
Om awighnam astu namas siddham.
Nihan katuturanira Ken Angrok.
Mulanira duk ………..
Terakota.id–Dalam dunia kedokteran, salah satu upaya medis untuk menangani penyakit adalah melalui metode “Bedah Medis”. Metode yang serupa bukan tidak mungkin untuk diterapkan dalam telaah historis, yang dinamai “Bedah Historis”. Yang dibedah antara lain ada sumber sejarah (historical resource) -nya, guna mengeluarkan data masa lalu yang tersuat ataupun tersirat di dalamnya. Bedah historis yang demikian berfaedah untuk eksplorasi data dan fakta sejarah guna kepentingan rekonstruksi historis.
Salah satu jenis sumber sejarah adalah sumberdata tekstual, baik yang berupa prasasti, susastra, arsip, notulen, Terkait dengan sumberdata susastra, tidak semua masa memiliki sumberdata susastra yang sama kayanya. Era kerajaan Singhasari atau Tumapel misalnya, tak banyak meninggalkan karya sastra kepada kita. Kalaupun ada susastra yang memberitakannya, susastra itu ” diakronis”, yakni berasal (ditulis) dari/pada beberapa abad pasca Singhasari, misalnya susastra gancaran Pararaton, kakawin Nagarakretagama.
Boleh dibilang, Pararaton — khususnya pada paruh pertama pustaka ini, adalah susastra yang terinci memberitakan tetang peristiwa di masa Tumapel. Oleh karena itu, penting artinya untuk dieksplorasi guna “mengeluarkan fakta historis” dari paparan Pararaton, yang di sejumlah bagiannya bercorak mistis.
Sifatnya yang demikian bisa difahami, mengingat bahwa (1) ketika susastra ini dituliskan (dilitersisasikan) pada abad ke-16, peristiwa di era Tumapel telah berlalu 2,5 sampai 3 abad sebelumnya. Sehingga kala itu kisah tentang peristiwa-peristiwa di masa Tumapel telah berwujud sebagai “tradisi lisan (tutur)” yang ada potensi “bias”-nya; (2) pada abad XVI Masehi dan sekitarnya, adalah lapis masa dimana dunia mistis terbilang tumbuh cukup subur di Jawa.
Oleh karena itulah, mesti dilakukan upaya “filtering’, untuk “menyaring fakta” dari dalam kitab susastra. Hal itu tak mudah dilakukan, sebab membutuhkan pengkajian komparatif, yakni dengan komparasikan terhadap sumber-sumber data historis, arkeologis, paleo-ekologis, toponimis, mauoun filologis. Untuk maksud itulah, kami mengagendakan “Bedah Kitab Gancaran Pararaton”,, bagian demi bagian, secara mendetail serta mendalam, guna menangkap fakta sejarah dari data sastra.
Boleh jadi, upaya ini butuh waktu hingga cukup lama, beberapa kali pertemuan, yang sedianya dilakukan pada setiapi Sabtu Kliwon. Sesuai dengan harinya, sarasehan dinamai dengan “Ngaji Budaya TUWON (Sabtu-Kliwonan) “. Serupa dengan agenda bulanan pada acara “mocopatan” di Jawa atau “mabasan” di Bali. Suatu telaah susastra yang bermakna.
Warga Malang Raya khususnya — yang merupakan “pewaris” peradaban Singhasari, semestinya paham dan sadar. Terlepas dari beberapa kekurangannya sebagai sumber sejarah, pustaka Pararaton urgen bagi upaya rekonstruksi sejarah kawasannya, tidak terkecuali buat kesejarahan Malang era Singhasari.
Dengan demikian, “Bedah Pararaton”, bagaimana pun juga, tentu ada guna dan faedahnya. Kalaupun ada yang berpendapat bahwa Pararaton adalah sumberdata sejarah yang “hoaks” belaka, pendapat itu jelas ngawurnya. Kelak hasil “ngaji budaya” ini dibukukan dan dipersembahkan kepada khalayak. Nuwun.
Catatan:
- Setiap dua bulan sekali kegiatan dilakukan di Perpustakaan Daerah Kota Malang Jalan Ijen Kota Malang.
- Pertemuan pada bulan-bulan diantaranya akan dilaksanakan secara “alih-gilir” – di antara yang berkeinginan atau berkenan ketempatan.
Sangkaling, 11 Januari 2019
Patembayan CITALEKHA

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang