Batu Prasasti Patok Megaproyek Pembuatan Tanggul Zaman Majapahit di Bengawan Madiun Hilang Dicuri Orang Oleh: A’ang Pambudi Nugroho, S.Pd, M.A.*

Kunjungan Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo di Punden Slumpang-Magetan pada Bulan September 2021 (Fotor: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)
Iklan terakota

Terakota.ID–Pada bulan lalu tepatnya tanggal 31 Januari 2023, terdengar kabar hilangnya artefak atau benda tinggalan budaya di Punden Slumpang berada di Dusun Slumpang, Desa Sukowidi, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan. Artefak tersebut merupakan bukti penting dari sejarah peradaban kuna di lembah Bengawan Madiun pada masa lalu, terdiri dari: Arca Nandi, Fragmen Cerat Yoni, Sebuah Arca (?), serta Lingga Batu Patok Berinskripsi. Berdasarkan kabar berita dari media online, keempat benda warisan budaya ternyata juga sudah masuk dalam daftar registrasi nasional Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Mirisnya lagi, salah satu artefak yang hilang tersebut adalah sebuah batu prasasti berupa lingga batu patok berinskripsi aksara dan bahasa Jawa Kuna. Batu prasasti tersebut merupakan bukti megaproyek pembuatan tanggul di Bengawan Madiun pada zaman Majapahit (abad XIV Masehi).

Penelitian tentang lanskap arkeologi di DAS Bengawan Madiun, sebenarnya sudah pernah dilakukan tahun 2018 oleh tim peneliti dari Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta (sekarang Kantor BRIN Yogyakarta). Pada saat itu penulis masuk dalam tim survei tinggalan arkeologi klasik yang tersebar di DAS (Daerah Aliran Sungai) Bengawan Madiun, dipimpin oleh seorang arkeolog senior bernama Drs. Nurhadi Rangkuti, M.Sc. Pada saat kegiatan survei tersebut, tim survei telah mendata beberapa sumber data artefaktual (arkeologi) dan sumber data tekstual (prasasti) bukti peradaban di sekitar lembah Bengawan Madiun masa Jawa Kuna.

Berdasarkan hasil survei tersebut, paling menarik adalah diketahuinya Prasasti Kedungpanji-Magetan yang bertulis “rawuhan grogol 1305” (=Bendungan atau Tanggul Grogol [tahun] 1305 [Śaka/1383 Masehi]) dan berada tidak jauh terdapat sebuah lingga batu patok berinskripsi “grogol 1302” (=Grogol [tahun] 1302 [Śaka/1380 Masehi]). Toponim “Grogol” yang menjadi nama daerah dibangunnya rawuhan (bendungan) tersebut hingga saat ini masih ditemukan di bagian tenggara dari Desa Kedungpanji-Magetan, serta berada di lembah Bengawan Madiun (Nugroho, 2018).

Pada tahun 2018 setelah selesainya penelitian Situs Wurawan-Madiun, sebenarnya masih terdapat beberapa catatan pertanyaan tim survei yang belum dapat terjawab secara langsung. Salah satunya tentang seberapa jauh rawuhan (bendungan atau tanggul) Grogol berdasarkan keberadaan lingga batu patok berinskripsi yang memiliki persamaan bentuk dan karakter di sekitar daerah tersebut. Bendungan atau tanggul (rawuhan) Grogol dapat diketahui merupakan sebuah megaproyek yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Rājasanagara (1350-1389 Masehi) (Nugroho, 2018). Kebijakan politik tersebut sebagai upaya untuk menyelamatkan masyarakat di daerah kekuasaan Kerajaan Majapahit dari bencana banjir karena meluapnya Bengawan Madiun terutama terjadi pada saat musim hujan, serta menjamin kesejahteraan karena persawahan di daerah tersebut dapat terselamatkan sehingga membuat hasil panen para petani dapat melimpah ruah.

Pekerjaan besar atau megaproyek tersebut merupakan kebijakan pemimpin daerah Kerajaan Majapahit dalam upaya pengendalian lingkungan untuk penanggulangan bahaya bencana banjir yang dapat menerjang persawahan dan permukiman penduduk sekitarnya, akibat dari meluapnya air dari Bengawan Madiun, terutama terjadi pada musim penghujan. Sebenarnya, peristiwa meluapnya Bengawan Madiun pada masa modern ini juga pernah terjadi pada 26 Desember 2007 (tertulis dalam monumen Prasasti Banjir), Peristiwa bencana alam tersebut telah merendam beberapa desa di Ponorogo.

Empat Benda Tinggalan Budaya di Punden Slumpang-Magetan
Semuanya Telah Hilang Dicuri Orang
(Foto: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)

Kemudian, penulis baru mengetahui informasi tentang terdapatnya temuan lingga batu patok berinskripsi sejenis berada di sebelah utara dari Desa Kedungpanji-Magetan setelah selesainya penelitian tahun 2018, yaitu di Punden Slumpang di Desa Sukawidi-Magetan. Berdasarkan konteks keberadaannya, seharusnya lingga batu patok berinskripsi di Punden Slumpang tersebut bernilai sangat penting untuk penelitian epigrafi Indonesia. Hal ini berhubungan dengan pernah adanya megaproyek pembuatan tanggul di Bengawan Madiun pada sekitar Daerah Magetan yang pernah dilakukan oleh pemimpin daerah dalam periode masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau Rājasanagara (1350-1389 Masehi). Pembangunan megaproyek pembuatan bendungan atau tanggul (rawuhan) dalam periode pemerintahan tersebut berdasarkan Prasasti Kusmala (1272 Śaka/ 1350 Masehi) juga pernah dilakukan di Daerah Kediri bagian timur (Nugroho, 2018).

Artefak lingga batu patok (lingga semu) pada masa Jawa Kuna disebut sebagai “watu sīma” yang berarti batu patok atau batas (Darmosoetopo, 2003), atau juga disebut atau “sang hyang watu sīma”. Lingga batu patok berinskripsi dari Punden Slumpang-Magetan bersifat sangat sakral. Batu patok sakral tersebut merupakan tanda daerah suci, karena dalam pembuatan serta penancapannya biasanya dilakukan dengan upacara religi yang disebut dengan istilah “manusuk sīma” (penancapan batu patok). Artefak lingga batu patok (lingga semu) di Punden Slumpang-Magetan berfungsi sebagai tanda untuk mengomunikasikan informasi atau pesan-pesan dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno dalam kategori tanda dan tulisan (Darmosoetopo, 1986). Hal tersebut berhubungan dengan tanda batas tanah megaproyek pembuatan bendungan atau tanggul (rawuhan) di lembah Bengawan Madiun pada abad XIV Masehi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui betapa pentingnya lingga batu patok berinskripsi di Punden Slumpang-Magetan dalam penelitian epigrafi di Indonesia. Karena dari keberadaan artefak lingga batu patok berinskripsi tersebut, kita dapat belajar dari peristiwa masa lalu berhubungan dengan upaya pengendalian lingkungan alam agar tidak membahayakan kehidupan manusia, melalui kebijakan politik dari pemimpin daerah dalam bentuk megaproyek yang dilakukan secara gotong-royong oleh masyarakatnya.

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa sekecil dan sesingkat apapun tulisan kuna sebagai data epigrafi, merupakan sumber data kesejarahan yang tidak ternilai harganya sebagai dasar rekonstruksi sejarah peradaban di Indonesia, terutama yang berada di sekitar lembah sungai besar, salah satunya Bengawan Madiun. Sebenarnya masih banyak agenda-agenda kegiatan dan pekerjaan penelitian dari para peneliti epigrafi serta arkeologi yang belum selesai dalam waktu dekat, karena keterbatasan sumber data pendukung penelitian. Hal ini terutama berkaitan dengan pengembangan analisis penelitian terhadap tinggalan budaya masa lalu.

Peristiwa hilangnya sumber data epigrafi bernilai penting di atas, sungguh sangat menyedihkan karena prasasti sekecil dan sesingkat apapun muatan isinya merupakan jiwa peradaban bagi bangsa Indonesia. Semoga dengan memahami nilai penting dari sumber data epigrafi maupun sumber data arkeologi lainnya memberi kesadaran kepada kita untuk menjaga keberadaan tinggalan budaya tersebut yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Semoga peristiwa hilangnya prasasti dan tinggalan budaya bendawi seperti yang terdengar akhir-akhir ini di Malang (Arca Agastya di Kecamatan Ngantang hilang pada Bulan Februari 2023), Magetan (Selain di Punden Slumpang, hilangnya tinggalan budaya di Desa Tapen hilang pada Bulan Maret 2023), Lamongan (Prasasti Pamwatan hilang tahun 2003), serta di beberapa daerah lainnya tidak terulang kembali.

Marilah kita bersama-sama memiliki kesadaran tinggi dalam menjaga dan melindungi warisan budaya bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya, demi pengembangan ilmu pengetahuan serta memperkuat jati diri sebagai bangsa yang berperadaban tinggi. Semoga dengan selalu menjaga dan melindunginya, selain membantu para peneliti dalam menuntaskan pekerjaannya, juga mampu ikut dalam mewariskan ilmu pengetahuan dari tinggalan budaya tersebut kepada generasi muda. Hal ini sekaligus menyelamatkan pengetahuan dan kebijaksanaan masa lalu sebagai upaya dalam membangun peradaban bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang.

 

Foto 01: Kunjungan Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo

di Punden Slumpang-Magetan pada Bulan September 2021

(Sumber: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)

 

Foto 02: Empat Benda Tinggalan Budaya di Punden Slumpang-Magetan

Semuanya Telah Hilang Dicuri Orang

(Sumber: Komunitas Mahija Wengker-Ponorogo)

 Daftar Rujukan

Nugroho, A.P. 2018. “Toponim di Sekitar Kawasan Situs Ngurawan-Madiun (Gambaran Lingkungan dan Aspek-aspek Kesejarahannya)”, Bhumi Wurawan. Yogyakarta: Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta.

Darmosoetopo, R. 1986. “Arti dan Fungsi Simbol dalam Masyarakat Jawa Kuna”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV . Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Darmosoetopo, R. 2003. Sīma dan Bangunan Suci di Jawa Abad IX-X Masehi. Jogyakarta: Prana Pena.

*Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Komda D.I. Yogyakarta

**Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email :  redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini