Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengajak Gerakan Sensor Mandiri. (Foto : Ilmu Komunikasi UMM).
Iklan terakota

Terakota.id–Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Rommy Fibri Hardiyanto mengajak masyarakat melakukan swasensor atau sensor mandiri. Mengingat saat era digital, terjadi tsunami tontonan. Banjir film dari berbagai platform digital. Platform digital publik, justru lebih bebas memilih.

“Di sinilah urgensinya sensor mandiri. Masyarakatlah yang harus memilih dan memilah sendiri tontonan yang sehat untuk diri sendiri dan keluarganya,” kata Rommy, dalam siaran pers yang diterima Terakota.id. Seminar bertema Sensor Film diantara Kebebasan Berkreasi dan Menjaga Budaya Bangsa yang diselenggarakan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu 9 Juni 2021.

Mulai tahun ini, katanya, LSF memasifkan Gerakan Sensor Mandiri (GSM). Gerakan dimulai dari mengajak masyarakat untuk ikut menjadi bagian dari khalayak film yang kritis. LSF tidak lagi menjadi tukang potong film. “Paradigma baru LSF bukan lagi menggunting film, tetapi berdialog dengan produser film untuk menentukan batas usia penonton,” katanya.

LSF mendiskusikan mengenai adegan yang perlu direvisi atau dihilangkan. Sampai menemukan titik temu yang tidak mengganggu jalan cerita film tetapi juga tetap menjaga nilai budaya bangsa kita. Rommy mendorong kampus menjadi entitas strategis dalam menggalakkan kajian kritis sekaligus mendorong literasi publik pada film. LSF, kata Rommy, tidak akan mampu menjangkau semua film yang diproduksi untuk disensornya.

“Kami memerlukan mitra strategis seperti Komunikasi UMM ini,” katanya.

Sementara, dosen Ilmu Komunikasi UMM Nasrullah menjelaskan film memiliki tiga posisi strategis. Yakni sebagai industri, komunikasi massa, dan kebudayaan. Sebagai industri, film menjadi bisnis yang menggiurkan. Sedangkan film merupakan komunikasi massa yang sangat tergantung dari isi dan teknologi infomasi yang membawanya sampai kepada penonton.

Film juga dapat digunakan sebagai alat propaganda hingga agitasi. “Kekuatan film sangat dahsyat mempengaruhi khalayak. Contohnya film propaganda anti-vaksinasi di Amerika Serikat, Vaxxed,” katanya.

Seminar bertema Sensor Film diantara Kebebasan Berkreasi dan Menjaga Budaya Bangsa yang diselenggarakan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu 9 Juni 2021. (Foto : Ilmu Komunikasi UMM).

Film juga merupakan produk budaya yang penting. Sehingga untuk melihat kemajuan sebuah bangsa dapat dilihat dari film yang diproduksi. Jika Korea dapat menggoncang dunia melalui Korean Wave, maka seharusnya Indonesia bisa menggerakkan anak-anak muda di belahan dunia lain untuk menggandrungi kuliner rendang, tarian pendet, kepulauan di Labuhan Bajo atau Raja Ampat.

Ketua Program Studi Komunikasi UMM, M Himawan Sutanto menyatakan kerjasama dengan LSF akan dituangkan dalam penguatan kapasitas tenaga sensor, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, pemagangan, penguatan gerakan Desa Sensor Mandiri (DSM), serta menjajaki sertifikasi tenaga sensor film.

“Ini langkah awal. Ilmu Komunikasi UMM dan LSF akan mewujudkan kerjasama untuk memperkuat Merdeka Belajar Kampus Merdeka,” kata Himawan menerangkan.

Rektor UMM, Fauzan mendukung Ilmu Komunikasi UMM untuk menindaklanjuti kerjasama dengan LSF yang lebih produktif.  Banyak program UMM yang bisa dikolaborasikan, katanya, termasuk rencana membuka Kelas Film yang bisa diambil mahasiswa dari berbagai jurusan. “Asal memiliki passion dan minat yang kuat. Silakan dimatangkan lagi,” kata Fauzan.