. Sedangkan populasi sapi mencapai 2 ribu ekor. Mereka membudidayakan sapi sejak 1990, hingga terus berkembang. Beragam skema kredit kepemilikan sapi disalurkan. Ekonomi masyarakat perlahan-lahan meningkat, sebelumnya sebagian besar menjadi buruh tani.
Pendapatan rata-rata, katanya, relatif tergantung produksi susu. Rata-rata setiap ekor produksi susu setiap hari sekitar 10 liter. Sedangkan mereka menanam rumput di lahan Perum Perhutani dengan skema kemitraan atau sewa lahan.
Selain itu, juga berkebunan menanam tanaman pangan singkong, jagung, tebu juga aneka sayuran. Juga menanam aneka tanaman buah dan sengon. Pertanian menjadi pekerjaan utama, sedangkan beternak sapi awalnya sebagai pekerjaan sampingan. Tujuannya untuk menambah pendapatan. “Sekarang berbalik sejak 2008 peternakan menjadi sektor utama. Populasi sapi terus meningkat,” kata Ketua Kelompok Tani Usaha Maju II, Muhammad Slamet Bendrong, Argosari, Jabung.
Ekonomi Meroket, Sungai Tercemar
Setiap penduduk rata-rata merawat sapi antara dua ekor sampai 12 ekor. Dilematis budidaya sapi perah, menambah perekonomian namun turut menyumbang sumber pencemar lingkungan. Para petani tak memiliki kesadaran untuk mengolah limbah kotoran sapi. Sehingga sering menjadi sumber konflik antar keluarga. Bahkan kotoran sapi meluber ke rumah tetangga. “Tetangga berdekatan tak pelihara sapi, sering mencium bau kotoran,” ujarnya.
Slamet menghitung kebutuhan kayu bakar penduduk desa. Rata-rata setiap keluarga selama empat hari membutuhkan satu pikul kayu. Jika diakumulasi per keluarga setiap tahun kebutuhannya mencapai 22,5 meter kubik. Setara dengan lima batang pohon berusia lima sampai tujuh tahun. Aktivitas mereka dianggap mengancam kelestarian hutan.
Sejak 2008, Slamet bersama para anggota kelompok tani membangun reaktor biogas dari plastik. Pada 2010 biogas telah mencapai 234 unit.Saat itu, katanya, sebagai pengenalan teknologi lantaran usia keekonomisan plastik terbatas. Setelah reaktor biogas dari plastik rusak dan mereka merasakan manfaatnya, selanjutnya membangun biogas fix dome berbahan beton.

“Bisa tahan sampai 20 tahun,” katanya. Setiap reaktor menghabiskan anggaran sebesar Rp 40 juta. Biaya besar namun terasa ringan setelah disediakan skema kredit melalui koperasi. Angsuran kredit dibayar setiap pekan melalui susu yang dihasilkan.
Fix dome pertama dibangun dari dana hibah perusahaan swasta nasional sebesar Rp 80 juta. Dana tersebut menghasilkan tiga reaktor, masing-masing kapasitas 20 meter kubik dan 30 meter kubik. Kini ada 158 unit reaktor dengan konstruksi fix dome.
Masyarakat tak bergantung bantuan pemerintah, lantaran KUD memberi skema pinjaman sejak lima tahun lalu. Ampas kotoran, setelah gas metana digunakan menjadi pupuk organik yang berguna menyuburkan tanah. Mereka manfatkan sebagai pupuk organik. “Biogas juga mengurangi konflik antar warga,” ujarnya.
Sebagian yang tak memiliki lahan, kadang membiarkan ampas kotoran sapi terbuang setelah digunakan biogas. Kini, masyarakat pelan-pelan berubah. Tak ada satu persen penduduk, yang mengambil kayu di hutan. Sedangkan sebagian memilih mengambil kayu bakar di kebun sendiri, mereka biasa menggunakan kayu bakar di tungku perapian untuk mengusir hawa dingin.
“Istilahnya api-api. Menghangatkan tubuh. Di sini dingin,” katanya. Maklum, Dusun Bendrong berada di ketinggian 600 meter di atas permukaan laur (m.dpl). Mereka sudah sadar tak mengambil kayu bakar di kawasan TNBTS maupun hutan Perum Perhutani.
Kebun warga mulai ditanami aneka tanaman keras. Lahan pertanian dan beragam vegetatif tumbuh subur. Setiap tahun mereka menanam aneka tegakan untuk menyimpan air. Paling banyak menanam pohon sengon, lantaran daunnya bisa juga dimanfaatkan menjadi pakan ternak. Sedangkan ranting menjadi kayu bakar.
“Dulu tiap hari, ingat saya sendiri sejak kecil kerjaannya mencari ranting pohon di hutan,” katanya. Di jalan, katanya, lalu lalang orang mengangkut kayu dipikul atau dipanggul. Kini, setelah dibangun biogas, penggunaan kayu bakar terus berkurang.
Mandiri Energi, Pangan dan Air
Slamet menegaskan paradigma masyarakat membangun biogas harus diubah. Bukan untuk menciptakan energi baru, namun yang utama mengatasi atau mengolah limbah kotoran sapi. Sedangkan kompos dan gas metana yang dihasilkan merupakan bonus. Memperbaiki sanitasi adalah yang utama.
“Kami punya impian biogas menjadi gerbang untuk mandiri energi, mandiri air dan pangan,” ujar Slamet. Penduduk juga telah memanfaatkan salah satu sumber mata air dari tujuh mata air yang ada. Selebihnya digunakan untuk irigasi persawahan warga. Air melintasi desa melalui sungai Claket, Danyang, Sumber Manten, Gading, dan Kedung.
“Dulu mandi di sungai. Sekarang telah mengalir langsung ke rumah,” ujarnya. Kini, melalui Himpunan Penduduk Pengguna Air Minum (HIPPAM) menyalurkan air ke rumah penduduk. Menggunakan jaringan perpipaan dan meter air, sehingga penggunaan air tercatat. Sebelumnya penggunaan air menjadi salah satu sumber konflik warga.
Tarif air ditetapkan secara progresif. Tarif per meter Rp 350 untuk penggunaan 1-20 meter kubik, sedangkan lebih dari 20 meter kubik sebesar Rp 400. Rata-rata kebutuhan air untuk warga yang memiliki tiga ekor sampai empat ekor membutuhkan sekitar 100 meter kubik per bulan.
Menurut Slamet menerapkan meterisasi air, membutuhkan perjalanan yang cukup sulit. Awalnya masyarakat menggunakan air tanpa batas. Kini, tiba-tiba dibatasi dan ditetapkan tarif progresif. Untuk menjaga sumber air agar tetap mengalir, mereka rutin melakukan penghijauan di kawasan tangkapan air. “Slogan kami menjaga hutan, merawat sumber air,” katanya.
Slamet mengaku masih dalam perjalanan mewujudkan mimpi mandiri energi, pangan dan air. Untuk itu, ia melakukan usaha regenerasi dan mengajak para petani muda terlibat dalam pengelolaan biogas dan pertanian berkelanjutan. Anak muda tergabung dalam Paguyuban Bakti Manunggal untuk kegiatan sosial dan Himpunan Pemuda Tani khusus anak petani.

“Mereka menjadi pelopor pertanian berkelanjutan,” ujarnya. Mereka rutin bertemu dan berdiskusi memecahkan masalah di desanya.
Regenerasi petani, dilakukannya di sela-sela aktivitas pertanian yang dilakoni menggarap dua hektare lahan pribadi dan seperempat hektare bermitra dengan Perum Perhutani. Lahan tersebut ditanami aneka tanaman mulai cabai, singkong, padi dan kopi. Serta tanaman buah seperti alpukat dan sirsak.
Ia mengatur pola tanam, sehingga ada siklus pendapatan yang rutin diperoleh. Lahan tersebut berada di 800-900 m.dpl. Semua dikerjakan usai salat subuh hingga dzuhur. Sedangkan usai salat maghrib ia mengajar di TPQ dan sekolah diniyah di musala setempat.
Slamet tak memelihara sapi. Sedangkan pasokan biogas yang digunakan berbagi dengan tetangga yang memelihara tiga ekor sapi, Slamet turut menikmati gas metana yang dihasilkan reaktor bervolume 30 meter kubik. Reaktor bisa dipakai lima keluarga. “Dihitung kebutuhan per keluarga 4 meter kubik gas metana,” ujarnya.
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur Purnawan Dwikora Negara menilai biogas di Bendrong memecahkan dua masalah sekaligus. Yakni masalah limbah kotoran sapi dan mengambil kayu bakar di hutan. “Biogas itu ide lama, tapi gagasan terus tumbuh dan berkembang,” katanya.
Kini, dibutuhkan konsisten untuk setia dan merawat biogas untuk memecahkan masalah yang ada. Kesadaran tersebut, katanya, harus dirawat dan Pemerintah Kabupaten Malang harus menggelorakan dengan mereplikasi di tempat lain. Mewujudkan desa berdaulat atau desa mandiri energi. “Apalagi lokasinya bersinggungan dengan kawasan ekologi,” ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Malang seharunys memberi penghargaan kepada penduduk yang menggunakan energi baru terbarukan tersebut. “Harus dirawat, jangan patah tumbuh, hilang berganti,” katanya.
Listrik Tenaga Sampah
Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang Renung Rubi menjelaskan di Kabupaten Malang total terbangun 2.600 rekator. Biogas dibangun oleh Dinas Cipta Karya, Dinas Peternakan, Dinas ESDM dan Hivos. Mereka memberikaan pendampingan dan pelatihan bekerjasama dengan industri pengolah susu dan KUD.
Sedangkan potensi biogas tinggi, dengan total hewan ternak mencapai 315.326 ekor. Potensi kotoran sebesar 189.196 meter kubik per hari atau setara dengan 42 juta liter minyak tanah. Dinas Lingkungan Hidup juga melaukan inovasi dengan menangkap gas metana di dua Tempat Pembuangan Sampah (TPA). Yakni di TPA Talangagung, Kepanjen melayani sampai 200 keluarga. dan TPA Poncokusumo memasok gas di 150 keluarga.
“Gas metana didistribusikan gratis. Pemerintah membangun jaringan dan memberi kompor,” ujarnya. Gas metana atau CH4 dimanfaatkan, katanya, karena 1 ton CH4 sama dengan 21 ton CO2 yang yang berpotensi merusak atmosfir. Sehingga penting untuk diolah agar tak mencemari. Atas inovasinya ini, Dinas Lingkungan Hidup meraih juara 3 Waste Energy yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018. Berhak mendapat hadiah senilai Rp 15 miliar. Berupa alat angkut antara lain dump truck lima unit, dua unit buldozer, conveyor dan dua eskavator.
Juga dibangun sebuah instalasi pengolahan limbah organik di Sub Terminal Agrobisnis, Pujon. Dibangun sebanyak lima reaktor yang menggunakan bahan baku sampah organik dan manur atau kotoran hewan. Sampah organik dihancurkan dan dimasukkan dalam reaktor. Proses fermentasi di dalam reaktor menghasilkan gas metanan yang digunakan menggerakkan generator. Listrik yang dihasilkan sebesar 30 kVA, digunakan untuk lampu penerangan.
Instalasi pembangkit listrik ini dibangun 2018 atas dana hibah dari PBB. Sejak setahun lalu telah operasional dengan kapasitas 2,7 ton per hari. “Sementara masih digunakan mengolah 800 kilogram per hari,” ujarnya.
Sedangkan ampas dari sayuran dan kotoran dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Limbah padat dan cair, katanya, juga dimanfaatkan. Sehingga tak ada sisa atau limbah yang dihasilkan dalam proses ini. “Zero waste. Tak ada yang terbuang, semua dimanfaatkan,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Malang juga tengah menjajaki kerjasama dengan perusahaan swasta asal Korea. Mengolah sampah menjadi kompos, dan mengolah sampah plastik. Kini, tengah disiapkan Letter of intent (LoI) antara Pemerintah Korea dengan Pemerintah Kabupaten Malang. “Juga akan dintegrasikan dengan pertanian organik,” ujar Renung.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup juga mengolah sampah kering terdiri atas kertas, plastik dan logam melalui Ngalam Waste Bank. Rata-rata setiap hari mencapai 44 ton sampah kertas dan plastik.Telah terbentuk sebanyak 250 unit tersebar di 33 kecamatan. Selain itu, dibangun 40 Tempat Pembuangan Sementara Reduse, Reuse, Recycle (TPS3R).
Sekretaris Pusat Pengkajian Energi Baru Terbarukan (P2EBT) Universitas Muhammadiyah Malang Achmad Fauzan HS mengatakan UMM telah beberapa kali mendampingi dan menjadi konsultan untuk menjajaki membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
“Survei dilakukan di sejumlah kota yang memiliki sampah organik besar. Antara lain Malang, Palu, Samarinda, Banyuwangi, dan Medan,” kata fauzan. Prosesnya, kata Fauzan, sampah organik dihancurkan dan masukkan ke dalam reactor hingga menghasilkan gas yang digunakan menggerakkan generator. Selain menghasilkan listrik. Juga menghasilkan kompos atau pupuk padat dan cair.
Namun, proyek dari perusahaan swasta nasional ini batal karena proses panjang, birokrasi berbelit dan tak ada jaminan dalam regulasi. Sedangkan secara teknologi telah dikuasai dan terus berkembang semakin efisien.
UMM juga mengembangkan varietas jarak pagar untuk bahan bakar nabati pengganti bahan bakar fosil. Sejak 10 tahun lalu, UMM telah meneliti dan mendaftarkan perlindungan varietas tanaman sebanyak 300 silangan. Pada 2021 akan didaftarkan 100 varietas. Sedangkan satu tanaman telah rersertifikat perlindungan tanaman. Kini tengah dilanjutkan penelitian jarak pagar untuk menghasilkan bio diesel dan pelumas.

Jalan, baca dan makan