Banyuwangi Jazz Ethnic kolaborasi musik tradisi osing dengan jazz. (Foto : Dokumentasi Banyuwangi Jazz Ethnic ).
Iklan terakota

Oleh : *Bachtiar Djanan

Terakota.id-Tarian Jejer Gandrung mengawali peluncuran Banyuwangi Jazz Ethnic di Pulau Santen, Sabtu malam, 1 April 2017. Kelima penari adalah para pelajar SD dan SMP warga Pulau Santen. Musik gamelan dari Sanggar Seni Kuwung Wetan desa Rejoagung mengiringi tarian. Disusul musik akustik The Maspoh dari kota Malang. The Maspoh memainkan 3 buah lagu karya mereka sendiri.

Lagu pertama adalah Kawitan Sejati, lagu yang bercerita tentang Kampung Temenggungan Banyuwangi. Lagu kedua adalah Sunrise Of Java, lagu yang mengapresiasi keindahan Banyuwangi. Lagu ketiga adalah Pusan Melambai, lagu yang bercerita tentang suasana damai Pusan (Pulau Santen) dan keramahan warganya.

The Maspoh berkolaborasi dengan Ali Gardy dan Yossi. Ali Gardi merupakan seniman asal Situbondo yang memainkan saxophone dan flute, sedangkan Yossi adalah siswa SMK 1 Glagah yang memainkan kendang Banyuwangi Jazz Ethnic.

Sebagai puncak acara, penampilan Banyuwangi Jazz Ethnic ditunggu para penonton. Peluncuran grup jazz asal Kampus Wetan (Kampong Seni Kuwung Wetan) Desa Rejoagung, Kecamatan Srono memainkan delapan lagu berbahasa Osing. Lagu asli Banyuwangi ini populer pada era tahun 60-an sampai tahun 80-an.

Lagu pertama, Banyuwangi Jazz Ethnic berkolaborasi dengan Takeshi Lua (Jepang) dan Ali Gardy, lagu kedua sampai lagu kelima berkolaborasi dengan Ali Gardy. Takeshi Lua memainkan alat musik saltery, dan Ali Gardy yang memainkan flute. Saltery merupakan instrumen dari Persia, berupa alat musik dawai 44 senar, mirip sitar atau kecapi. Dimainkan dengan cara dipetik atau digesek seperti biola, instrumen ini populer di negara Eropa mediterania.

Selama lima menit Takeshi memainkan saltery dengan cara dipetik dan digesek sedangkan Ali Gardy menipu flute dalam lagu pembuka Impen-Impenan. Lagu ciptaan Andif AP 1986, pernah dipopulerkan grup jazz Krakatau dalam album Magical Match dirilis pada 2001. Mengakhiri duet instrumen saltery dan flute, disambung gesekan biola Dwi Agus Cahyono dengan khas warna Banyuwangi.

Lagu kedua adalah Luk-luk Lumbu, ciptaan Andang CY sekitar tahun 70-an. Lagu dikemas ulang oleh Banyuwangi Jazz Ethnic dalam aransemen funk dengan tempo dan irama cepat. Lagu berikutnya Ulan Andung-Andung, karya Indro Wilis, syair diciptakan 1964, pada saat Indro Wilis menjadi tahanan politik di Malang.

Indro Wilis mengirim draf syair lagu itu ke adiknya BS Noerdian. Kemudian bersama Andang CY lagu ini diperbaiki, tanpa mengubah isi. Lagu ini dipopulerkan pertama kali, dengan nama pencipta Andang CY dan BS Noerdian, agar tidak dicurigai atau dilarang oleh penguasa saat itu. Setelah Indro Wilis bebas dari tahanan, lagu Ulan Andung-Andung ini diganti nama pencipta yang asli yakni Indro Wilis.

Lagu ini pernah dipopulerkan oleh Sumiati, dan pada era yang lain dipopulerkan kembali oleh Nini Carlina. Lagu keempat adalah Mak Ucuk, karya Andang CY yang pernah dipopulerkan Gandrung Kusniah dan dipopulerkan kembali oleh Dian Ratih.

Lagu ini diaransemen oleh Banyuwangi Jazz Ethnic dengan ketukan musik jazz warna Amerika latin. Dalam lagu ini terdapat bagian lagu di mana para personil penabuh gamelan Banyuwangi Jazz Ethnic ini memainkan alat musik katir yang biasa dipakai dalam musik patrol.

Lagu kelima yang dimainkan Banyuwangi Jazz Ethnic adalah Tulih-tulio, ciptaan Fatrah Abal dan Andang CY, yang pernah dipopulerkan Reny Farida. Lagu ini diaransemen dengan  gaya gypsi jazz, namun pada bagian akhir klimaks lagu ini para pemain angklung, pantus, dan saron, memainkan rebana dengan pukulan kuntulan secara rampak dan rancak.

Lagu berikutnya adalah Cengkir Gading, ciptaan MF.Hariyanto  dan Andang CY, yang pernah dipopulerkan dalam warna musik kendang kempul oleh Yuliatin dan Cahyono. Lagu ini diaransemen dengan warna musik klassic jazz yang sering disebut sebagai aliran “New Orleans Style”.

Lagu ketujuh adalah Gelang Alit ciptaan MF.Hariyanto dan Fatrah Abal, yang pernah dipopulerkan Sumiati. Lagu ini diaransemen dengan warna groove jazz yang sangat rancak. Semula lagu ini merupakan lagu terakhir yang dimainkan Banyuwangi Jazz Ethnic, namun penonton meminta tambahan lagu, dan akhirnya dimainkanlah lagu Umbul-umbul Blambangan karya Andang Chotib dan BS Noerdian.

Banyuwangi Jazz Ethnic kolaborasi musik tradisi osing dengan jazz. (Foto : Dokumentasi Banyuwangi Jazz Ethnic ).

Pentas peluncuran Banyuwangi Jazz Ethnic ini di muka publik, para musisi tradisional ini berupaya membuka ruang lebar pada lagu-lagu asli Banyuwangi. Namun tetap menggunakan laras pentatonik slendro khas Osing, dengan eksplorasi serta perkawinan antara irama dan ketukan berbagai aliran musik jazz.

Dalam musik tradisional murni biasanya dimainkan dengan pakem musik yang baku, yang kurang memungkinkan bagi isntrumen-instrumen musik lainnya untuk ikut bermain bersama. Namun dengan konsep musik Banyuwangi Jazz Ethnic ini, terbuka ruang yang cukup lebar bagi musisi dengan beragam alat musik lain untuk berkolaborasi bersama, seperti halnya harmonika, bass, gitar akustik, saxophone, flute, dan instrumen-instrumen lainnya.

Ide lahirnya Banyuwangi jazz Ethnic ini bermula lagu klasik tradisional Banyuwangi perlu dikonservasi dengan mengemas ulang dalam warna berbeda. Agar bisa diterima generasi muda, dan tidak dilupakan atau lenyap ditelan arus modernisasi.

 

Selain itu, banyak acara besar musik jazz di Banyuwangi namun belum ada grup musik jazz dari Banyuwangi yang muncul dan “diakui” dalam kancah peta musik jazz nasional. Musisi jazz dari Banyuwangi, hanya menjadi “penonton”, ataupun musik Banyuwangi sekedar “tempelan pelengkap.”

Aransemen lagu jazz yang memasukkan unsur instrumen Banyuwangi, selama ini belum benar-benar bisa dikawinkan dengan musik jazz. Banyuwangi Jazz Ethnic berusaha mengawinkannya, dengan nilai tawar lagu Banyuwangi tetap sebagai “Tuan rumah” bagi warna musik jazz sebagai atmosfer irama dan ketukan. Sedangkan alat musik tradisional Banyuwangi tetap sebagai instrumen utama yang membuka ruang kolaborasi dengan berbagai alat musik lain.

Banyuwangi Jazz Ethnic ke depannya diorientasikan untuk go nasional dan go internasional, serta diharapkan bisa menggaungkan lagu tradisional Banyuwangi klasik maupun lagu ciptaan mereka sendiri dalam berbagai pentas musik jazz ataupun event world music.

Peluncuran Banyuwangi Jazz Ethnic ini, dipilih lokasi Pulau Santen adalah sebagai dukungan Kampus Weta (Kampong Seni Kuwung Wetan) kepada Kampong Pusan (Pulau Santen) yang saat ini tengah berjuang untuk melestarikan lingkungan hidupnya. Terutama dari masalah, melestarikan ekosistem mangrove, dan konservasi penyu.

Kedua desa didampingi Komunitas Hidora (Hiduplah Indonesia Raya) untuk saling berkolaborasi. Dalam rangka untuk maju bersama, mengkonservasi lingkungan hidup dan melestarikan seni budaya, dan meningkatkan kesejahteraan warganya. Melalui beragam program ekowisata yang dikelola oleh warga kampung.

*Pegiat musik dan ekowisata

1 KOMENTAR