Berguni: Berguru pada Petani

berguni-berguru-pada-petani
Ilustrasi : 123rf.com
Iklan terakota

Terakota.idPandemi corona model baru (covid-19) membawa dampak perubahan pada aspek kehidupan manusia. Uniknya, keberadaan pandemi covid-19 ternyata mempercepat revolusi digital yang sudah diprediksi satu dekade terakhir. Pakar Ekonomi dari Harvard University,  Clayton M. Christensen menamai fenomena ini sebagai fenomena disrupsi.

Temuan Christensen ini kemudian dikaji di berbagai perguruan tinggi dunia, termasuk di Indonesia. Proses digitalisasi dan kehadiran kecerdasan buatan yang masih dalam tataran ide, seolah dipaksa untuk segera diimplementasikan ketika pandemi melanda. Pada dasarnya memang covid-19 menyerang sektor kesehatan.

Namun ada dampak asimetris yang ditimbulkan, seperti sektor ekonomi, logistik, hingga pendidikan. Keharusan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar membuat interaksi fisik menjadi terbatas. Transaksi ekonomi berkurang, mobilitas bahan makanan terhambat, dan proses pembelajaran dilaksanakan di rumah. Kondisi ini sangat berbahaya dan harus ditemukan solusinya.

Solusinya Berguni

Profesi petani dapat menjadi kunci untuk menjembatani sektor ekonomi, pangan, dan pendidikan yang sedang mengalami kelesuan. Peran petani dalam hal pemroduksi pangan, harus didukung aktor utama dari dua sektor lainya yaitu ekonom dan pendidik. Gotong royong atau berkolaborasi dibutuhkan pada tahap ini. Salah satunya adalah dengan cara Berguni (berguru pada petani).

Petani diajak untuk menjadi guru dalam dimensi yang baru yaitu dimensi digital. Akademisi senior Universitas Indonesia, Prof Renald Khasali mengatakan bahwa manusia yang adaptif di zaman sekarang adalah manusia yang mampu hidup di dua zaman, yaitu zaman analog (manual) dan zaman digital. Manusia yang mampu membawa masa depan ke masa kini akan lebih diprioritaskan daripada manusia yang hidup di masa kini tapi tak bergegas dari pola lama.

Berguni merupakan strategi untuk membawa pola hidup petani masa depan ke masa kini dengan pengetahuan yang diperoleh petani sejak masa lalu. Sebelum masuk pada implementasi berguni, analisis permasalahan dan membedah realita di lapangan sangat diperlukan.

Analisis dapat dimulai dari kondisi petani dan sektor pangan. Sebelum pandemi melanda, petani bekerja di sawah yang berlokasi tak jauh dari rumahnya. Memanen sayur dan buah untuk kemudian didistribusikan pada distributor yang membawa hasil panenan tersebut ke kota. Namun ketika pandemi melanda, distribusi menjadi menurun sedangkan hasil panen tetap seperti biasa. Beberapa petani bahkan ada yang membuang sayur dan hasil panenan ini karena minimnya pembeli. Tenaga yang mereka lakukan untuk memproses tanaman sama, tapi hasil yang diperoleh berbeda.

Selanjutnya adalah sektor ekonomi yang jelas-jelas terdampak. Mobilitas akan terganggu karena setiap perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain harus membawa surat sehat hasil swab test atau rapid test seminggu terakhir. Biaya swab test dan rapid test juga tidak murah.

Itulah sebabnya para distributor hasil pertanian kesulitan menjangkau daerah-daerah yang berzona merah atau bahkan berzona hitam. Padahal, zona merah dan zona hitam yang merupakan kota utama tempat hasil pertanian dari para petani dipasarkan. Masyarakat di kota besar kesulitan memeroleh akses sayur dan buah dari hasil panen para petani di desa.

Sektor berikutnya adalah sektor pendidikan. Kebijakan menteri pendidikan untuk tetap melaksanakan sekolah dari rumah pada wilayah berzona hitam hingga kuning, dan pembukaan sekolah di zona hijau secara bertahap, membuat pendidik dan peserta didik membutuhkan materi yang kontekstual untuk menjawab permasalahan yang sedang dialami.

Materi-materi mengenai kesehatan terus menerus disosialiasikan oleh pihak kesehatan, tapi materi ketahanan pangan keluarga sering kali luput bahkan belum tersentuh. Padahal, ketahanan pangan merupakan permasalahan nyata yang dihadapi masayrakat. Meskipun dilaksanakan pembelajaran dari rumah, alangkah baiknya jika materi yang diberikan pada peserta didik mampu menjawab dan menjadi solusi permasalahan mereka sehari-hari.

Untuk dapat memperoleh materi-materi itu, maka di masa pandemi ini mereka dapat belajar langsung dari ahlinya yaitu petani. Petani memiliki pengalaman yang beragam dalam proses bertaninya. Bukan hanya sekedar teori, tapi mereka juga sudah pernah praktik di lapangan. Mengatasi gagal panen dan sejenisnya sudah dilalui.

Pengalaman ini alangkah baiknya apabila diajarkan pada masyarakat yang tinggal jauh dari khawasan pertanian. Masyarakat yang berumah jauh di khawasan pertanian perlu keterampilan bercocok tanam, minimal untuk menanam tanaman di halaman depan/halaman belakang rumahnya. Bagaimana dengan yang tinggal di apartemen? Mereka juga memerlukan kemampuan untuk memproduksi tabulampot atau tanaman buah dalam pot.

Masyarakat urban yang bertanam dapat saling menukar hasil tanamanya dengan tetangga atau lingkungan terdekat (minimal satu RT) sehingga ketahanan pangan dapat terbentuk. Itulah sebabnya mereka sangat membutuhkan ilmu dari ahlinya yang noatabene para petani.

Petani juga dapat membagi tenanganya karena hasil panen yang tidak semua didistribusikan. Mereka dapat bercocok tanam pada pagi hari dan mengajar secara daring pada malam hari. Para distributor bertugas untuk menyiapkan aplikasi daring atau rumah digital yang mempertemukan petani dengan masyarakat/peserta didiknya. Inilah yang disebut dengan strategi berguni.

Pembelajaran kontekstual tentang agrikultur harus diajarkan mulai tingkat dasar hingga menengah atas. Kemauan untuk bercocok tanam dan membuat bahan makanan alami, sehat, dan dapat diperbaharui harus didsosialisasikan pada masyarakat. Mulai dari pandemi ini, petani harus bersedia untuk  menambah kemampuanya khususnya komunikasi. Kedepanya ketika pandemi telah usai, kebiasaan baik ini tetap dapat diteruskan.

Kemampuan petani untuk bercocok tanam dipadukan dengan kemampuan komunikasi, akan membuat petani menjadi guru/tutor/pembimbing dalam hal pertanian bagi masyarakat yang membutuhkan ilmu pertanian. Kedepanya jika para petani bersemangat untuk meningkatkan kemampuanya, khsususnya dalam berbahasa, maka dia bisa mendapatkan konsumen hingga luar negeri. Konsumen petani menjadi beragam. Mereka bukan hanya mengonsumsi hasil pertanianya tapi juga merasakan dampak jasa pengajaran dari para petani Indonesia.