Oleh : Profesor Hariyono
Terakota.id–Supaya energi bangsa lebih maksimal untuk memajukan bangsa sejarah memang perlu ditulis secara sugestif dan inspiratif tanpa perlu memanipulasi data yang ada. Tatkala sejarah yang penuh dendam lebih dominan maka proses integrasi bangsa mendapat ancaman. Masing masing pihak susah mengenal dan memahami posisi dan atau perspektif lain. Energi bangsa tidak dapat dimanfaatkan untuk fokus pada problem kekinian dan masa depan.
Belajar peristiwa masa lampau untuk melampaui masa lalu membutuhkan kedewasaan. Memaafkan itu secara psikologis sangat lebih bermanfaat bagi yang memaafkan bukan yang dimaafkan. Beban dendam dan amarah yang hilang menjadikan beban psikisnya lebih ringan dan kita lebih sehat dan dewasa. Untuk itulah mereka yang bisa belajar dari sejarah dapat menjadi lebih bijak.
Sekiranya ada kecurigaan akan munculnya ideologi komunis atau yang lain untuk mengganti Pancasila seyogyanya didasarkan pada data dan sumber yang jelas. Orang atau kelompok yang menghidupkan ideologi terlarang dilaporkan pada aparat penegak hukum.
Hal ini penting karena sering kali ada isu dan aktivitas ideologis yang digiring oleh kekuatan tertentu. Disertasi pak Busro Muqoddas yang sudah dibukukan, Rezim Intelijen, salah narasi yang menarik. Bagaimana kekuatan Islam tertentu justru dikelola oleh kelompok tertentu untuk tunjukkan bahaya ekstrem kanan.
Lha kalau saya lihat peristiwa 1965 itu unik. Pertama ada penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa perwira Angkatan Darat (AD). Kemudian ada wacana bahwa apa yang dilakukan Kolonel Untung dilakukan oleh PKI. Kemudian ada gerakan penangkapan dan atau pembunuhan terhadap orang PKI atau diduga PKI. Eksponen Islam dan Nasionalis ikut terlibat seusai dengan peran di daerahnya masing masing. Kemudian PKI sebagai partai dinyatakan terlarang.
Setelah komunis selesai, giliran orang nasionalis yang ditangkap, disisihkan dan ditahan. Tudingan dan atau stigma Sukarnois digencarkan karena ada tuduhan Presiden Sukarno terlibat dalam pemberontakan. (Terasa lucu secara logika kalau pemberontakan itu upaya merebut kekuasaan. Lha Presiden Sukarno itu kan penguasa. Masak penguasa ingin merebut kekuasaan).
Setelah kelompok komunis habis, kelompok nasionalis termarginalkan ternyata eksistensi kelompok Islam juga dipersulit. Usulan untuk mendirikan partai Islam, termasuk yang diusulkan ketuanya Bung Hatta ternyata tidak bisa alias dilarang. Posisi kelompok Islam di tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an sering dideskriditkan.
Lalu Siapa yang Bermain dan Mengendalikan Permainan Politik Ini?
Tapi yang jelas pasca 65/66 modal asing makin intensif masuk ke Indonesia. Kekuatan dan pengaruh negara negara kapitalis melalui IGGI begitu kuat. Indonesia seolah olah menjadi bagian negara peri peri kekuatan kapitalis.
Ironisnya di akhir tahun 1990-an Indonesia dipojokkan oleh negara negara kapitalis, terutama Amerika dan Australia. Bahkan mereka melakukan embargo militer. Kekuatan militer dideskriditkan dengan tuduhan melanggar HAM dan intervensi ke Timor Timur.
Uniknya sampai saat ini kesadaran kolektif untuk saling curiga antar elemen (yang diduga) komunis, nasionalis dan Islam hingga militer masih kuat. Meminjam istilah J. Habermas telah terjadi distorsi komunikasi yang sistemik.
Memang tidak mudah untuk menyatakan siapa yang salah karena peristiwa 65/66 itu kompleks. Mungkin juga masing masing pihak tidak menyadari bagaikan mengikuti genderang yang ditabuh orang lain.
Melihat kasus ini secara makro kita berpeluang melihat dari pelbagai sisi, termasuk sisi yang selama ini kita anggap salah. Kita berpeluang menjadi bijak dan dewasa.
Memperlakukan elemen bangsa secara adil dan beradab merupakan prasyarat untuk merajut Persatuan bangsa yang berbasis pada ideologi Pancasila guna menggapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
* Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan pakar sejarah.
Merawat Tradisi Menebar Inspirasi