Bekerja Sama dengan Kecerdasan Buatan

bekerja-sama-dengan-kecerdasan-buatan
Iklan terakota

Terakota.id–Tidak jarang kita temukan para publik figur sering mendokumentasikan kegiatanya melalui kanal Youtube. Media ini sudah bukan lagi menjadi media alternatif yang posisinya mendampingi media arus utama, melainkan menjadi lahan basah bagi mereka untuk mendapat rezeki sekaligus mendulang karya. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelegence) serta semakin masifnya keberadaan telefon pintar dalam genggaman manusia merupakan penyebab utamanya.

Nazriel Irham atau Ariel Noah pernah menyarankan agar media sosial masuk dalam kurikulum sekolah. Selain itu, Atta Halilintar yang dijuluki King of Youtube Indonesia juga sedang marak dikaitkan dengan dunia pendidikan semenjak namanya digunakan dalam soal ujian tingkat sekolah dasar. Ada juga perguruan tinggi yang memiliki ketentuan unik yaitu dengan ketentuan jumlah subscriber youtube untuk masuk jalur undangan. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa masifnya teknologi kecerdasan buatan sudah tidak lagi dapat dibendung.

Kecerdasan buatan sesungguhnya bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Sejak ditemukan dan digunakannya sempoa, kecerdasan buatan sudah mulai muncul. Sempoa kemudian berkembang menjadi kalkulator sederhana para pedagang, jam digital, hingga algoritma-algoritma lain yang semakin lama semakin maju.

Dr. Ryu Hasan, pakar neurosains mengatakan bahwa pada dasarnya pikiran manusia merupakan modulasi algoritma yang saling terkoneksi dalam otak. Di era maraknya perkembangan kecerdasan buatan ini, diperlukan kerjasama pikiran manusia dengan teknologi kecerdasan buatan. Ryu Hasan bahkan mengatakan bahwa secara global agenda manusia sudah berubah. Tidak lagi melawan kelaparan, infeksi dan perang melainkan mencari kebahagiaan dan kesejatian (imortalitas).

Merangkul kecerdasan buatan

Bersahabat dengan kecerdasan buatan memang sangat diperlukan. Menganggap teknologi kecerdasan buatan tidak ada atau bahkan memusuhinya adalah kesalahan besar. Pola interaksi manusia juga dipengaruhi oleh kecerdasan buatan. Mengedukasi masyarakat sejak dini tentang keberadaan kecerdasan buatan dan tidak menutup-nutupinya adalah cara yang dapat dilakukan.

Disadari atau tidak, komentar yang dilontarkan oleh warganet di media sosial sangat beragam. Emosi merupakan landasan utamanya. Apabila masyarakat tidak diedukasi tentang kecerdasan buatan, maka bisa saja pola pergaulan dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan yang serba imajiner ini juga dilakukan dalam kehidupan nyata.

Dalam media sosial, manusia bisa menghapus pertemanan, tapi dalam dunia nyata tentu hubungan dengan tetangga tidak bisa dihapus begitu saja. Demikian pula dalam pergaulan di kantor, dan di sekolah. Kita tidak bisa menghapus pertemanan dengan teman seruangan kita, teman sekelas kita. Edukasi yang humanis dalam bemedia sosial dan memanfaatkan kecerdasan buatan merupakan soslusi yang dapat dilakukan.

Youval Noah Harari bahkan memperdiksi bahwa akan terjadi ketidakseimbangan apabila kecerdasan buatan ini tidak disikapi dengan bijak. Ketidakseimbangan tersebut terjadi secara mencolok antara negara maju dan negara tertinggal. Ketika masyarakat negara maju berloma-lomba untuk menginovasi teknologi kecerdasan buatan dan semakin ingin dianggap sebagai yang pertama. Maka nasib negara tertinggal semakin jauh tertinggal. Harari bahkan berkata bahwa ketika orang di negara maju itu sedang emosi maka dia hanya tinggal klik saja dan perubahan akan terjadi. Hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat yang hidup di negara tertinggal.

kisspng.com

Teknologi kecerdasan buatan akan menjadi sebuah sistem yang totalitarian apabila tidak dikaitkan dengan kebijakan dan norma-norma edukatif yang mengatur tentangnya. Jika terus menerus dikembangan tanpa diimbangi dengan edukasi yang humanis maka kecerdasan buatan akan jauh lebih kejam dari era kolonialisme. Pada era kolonialisme, manusia dikuasai secara fisik dan diambil hak asasinya secara nyata.

Pada era kecerdasan buatan, menguasai manusia beserta hak asasinya akan dapat dilakukan secara kasat mata. Privasi hingga selera manusia pun juga dapat dikuasai dengan mudah. Penguasanya adalah manusia yang memiliki kecerdasan algoritma dan kemampuan menggunakan teknologi di atas rata-rata. Contoh yang dapat dirasakan adalah hoaks diciptakan, penyadap digunakan secara diam-diam. Hingga senjata pemusnah berbasis kecerdasan buatan pun sudah mulai marak diproduksi. Oleh sebab itu, edukasi dan penanaman kesadaran pada manusia tentang keberadaan kecerdasan buatan harus segera diterapkan.

Dalam bidang pendidikan, anak-anak sejak usia SD harus dibiasakan untuk bermedia secara sehat. Melarang anak untuk membawa telepon pintar sudah bukan lagi solusi. Sensor yang digunakan sudah beda. Jika dulu, sensor dilakukan dengan cara melarang atau menutup maka di era teknologi yang serba cerdas ini, cara tersebut tidak berlaku. Generasi Z dan A yang sangat akrab dengan teknologi dibandingkan dengan gurunya, akan semakin banyak menemukan beragam gembok untuk membuka sensor dan melanggar peraturan yang telah diterapkan.

Sensor yang harus dilakukan adalah dengan cara menanamkan kesadaran moral pada penggunaan kecerdasan buatan. Menyadarkan perilaku baik dan tidak baik. Memberikan contoh contoh secara gamblang pada remaja beserta dampak yang ditimbulkan, serta memberikan contoh-contoh memanfaatkan kecerdasan buatan secara lebih positif merupakan keunutungan yang diperoleh. Cara demikian jauh lebih efektif daripada sekedar melarang atau menutup-nutupi. Sudah saatnya teknologi kecerdasan buatan diajak bekerja sama, bahkan dirangkul demi mewujudkan generasi bangsa yang cerdas  dan bermartabat.