Belajar Waras dari Hemingway dan Belajar Sabar dari Presiden

Iklan terakota

Terakota.id–Ketika ayahnya meninggal bunuh diri, ia telah berusia tiga puluh tahun, usia yang cukup matang untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah pistol menjadi satu-satunya warisan untuknya. Dan Tiga puluh tahun kemudian, di suatu hari di musim gugur bulan Juli tahun 1961, ia mengambil pistol itu, mengisinya dengan peluru, lalu menembak pelipisnya sendiri. Ia roboh mengikuti jejak ayahanya.Ini bukan fiksi.

Tapi, inilah akhir hidup salah seorang penulis fiksi terbaik di dunia, Ernest Hemingway. Ia pemenang hadiah Pulitzer, penghargaan paling bergengsi di bidang jurnalisme di Amerika Serikat, tahun 1953. Dan di tahun berikutnya, 1954, ia adalah peraih Nobel Kesusasteraan.

Jalan kematiannya adalah puncak titian kesunyian hidupnya yang tak perlu dicampuradukkan dengan karyanya. Ia tetap layak dipanggil sebagaimana Gabriel Garcia Marquez muda menyerukan namanya dengan percampuran rasa kagum, hormat, sekaligus gugup ketika melihatnya melintas di seberang jalan di Paris.

“Maestro!” teriak Marquez, sastrawan Amerika Latin yang mendukung revolusi Kuba dan gerakan rakyat Chile. Bagi Marquez, dalam salah satu wawancara mengatakan, revolusi tak lain adalah, “pencarian kebahagian lewat jalan kebahagian kolektif, yakni satu-satunya kebahagiaan yang adil.” Pada 1982, Marquez memperoleh anugerah yang sama dengan Sang Maestro, Nobel untuk Kesusasteraan.

Sastrawan Indonesia, AS Laksana, seperti halnya Marquez, mengagumi Hemingway. Kata AS Laksana, dalam rangka membangun pertemanan dengan orang-orang terbaik, salah satu yang dia inginkan ialah bisa menjadi rekan berburu dan memancing Hemingway.

Mungkin dengan begitu, AS Laksana akan dapat bertanya dan belajar banyak hal dari Hemingway. Sekaligus membuktikan salah satu nasehatnya yang penting bagi siapa saja yang ingin menjadi penulis besar: menemukan mentor. Hemingway bisa jadi merupakan salah satu mentor yang dipilih dalam laku kepengarangan AS Laksana. Dan bagi kita, saya kira keduanya layak dijadikan mentor ketika ingin belajar menulis dengan baik.

Hemingway dikenal dengan gaya menulisnya yang khas. Ia mengaku selalu berusaha menulis dengan prinsip gunung es (the iceberg). Dalam Death in The Afternoon, Hemingway mengatakan: “Keagungan gerak gunung es terjadi karena hanya seperdelapan bagiannya yang muncul di atas air.” Artinya, apa yang tampak dan tersorot hanyalah bagian kecil dari apa yang tersembunyi dan tersirat.
Seni bercerita Hemingway ini mengundang kesulitan sekaligus daya tarik.

Bagi pembaca, karya Hemingway tidak menyodorkan sajian cerita yang siap santap. Hemingway tidak membabar atau mendeskripsikan panjang lebar karakter, alur, latar, tokoh, konflik, maupun tema dalam cerita. Ia memilih membungkus apa yang hendak ia sampaikan dengan memainkan bahasa-bahasa yang simpel, gambaran singkat, relasi antar tokoh, atau menggunakan alusi-alusi tertentu.

Melani Budianta dalam pengantar kumpulan cerpen Hemingway, Salju Kalimanjaro, menggolongkan karya Hemingway sebagai, meminjam istilah yang dikemukakan Roland Barthes, teks yang writerly. Teks yang mengundang pembacanya untuk ikut menulis, mengisi makna, dan interpretasi di antara atau di balik kalimat-kalimat yangt tersedia.

Seperti dalam cerpennya yang terkenal, Hills Like White Elephants. Di sana Hemingway tidak mendeskripsikan panjang lebar tokohnya. Ia juga tidak menyodorkan begitu saja konflik di antara tokohnya. Dalam cerita itu, melalui permainan suasana, dialog, dan simbol, banyak yang menafsirkan bahwa sebenarnya Hemingway sedang menyajikan cerita dua orang, laki-laki dan perempuan, yang sedang terlibat pembicaraan serius mengenai rencana aborsi. Dan tidak ada satu pun kata aborsi di dalam cerita. Konflik menegang dan terurai begitu saja selaras dengan dialog kedua tokoh. Dengan bahasa yang efektif dan simpel, dialog samar-samar yang dibangun Hemingway berhasil menopang dan menggerakkan keseluruhan cerita.

***

Mula-mula, saya mengenal Hemingway di sebuah kedai kopi di Kota Malang melalui noveletnya yang masyhur, Lelaki Tua dan Laut, yang terpajang di salah satu sudut kedai. Sampulnya hitam. Dan saya tergerak mengambil buku itu lebih karena alasan yang sangat sederhana: ada keterangan peraih Nobel di sampulnya. Bagi seorang pembaca pemula dengan referensi bacaan terbatas, keterangan semacam itu seperti mantra pengasihan yang tanpa sadar menumbuhkan daya tarik.

Saya mengambil buku itu, menyandingkannya dengan kopi dan kretek di atas meja, lalu membuka dan membacanya pelan-pelan. Pelan sekali. Kalimat-kalimatnya membuat saya garuk-garuk kepala. Alot dicerna. Meski saya sudah berusaha mengulangi membaca beberapa kali. Dan baru beberapa lembar, akhirnya saya menyerah. Saya tutup buku itu dan mengembalikannya ke rak buku tanpa kesan baik yang membekas.

Beberapa waktu kemudian, ketika membaca terjemahan versi lainnya, saya baru menyadari bahwa kualitas terjemahanlah yang menjadikan perkenalan saya dengan Hemingway berlangsung buruk. Begitulah kadang kala nasib pembaca karya terjemahan. Dan saya sepakat dengan pesan AS Laksana di salah satu laman facebook-nya : “Jika ada kalimat yang terdengar janggal, sudah pasti penerjemahnya keliru. Perbaiki saja kalimat itu.”

Prinsip gunung es Hemingway telah mengilhami saya untuk berusaha berpikir waras. Pada Pilpres 2019, ketika dua kubu beserta tim soraknya begitu bising, saya memilih golput. Saya tak percaya keduanya. Apa yang ditampilkan dan disorot dari kedua kandidat hanyalah permukaan gunung es yang tidak layak dipercaya begitu saja. Masih banyak dimensi yang mereka pendam dan simpan.
Jika saja para tim sorak itu berpikiran waras, tentu saja sekarang mereka malu.

Kedua kubu yang dulu mirip air dan minyak yang seoalah tidak dapat disatukan karena perbedaan visi dan misi politiknya, sekarang bersatu padu dalam satu kepemerintahan. Calon yang konon bakal bertungkus lumus mendukung agenda pemberantasan korupsi, justru tampak loyo dan membiarkan begitu saja KPK dilemahkan sistematis: baik regulasi maupun para pimpinannya.

Beda lagi jika para tim sorak itu memang memilih untuk terus menerus membohongi diri sendiri. Mereka akan terus menerus memilih hidup seperti buzzer, tiang listrik yang memegang ponsel dan surplus kuota internet.

Saya heran bagaimana dulu banyak orang percaya begtitu saja terhadap kandidat yang diklaim peduli HAM dan wong cilik, hanya berdasarkan rekam jejak personal yang terputus dari kejahatan HAM masa lalu. Tanpa menelisik dan melihat siapa partai, kalangan, dan konglomerat yang ada di sekitarnya.

Syekh Az-Zarnuji telah mewariskan syair yang indah dalam Ta’lim Muta’alim: “‘Anil mar’i laa tas’al was al ‘an qorinihi# fa innal qoriina bil muqorini yaqtadi.” Ia berpesan untuk melihat seseorang, salah satunya, berdasarkan siapa saja orang terdekatnya. Dalam konteks politik, siapa yang menjadi sekutu politiknya. Bagaimana mungkin menaruh harapan terhadap kandidat untuk peduli dan menuntaskan kasus HAM masa lalu, sementara ia bersekutu mesra dengan para pelaku dan pelanggar HAM.

Dari prinsip gunung es Hemingway, kita dapat belajar mencerna laku para pejabat agar tidak dikibuli berkali-kali lalu kecewa. Dan kecewa lagi. Dengan prinsip tersebut kita bisa paham bahwa yang dikatakan Presiden ketika penanaman pohon untuk menjaga alam sekadar basabasi receh belaka. Pasalnya, penanaman satu dua pohon itu hanya menyembunyikan jutaan pohon yang ditebang dan dibakar hangus, sungai serta mata air yang rusak, termasuk ribuan bahkan jutaan keluarga yang terusir akibat tambang dan investasi lain yang kalap.

Dari Hemingway kita bisa belajar waras membaca realitas. Dan dari Presiden, kita bisa belajar sabar melihat dusta.