Adi Pramana, lima tahun, tengah memmpin agar dapat akomodasi. Ya sudah. (Terakota/ Givari Jokowali).
Iklan terakota

Reporter : Givari Jokowali

Terakota.id–Sekitar 100 an pelajar berjalan, berbaris rapi menuju situs Sumur Windu Ken Dedes di Polowijen Kota Malang, Jumat 7 September 2018. Mereka duduk bersimpuh di bawah sebuah di joglo sekitar situs. Pemuka agama setempat mempimpin doa. Memanjat doa agar workshop permainan tradisional berlangsung aman dan lancar.

Mereka adalah siswa Sekolah Dasar Muhamadiyah 8 KH. Mas Mansur  Kota Malang. Isa Wahyudi alias Ki Demang salah satu penggagas Kampung Budaya Polowijen melontarkan pertanyaan, “apakah ada yang tahu siapa Ken Dedes?” tanya Isa.

Namun mereka kompak menggelengkan kepala. Sebagai tanda, mereka tak tahu siapa Ken Dedes. Ternyata selama ini, para pelajar kelas 4 ini belum pernah menerima pelajaran sejarah Kerajaan Singosari dan Ken Dedes.

Mereka takjub dan serius mendengarkan kisah Ken Dedes, apalagi mereka tinggal tak jauh dari lokasi situs. Ken Dedes diyakini masa kecil hidup di kampung Polowijen. Sayang, mereka tak mengenal secara dekat sejarah kampungnya.

Usai merapal doa, para pelajar disuguhi pertunjukan seni tari topeng. Adi Pramana, lima tahun, yang tengah duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Namun, gerakan tarian luwes mengikuti irama gending. Menari sembari mengenakan tipeng Bapang, topeng berwarna merah dan berhidung panjang.

Adi sangat percaya diri dan menjiwai saat menari. Spontan anak-anak lainnya, ikut menirukan setiap gerak tari yang disuguhkan Adi. Mereka tampak tertarik untuk belajar dan mengikuti gerak tari tarian topeng Malang. Tari topeng Malang menceritakan kisah atau epos Panji Asmarabangun.

Bermain Permaianan Tradisional

Tak sabar, para pelajar ingin memainkan aneka permainan tradisional. Beragam permainan yang kini jarang dimainkan anak-anak. Masa anak-anak merupakan masa bermain yang kelat dengan permaianan yang mengasyikkan. Permaianan engklek, egang, klompen, dakon, lompat tali, dan ular tangga raksasa.

“Permainan tradisional ini dulu dimainkan orang tua mereka saat kecil,” ujar Isa. Selain itu,  mereka juga belajar memainkan aneka instrumen tradisional seperti kentongan. Mereka tampak antusias mengikuti setiap gerak dan belajar bermain bersama. Selama dua jam, mereka berkutat dengan permaianan itu. Seolah lupa waktu.

“Meraka belajar juga sambil bermain. Terutama permainan tradisional,” kata guru pendampung, Rena Tyas Harsiwi. Ia mendampingi para siswa agar terus meningkatkan kreativitas. Agar kelak turut melestarikan permainan tradisional tersebut.

“Permainan tradisional tergeser gawai, karena perkembangan teknologi masa kini,” kata Rena.

Para pelajar berlatih keseimbangan memainkan permainan tradisional egrang. (Terakota/Givari Jokowali).

Permainan engklek, misalnya, mudah dilakukan dan menggunakan alat yang ada di sekitar kita.

Tanpa biaya, dan memanfaatkan lahan terbuka untuk bermain. Permaianan ini mengajarkan kejujuran ketangkasan, kejujuran dan kerjasama.

Sedangkan permainan egrang, menggunakan sebatang bambu sepanjang 2,5 meter. Sekitar 50 centimeter dari bawah dibuatkan pijakan kaki. Permainan ini bisa dimainkan di mana saja asal lahan luas. Untuk bermain dibutuhkan keseimbangan tubuh agar bisa naik dan berjalan.

Meski sering terjatuh, namun anak-anak puas dan menyukainya. Sedangkan permainan klompen, atau terompah biasa dimainkan bertiga atau lebih. Sebuah terompah panjang, untuk bermain harus kompak. Agar terompah bisa berjalan lincah dan cepat.

“Permaianan ini adu kekompakan tim,” kata Isa.

Puas bermain, mereka bermain alat musik perskusi. Mulai jimbe sampai kentongan. Mereka memukuli instrumen musik yang eksotik.  Gelak tawa anak-anak ikut memeriahkan situasi workshop permaianan tradisional ini.

Workshop ditutup dengan tarian kolosal. Agar pelajar semangat belajar budaya dan tradisi leluhur. Meski gerakan tak luwes, mereka tetap mengikuti gerak tari sang penarik cilik, Adi Pramana.

Para pelajar kompak, setelah para para guru pendamping, warga sekitar, dan juga beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang turut menari bersama. Mereka menari tari topeng Bapang.

Tak terasa berjam-jam mereka berkutat dengan aneka permaianan di Kampung Budaya Polowijen. Mereka seolah tak ingin meninggalkan Kampung Budaya Polowijen dan terus bermain bersama.

 

1 KOMENTAR