
Oleh : Nurudin*
Terakota.id–Pernahkah Anda kebelet mau buang air besar? Coba Anda rasakan sekali lagi sensasinya. Jika saat itu sedang Anda rasakan, Anda tentu tidak ingin menundanya, bukan? Berbagai cara pun akan dilakukan. Bahkan, saking kebeletnya seseoang akan buang air besar di pinggir jalan. Yang penting bisa buang hajat.
Sekarang katakanlah Anda kebelet mau buang hajat. Lalu Anda tergesa-gesa menuju toilet. Karena sudah kebelet, maka Anda harus mengeluarkan hajat di luar WC. Apa yang Anda rasakan? Plong. “Sesuatu” yang tertahan sekian menit akhirnya keluar. Saat itu mungkin Anda tidak peduli banyak orang yang melihat, yang penting bisa buang hajat.
Misalnya ada orang yang menegur, “Yang sopan sedikit dong. Masak buang hajat di luar WC? Lagian WC-nya itu kosong?”
Apa jawaban Anda? Tentu ada beberapa alternatif jawaban. “Maaf pak, saya benar-benar kebelet”, “Sori bro, sudah harus dikeluarkan, nih”, “Terserah saya, yang penting kan buang hajat saya tercapai”, “Apa pedulimu? Memang ada aturan tidak boleh buang hajat di depan pintu WC?” dan masih ada banyak alternatif jawaban yang mungkin keluar dari seseorang yang terpaksa buang hajat di luar WC.
Tetapi, meskipun secara etika itu tidak bagus, dalam arti menurut kesepakatan umum, toh seseorang dengan gagah berani tetap bisa buang hajat di luar WC. Atau seseorang itu sudah merasa buang hajat di dalam WC, sementara secara fisik ia ada di luar WC? Dia tentu tidak merasa malu karena yang penting buang hajat terpenuhi. Padahal Wcnya sedang kosong.
Pendukung Capres
Secara sederhana bisa dianalogikan, para pendukung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) agak mirip dengan orang yang buang hajat di depan WC tersebut. Analogi yang tidak seratus pesen benar, tetapi tidak begitu meleset.
Coba diperhatikan, Quick Count (QC) belum selesai tetapi pasangan 01 sudah euforia, seolah sudah menang. Lepas dari kepentingan yang ada, aktivitas ini terlalu dibesar-besarkan. Tanggapan bahwa QC tidak pernah meleset pun diyakini kebenarannya. Tidak salah, hanya jika berlebih-lebihan tentu tidak baik. Sikap jumawa pun kemudian ditunjukkan. Mengejek kelompok yang kalah dan memancing kebencian kelompok lain juga.
Kelompok yang merasa sudah menang ini tiba-tiba menjadi orang yang sok senang menasihati; “Mari jaga kesatuan”, “Sudahlah, yang penting bagaimana Indonesia ke depan”, “Jadi orang harus legowo”, “Bagaimana bangsa ini akan maju jika tidak terbiasa mengakui kesalahan?” dan kalimat-kalimat ideal lain. Ini khas, pernyataan pihak yang (seolah) sudah menang.
Kelompok 02 tidak jauh berbeda. Mereka justru mendeklarasikan kemenangan sepihak berdasarkan hitungan kelompoknya sendiri. Eufouria kemenangan sepihak, lalu mengadakan deklarasi kemenangan dengan mengumpulkan massa pun dilakukan. Sebagai kelompok yang kalah secara QC, tuduhan bahwa Pemilu curang pada penyelenggara “pesta demokrasi” itu pun dilakukan.
Kelompok ini khas dengan kata-kata, “Pemilu curang”, “KPU memihak”, “aparat tidak netral” dan kata-kata yang tentu terus memojokkan karena mereka ini merasa tidak mau kalah. Jadi, baik pasangan 01 atau 02 yang menang atau kalah, kata-kata di atas khas dipunyai oleh mereka yang merasa menang dan kalah. Seandainya 01 yang kalah dalam QC pun, akan keluar pernyataan sebagaimana yang dikatakan 02, begitu juga sebaliknya.
Yang jelas, siapapun yang menang saat ini, pihak yang kalah sulit menerima kekalahan. Sementara itu, pihak yang merasa menang biasanya akan merasa tinggi hati. Padahal Pemilu di Indonesia tahun 2019 ini didahului dengan perang opini. Sebut saja, istilah cebong dan kampret, khilafah, PKI, HAM, HTI, NKRI harga mati, people power dan lain-lain. Itu semua istilah-istilah yang memang sengaja dihembus-hembuskan bagi kepentingan elite politik. Mengapa selalu muncul menjelang Pemilu? Bukanlah itu sekadar perang opini untuk memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat?
Kemenangan hasil QC dari pasangan 01 juga tak jauh berbeda dengan usaha untuk menggiring opini tadi. Karena itu, maka pasangan 01 juga menyatakan kemenangan. Itu semua perang opini. Deklarasi kemenangan pasangan 02 juga bagian dari perang opini pula. Jadi, opini dibalas dengan opini. Ini sudah adil. Yang tidak adil, perang opini dibalas dengan tindak kekerasan. Sama dengan kasus saat kita tidak suka dengan buku tentu harus dilawan dengan buku pula, bukan dengan pemberangusan. Ini baru adil, bukan?
Maka, saling tuduh menjelang dan pasca Pemilu itu perang opini. Jadi, masyarakat tidak usah ikut-ikutan. Jika terpancing yang senang tentu elit politik yang sengaja membuat istilah untuk perang opini tadi. Mereka tentu sangat gembira karena memang itu tujuannya.
Ingatlah, bahwa Pemilu tahun ini merupakan kelanjutan perseteruan Pemilu tahun 2014. Tetapi ini kan pendapat normatif? Sebab, kenyataannya juga tidak mudah dilakukan. Bahkan, seorang guru sempat saya komentari statusnya di twitter karena menyebut kata “anjing”. Kalau guru, mungkin juga ustadz, dosen, pemuka pendapat sudah ikut-ikut mengeluarkan kata-kata kasar bagaimana dengan masyarakat umum yang membutuhkan panutan?
Mari Kita Tertawa
Orang menduga bahwa pasca tanggal 17 April 2019 semua persoalan selesai. Ternyata tidak. Para pendukung tetap saling memancing konflik. Yang merasa menang memancing kemarahan pihak yang dianggap kalah. Yang kalah selalu menyalahkan pihak yang merasa sudah menang. Jika begini keadaannya, sampai lima tahun mendatang persoalan tidak akan pernah selesai. Beranda media sosial juga akan terus muncul caci maki, saling sindir yang buntutnya memancing konflik.
Bangsa ini memang dituntut untuk berusaha mengekang diri. Mengekang diri merasa paling. Di sisi lain, kadang kenyataan itu juga menguntungkan. Bangsa ini dipaksa untuk bisa lebih dewasa ke depan. Bukankah pengalaman bangsa ini menunjukkan, kita baru mau bersatu jika ada musuh bersama? Apa Tuhan perlu menciptakan musuh bersama agar bangsa ini bersatu?
Jika demikian, akan mudah bagi“tangan Tuhan” untuk meminta negara asing menyerang habis bangsa Indonesia. Semua tentu akan bersatu. Mengapa Tuhan tidak melakukan itu? Tentu Ia punya alasan sendiri.
Bangsa ini biarlah mendarah daging dengan konflik yang diharapkan mampu mendewasakan diri di masa datang. Tuhan tentu sayang bangsa ini agar menjadi negara hebat di masa datang. Untuk menjadi hebat tidak ada pahlawan yang diciptakan dengan kemewahan dan tak ada penderitaan. Jadi tetap bersyukur dan iklas dengan segala masalah yang selama ini ada. Paling tidak, ini bisa menghibur sementara waktu. Harapan ideal dan optimisme ke masa depan tetap terus digaungkan.
Untuk sementara kita menikmati saja pemandangan semakin banyaknya pendukung Capres yang berkompetisi untuk buang hajat di depan WC. Mereka bersaing dan saling mengolok, sementara masyarakarat yang melihat tingkah lakunya tertawa terbahak-bahak karena buang hajat itu terkesan lucu dan dipaksanakan. Sementara mereka itu tidak sadar jika tingkah lakunya sedang menjadi bahan tertawaan orang di sekitarnya.

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Penulis bisa disapa lewat Twitter : nurudinwriter Instagram: nurudinwriter

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi