
Terakota.ID–Krisis Iklim telah terjadi di depan mata, hal ini dapat kita lihat dari beberapa fenomena yang terjadi selama 5 tahun terakhir ini. Merujuk pada wilayah Malang Raya dalam 5 tahun terakhir terjadi dua problem yang berkaitan dengan krisis iklim yakni bencana hidrometeorologi, baik banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.
Sepanjang 2019-2023 kejadian bencana cukup tinggi hampir pada wilayah Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu lebih dari 30 lebih kejadian bencana longsor dan banjir, disusul dengan kebakaran hutan dan lahan yang melahap sepanjang Arjuno-Welirang sekitar 4.800 hektar, lalu kekeringan hampir terjadi di lebih dari 15 desa di Kabupaten Malang dan mengancam hampir seluruh desa/kelurahan di Kota Batu.
Kondisi ini menandakan jika wilayah Malang Raya tengah menghadapi situasi yang tergolong kritis dalam konteks krisis iklim. Setiap tahun tiga wilayah yakni Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu selalu dalam situasi tanggap bencana, dan dalam 5 tahun ini semakin rentan kondisinya. Krisis iklim yang mendorong bencana tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya persoalan alih fungsi kawasan, baik kawasan hutan maupun kawasan resapan, sampai faktor aktivitas ekonomi. Krisis ini sifatnya kumulatif, meningkat seiring dengan daya tampung dan daya dukung yang semakin berkurang fungsinya.
Salah satu yang tampak di wilayah Malang Raya adalah mulai beralih fungsinya kawasan hutan di Kabupaten Malang dan Kota Batu menjadi lahan pertanian semusim. Khusus untuk wilayah Kota Batu persoalan alih fungsi lahan juga didorong masifnya ekspansi industri wisata yang merangsek masuk ke kawasan hutan selain juga telah melahap kawasan pertanian dan resapan. Sementara di wilayah Kota Malang meningkatnya sektor jasa telah mendorong alih fungsi masif pada kawasan resapan, termasuk ruang terbuka hijau yang semakin hari semakin menyusut, ditambah juga tidak jelasnya jumlah RTH di Kota Malang yang menunjukkan bahwa belum ada keseriusan dalam memetakan luasan RTH.
Problem di atas menjadi catatan penting melihat bagaimana kondisi terkini pada wilayah Malang Raya yang mana krisis iklim semakin diperparah dengan kondisi eksisting tata ruang di wilayah Malang Raya yang kian berubah, terutama untuk memfasilitasi perluasan ekonomi. Tetapi persoalan tata ruang ini belum dilihat dalam kerangka utuh terutama aspek ekosistem atau dalam hal ini berkaitan dengan daya dukung dan daya tampung kawasan. Terlebih alih fungsi yang terjadi pada wilayah Malang Raya berangkat dari tidak dijalannya aturan tata ruang yang ada serta kebijakan lingkungan yang menunjang penegakkan pengaturan dan pengelolaan tata ruang.
Pada konteks ini pemerintah di wilayah Malang Raya belum memiliki perspektif yang berkelanjutan dalam pengaturan tata ruang, yang nanti turunannya akan menyasar pada persoalan ekonomi, pengaturan kawasan lindung sampai dalam hal ini konteks sosialnya. Di mana untuk menjawab problem krisis iklim berupa bencana hidrometeorologi masih sangat betonisme, semisal menjawab banjir masih pada bagaimana membangun bangunan fisik, normalisasi dan betonisasi saluran air. Meski pada tren 2022 ke 2023 ini sudah memiliki perspektif penataan ekosistem, seperti rehabilitasi kawasan hutan dan kawasan saluran air, meski masih minim dan cenderung seremonial.
Meski begitu, persoalan penting yang tengah terjadi di wilayah Malang Raya terkait tata ruang adalah tidak adanya political will dan kesadaran politik lingkungan pada stakeholder baik level pemerintah kabupaten/kota dan legislatif daerah di wilayah Malang Raya. Selain lemah dalam penegakkan aturan tata ruang dan lingkungan, mereka tidak memiliki imajinasi penataan ruang yang sejalan dengan kondisi terkini dari kawasan yang mereka kelola. Hal ini tampak dari revisi peraturan tata ruang di Malang Raya yang semua langgamnya sama, yakni tata ruang mengikuti aktivitas ekonomi, bukan aktivitas ekonomi yang mengikuti tata ruang sebagaimana prinsip tata ruang yang berkelanjutan.
Melihat kondisi tersebut maka cukup mustahil penanggulangan krisis iklim dalam hal ini bencana dapat dilakukan, yang terjadi sebaliknya bertahan dan terus bertahan menghadapi bencana. Korban terus bertambah, kerugian semakin besar, pelan-pelan ekonomi pun akan terdampak. Ke depan menjelang pemilihan umum daerah, memang perlu di sini mendorong calon pemimpin yang memiliki political will yang mampu mendorong kebijakan pemulihan bukan betonisasi atau mengupayakan penguatan dan perlindungan daya tampung serta daya dukung kawasan dalam bingkai nature based solution atau solusi alamiah dalam menanggulangi bencana seperti pemulihan kawasan dan perluasan ruang terbuka hijau.
Karena yang dibutuhkan sekarang bukan pemimpin yang sering menormalisasi bencana terutama akibat krisi iklim sebagai takdir atau menyalahkan alam dan penciptanya, berupa political correctness yang selalu menyalahkan alam dan warganya tanpa mau berbenah, mencoba dan melakukan inovasi dalam konteks pemulihan kawasan, pencegahan bencana dan pembangunan berkelanjutan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur